Adven II: Inilah Permulaan Injil

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus, Anak Allah” (Mrk. 1:1) Demikianlah prolog Injil Markus. Berbeda dengan penginjil lain—yang langsung bicara soal Yesus—Markus menceritakan tentang pribadi lain. Orang itu adalah Yohanes Pembaptis.

Potret Diri Yohanes Pembaptis

Yohanes Pembaptis bukan figur sembarang figur. Di tengah krisis kepemimpinan Indonesia sekarang ini, sikap dan gaya kepemimpinannya layak diteladani. Setidaknya ada lima potret yang bisa dikemukakan di sini.

Pertama, di tengah banyak orang yang ingin menjadi nomor satu, ada yang bersedia menjadi nomor sekian. Orang itu adalah Yohanes Pembaptis.

Dia sedang naik daun kala itu. Banyak orang menganggapnya Mesias. Mereka menganggapnya nomor satu. Namun, saat diperhadapkan dengan anggapan tersebut, dengan tegas dia berkata, ”Aku bukan Mesias.” Dia tak mau menjadi nomor satu.

Kedua, di tengah banyak orang yang menggunakan ”kesempatan dalam kesempitan”, ada yang tidak menggunakan ”kesempatan dalam kelebaran”. Orang itu adalah Yohanes Pembaptis.

Dalam keadaan terjepit, tak sedikit orang berusaha memanfaatkan kesempatan—selama masih ada—untuk mencari keuntungan. Yohanes Pembaptis tidak.

Banyak orang berharap tinggi terhadapnya. Dia memang pribadi fenomenal. Gaya hidupnya unik. Pakaiannya: jubah bulu unta dengan ikat pinggang kulit; makanannya: belalang dan madu hutan.

Dia pun tegas dalam prinsip. Dengan lugas Yohanes Pembaptis menyerukan pertobatan kepada setiap orang tanpa pandang bulu. Tak heran ada orang yang menganggapnya Mesias, Elia, atau nabi yang akan datang.

Tetapi, Yohanes Pembaptis tidak memanfaatkan ketidaktahuan orang banyak itu untuk kepentingan diri. Dia tidak menggunakan ”kesempatan dalam kelebaran”. Dengan tegas dia berkata, ”Tidak!” Dia tidak menikmati ketidaktahuan orang banyak itu. Dia tidak mengambil untung dari ketidakpahaman mereka.

Ketiga, di tengah banyak orang yang mencoba menjadi orang lain, ada  yang tetap berusaha menjadi diri sendiri. Orang itu adalah Yohanes Pembaptis.

Dia tidak tergoda menjadi orang lain. Walau banyak orang menganggapnya—bahkan mengharapkannya menjadi—orang lain. Dia tetap menjadi dirinya sendiri. Dia mengaku, ”Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan!” (Yoh. 1:23).

Ada kepercayaan diri dalam pengakuannya. Yohanes Pembaptis tidak ingin menjadi orang lain. Dia ingin menjadi dirinya sendiri. Dia merasa memiliki panggilan khusus, yakni: menjadi suara yang berseru-seru di padang gurun.

Tampaknya, Yohanes Pembaptis sungguh memahami bahwa setiap orang diciptakan unik. Satu-satunya. Tak ada duanya. Itu berarti setiap orang dilengkapi pula dengan panggilan khusus.

Setiap orang selayaknya tahu akan panggilan khusus Allah dalam dirinya! Jika belum mengetahuinya, kita perlu bertanya kepada Sang Pencipta, ”Tuhan, apakah panggilan khusus-Mu bagiku?”

Jawaban dari pertanyaan tersebut akan menolong kita hidup fokus. Banyak energi dan waktu terbuang sia-sia karena kita terlalu banyak hal yang kita kerjakan. Fokus pada panggilan khusus itu akan membuat kita lebih mangkus dan sangkil, lebih berdaya guna dan berhasil guna. Istilah Inggrisnya: lebih efektif dan efisien. 

Keempat, menjadi diri sendiri akan membuat kita lebih rendah hati dan jauh dari rasa iri.Itulah hidup yang dijalani Yohanes Pembaptis. Di lain waktu, ketika para muridnya bercerita tentang seorang guru dari Nazaret, Yohanes Pembaptis dengan tulus berkata, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.” (Yoh. 3:30).

Yohanes Pembaptis tahu diri. Dia hanyalah pembuka jalan. Oleh karena itu, bukan dialah yang seharusnya dielu-elukan, tetapi orang yang baginya dia menjadi pembuka jalan. Dan pribadi itu adalah Yesus, orang Nazaret.

