Adven IV: Aku Ini Hamba Tuhan

Siapakah Allah dalam Kisah Pemberitahuan tentang Kelahiran Yesus? Pada hemat saya, Allah adalah Pribadi yang menghargai pribadi lainnya. Meski Dia Mahakuasa, itu berarti semua ciptaan harus takluk kepada-Nya, pada narasi Lukas kita menyaksikan bagaimana Allah merasa perlu menyuruh Gabriel untuk meminta izin Maria. Dia—Sang Mahakuasa, lagi Mahaberdaulat itu—tidak menjadikan Maria sebagai objek, yang bisa diperlakukan sekehendak hati, tetapi Allah adalah Pribadi yang merasa perlu mengetuk pintu terlebih dahulu.
Perhatikan kembali catatan Lukas: ”Dalam bulan yang keenam malaikat Gabriel disuruh Allah pergi ke kota bernama Nazaret di Galelia, kepada seorang perawan yang bertunangan dengan seorang bernama Yusuf dari keluarga Daud; nama perawan itu Maria” (Luk. 1:26-27). Maria tidak langsung mengandung dari Roh Kudus. Allah merasa perlu mengutus Gabriel untuk memberitahukan rencana besarnya kepada Maria.
Sejatinya, demikianlah pola yang dilakukan Allah—tak hanya kepada Maria, tetapi juga Zakharia. Allah menghargai kehendak bebas manusia. Allah tidak pernah memaksa manusia untuk melakukan kehendak-Nya. Tidak. Manusia sendirilah yang harus memilih.
Lukas mencatat: ”Ketika datang kepada Maria, malaikat itu berkata, ’Salam, hai engkau yang dikaruniai! Tuhan menyertai engkau’” (Luk. 1:28). Kata salam yang dipakai di sini, bukan sembarang salam; menurut Paus Emeritus Benekdiktus, Gabriel tidak menggunakan kata-kata Ibrani yang lazim untuk Maria, yaitu shalom—”damai padamu”, tetapi ia menggunakan kata-kata Yunani chaire, yang dapat diterjemahkan dengan ”salam bagimu”. Dan arti sebenarnya kata chaire adalah bergembiralah! Mengapa Maria harus bergembira? Sebab dia adalah pribadi yang dikaruniai. Dalam BIMK tertera: ”yang diberkati Tuhan secara istimewa!” Maria adalah pribadi pilihan. Dan itulah alasan baginya untuk bergembira. Memang ada kaitan antara kata chaire—bergembira—dan charis (rahmat, karunia, anugerah). Kegembiraan dan karunia selalu bersama-sama.
Beda Reaksi
Maria terkejut dan bertanya-tanya dalam hatinya. Reaksi Maria berbeda dengan reaksi Zakharia. Zakharia terkejut dan menjadi takut. Menarik disimak perbedaan dari keduanya, Sang Imam terkejut dan menjadi takut; sedangkan perempuan biasa dari Nazaret terkejut dan bertanya-tanya arti salam tadi. Ketakutan memang manusiawi, juga tanda keberdosaan manusia. Ketakutan menerpa saat seseorang merasa bahwa kenyataan akan berbeda dengan harapan.
Tampaknya Allah memang tidak salah pilih. Maria agaknya pribadi yang percaya diri. Dia juga pribadi yang rendah hati—dia tidak merasa lebih tinggi atau lebih rendah dari yang seharusnya. Orang yang menilai diri terlalu tinggi atau terlalu rendah sering memang dikuasai oleh ketakutan karena dia merasa orang akan mempertanyakan potensi dirinya. Dan tanggapan orang yang salah akan membuat dia merasa dicekam ketakutan.
Dan Gabriel pun langsung mengomunikasikan visi Allah kepada Maria: ”Jangan takut, hai Maria, sebab engkau beroleh anugerah di hadapan Allah. Sesungguhnya engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki dan engkau harus menamai Dia Yesus. Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Maha Tinggi. Tuhan Allah akan memberikan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya, dan Ia akan memerintah atas keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan” (Luk. 1:30-33).