Menjadi diri sendiri akan membuat kita lebih rendah hati karena kita paham setiap orang punya kekuatan dan kelemahan. Menjadi diri sendiri berarti pula menerima kekuatan dan kelemahan diri kita. Jika mampu menerima kekuatan dan kelemahan diri sendiri, kita akan mampu menerima kekuatan dan kelemahan orang lain.

Lagipula—kata anak muda tahun 80-an—”sirik itu tanda tak mampu!”

Kelima, di tengah banyak orang yang undur, ada yang setia menjadi saksi kebenaran, yang membuat dia terpenggal kepalanya. Orang itu adalah Yohanes Pembaptis.

Merujuk kepada Yesus

Mengapa Markus memulai Injilnya dengan kisah Yohanes Pembaptis? Salah satu kemungkinan jawabannya ialah bahwa Markus ingin mengatakan: sehebat-hebatnya Yohanes Pembaptis, toh dia—seperti yang diakuinya—hanyalah pembuka jalan. Dengan kata lain, kalau Yohanes Pembaptis saja sudah sehebat itu, apa lagi Pribadi berikutnya?

Kenyataannya—inilah kabar baik itu—Yohanes Pembaptis sendiri tidak ingin orang lain berfokus pada dirinya. Anak Zakaria itu ingin orang lain melalui dirinya mengarahkan pandangan kepada Yesus orang Nazaret. Dengan lugas dan gamblang dia berkata, ”Sesudah aku akan datang Ia yang lebih berkuasa daripada aku; membungkuk dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak.” (Mrk. 1:7).

Jelas, Yohanes Pembaptis mengakui adanya orang yang lebih berkuasa dari dirinya. Dia hanyalah pembuka jalan. Ada orang yang lebih berkuasa dari dirinya.

Menurut Rama Gianto, ungkapan ”membungkuk melepaskan tali sepatu” tidak hanya berarti penghormatan kepada orang yang dihadapi, melainkan terselip pula arti yuridisnya. Kebiasaan di Israel pada masa itu, setiap kali orang hendak menguatkan suatu perkara, maka yang seorang menanggalkan kasutnya sebelah dan memberikannya kepada yang lain. Itu berarti orang itu sedang melepaskan haknya.

Perkataan Yohanes Pembaptis bukanlah basa-basi. Dia mengaku bahwa dirinya tidak layak melakukan sesuatu yang membuat Yesus melepaskan hak-Nya. Dan hak Yesus ialah membawakan baptisan dalam Roh Kudus dan mendekatkan kembali manusia dengan Allah.

Yohanes Pembaptis hendak mengatakan dalam bahwa yang dijalankannya ialah membaptis dengan air—menyadarkan manusia. Tetapi, Yesuslah yang berhak membaptis dengan Roh Kudus. Jelas di sini bahwa dalam segala yang diupayakannya, Yohanes Pembaptis senantiasa berusaha menjadi saksi Kristus.

Hidup Kudus

Setiap pengikut Kristus dipanggil menjadi saksi. Manusia butuh Terang. Dunia butuh Tuhan. Menjadi saksi berarti hidup di dalam dan berdasarkan Terang itu agar orang lain boleh merasakan Terang itu melalui kita.

Menjadi saksi tak ubahnya dengan bulan yang memantulkan cahaya matahari. Sehingga orang lain yang merasakan terang itu dapat mensyukuri keberadaan matahari.

Tugas pengikut Kristus hanyalah memantulkan cahaya kasih ilahi. Satu-satunya cara ialah dengan hidup di dalam dan berdasarkan Terang itu. Itu jugalah panggilan Kristen dalam situasi Indonesia masa kini.

Pada titik ini, nasihat Petrus menjadi sangat relevan: ”Sebab itu, Saudara-saudaraku yang terkasih, sambil menantikan semuanya ini, kamu harus berusaha, supaya kamu didapati-Nya tidak bercacat dan tidak bernoda di hadapan-Nya, dalam perdamaian dengan Dia” (2Ptr. 3:14). Hidup kudus merupakan salah satu cara untuk menjadi saksi. Itu jugalah kabar baik itu.

Dalam dunia media ada adagium ”media adalah pesan itu sendiri”. Jika kita ingin menjadi pembawa kabar baik, maka diri kita haruslah hidup dalam kabar baik itu sendiri. Jika tidak, kabar baik yang kita bawakan malah menjadi kabar buruk.

Kita akan sungguh-sungguh efektif menjadi saksi jika dan hanya jika hidup kudus. Kekudusan hidup merupakan syarat mutlak seorang yang ingin menjadi saksi. Dan pertobatan adalah awal dari kekudusan hidup.

Yoel M. Indrasmoro

  Foto: Istimewa