Gabriel menjelaskan bahwa Allah mempunyai visi dan ingin Maria terlibat dalam visi Allah itu. Menarik disimak bahwa Allah mengomunikasikan visi-Nya dan ingin melibatkan manusia dalam merealisasikan visi-Nya. Perhatikanlah sekali lagi, Allah tidak bekerja sendirian. Allah melibatkan manusia untuk merealisasikan rencana-Nya. Dan ketika Allah melibatkan manusia, Dia juga meminta izin dari manusia. Sebab Allah tak ingin manusia menjadi robot-robot rohani.
Sekali lagi, perhatikanlah bahwa Gabriel mengomunikasikan visi Allah kepada Maria. Dan visinya cukup jelas: Maria akan mengandung dan melahirkan anak laki-laki dan harus memberikan nama Yesus. Jelas bukan? Peranan Maria adalah menjadi sarana kelahiran juruselamat. Nama Yesus, yang berarti Allah menyelamatkan, menjadi sungguh signifikan (penting dan bermakna). Dan Maria menjadi pendengar berita pertama mengenai Kabar Baik ini: Allah tak sekadar ada, Dia hadir dan menyelamatkan umat-Nya.
Maria pun menanggapi berita itu dengan sebuah pertanyaan: ”Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” Pertanyaan Maria bukan memperlihatkan keraguannya atau ketidakpercayaannya, tetapi seperti semacam klarifikasi. Reaksi ini berbeda dengan reaksi Zakharia yang muncul karena ketidakpercayaan. Menurut Paus (Em.) Benekditus, Maria tidak ragu-ragu. Ia tidak bertanya tentang apakah ia dapat melaksanakan tugas, melainkan tentang cara bagaimana ia mengamalkan tugas tersebut.
Gabriel juga menyetujui hal itu, sehingga dia mengatakan bahwa Kuasa Allah yang Mahatinggi akan menaunginya dan bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Luk. 1:37). Lalu reaksi ketiga, jawaban Maria yang sebenarnya, hal yang sederhana. Maria menganggap dirinya hamba Tuhan, ”Jadilah padaku menurut perkataanmu itu” (Luk. 1:38). Inilah kepatuhan sukarela, rendah hati, sekaligus mulia. Inilah kehendak bebas manusia mengambil keputusan mulia.
Hamba Tuhan
Maria menjadi Bunda Allah karena setuju. Para Bapa Gereja berkata bahwa Maria menjadi hamil melalui telinga-Nya, artinya dengan mendengarkan. Berkat kepatuhannya, Sabda masuk ke dalam Maria dan menjadi subur dalam dia. Mengapa Maria setuju?
Yang pertama, Maria sadar siapa dirinya. Dia sungguh menyadari bahwa dirinya adalah hamba. Dan hamba selalu menaati perintah tuannya. Kesadaran status hamba inilah yang membuat Maria mau mengatakan ”ya” kepada perintah tersebut. Dan tiga puluh tiga tahun kemudian, Yesus, Sang Anak, seakan menyuarakan kembali kalimat Sang Bunda: ”Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami hamba-hamba yang tidak berguna. Kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan” (Luk. 17:10).
Kesadaran status inilah yang membuat Maria, ini yang kedua, mau berkurban. Saudara, Kamus Besar Bahasa Indonesia membedakan antara korban dan kurban. Korban berarti orang, binatang, dsb yg menjadi menderita (mati dsb) akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dsb. Sedangkan kurban berarti segala sesuatu untuk Allah. Maria pada hemat saya sedang berkurban, dan bukan berkorban, karena dia melakukan segala sesuatunya untuk Allah. Lagi pula, masak manusia berkorban buat Tuhan? Yang ada mah Tuhan yang berkorban buat kita!
Ketiga, pemahaman status diri sebagai hamba inilah yang membuat Maria ingin memuliakan Allah. Ketika kita menaati Allah sejatinya kita tengah memuliakan Dia. Tidak memuliakan Dia, itu berarti kita sedang memuliakan diri sendiri. Dan sejatinya, kita perlu belajar pula untuk memuliakan Dia, entah di keluarga, sekolah, kantor, masyarakat. Pertanyaannya ialah siapakah yang dimuliakan?
Keempat, bisa jadi Maria terharu. Bagaimanapun Allah dengan begitu rendah hati memintanya menjadi sarana penyelamatan atas dunia. Nah, kalau Allah sudah begitu rendah hati memohon kepadanya, masak ditolak?
Yoel M Indrasmoro
Foto: Istimewa