Dalam Kisah Natal disebutkan orang-orang majus dari Timur yang mempersembahkan emas, dupa, dan mur kepada bayi Yesus (Mat. 2:1,11). Injil tidak menyebut berapa jumlah orang majus itu dan siapa saja namanya. Ada tradisi yang meyakini bahwa orang majus itu ada tiga. Namanya: Kaspar, Melkior, dan Baltasar. Namun, ada juga cerita tentang orang majus keempat, namanya Artaban.
Pada awal tahun ini ada tiga hal unik yang saya dapatkan terkait Artaban. Pertama, saya ikut menyaksikan kisah Artaban dipentaskan dengan gaya drama wayang/ketoprak humor oleh keluarga Pak Alex dalam sebuah perayaan Natal di kelompok. Kedua, saya mendapat hadiah lukisan Artaban yang dibuat dengan cara yang sangat tidak terduga. Ketiga, secara batin saya diperkaya dengan kisah Artaban, sehingga juga merasakan kegembiraan ketika menceritakannya kembali dalam perayaan Natal di SD Kristen Toko (baca Toko seperti menyebut Joko nama panggilan orang Jawa).
Pak Alex bersama warga gereja di kelompoknya termasuk yang menjenguk saya saat berbaring di RS pada awal tahun kemarin. Di akhir kunjungan biasanya ada yang mendoakan saya, satu di antaranya adalah Pak Alex. Dia seorang yang multitalenta dan memiliki keinginan kuat untuk bertumbuh dalam hidup spiritualitas. Saat rombongan Pak Alex akan pamit, saya diberitahu bahwa mereka akan mengadakan perayaan Natal di rumah Pak Alex seminggu lagi. Mereka berharap saya sudah sehat dan bisa datang di perayaan Natal itu.
Sedikit cerita tentang Pak Alex. Beliau adalah olahragawan bela diri sekaligus pelatih yang telah mengantar banyak muridnya menjadi juara hingga tingkat nasional. Ada bagian dari rumahnya yang difungsikan sebagai dojo. Uniknya, dia mengajak para muridnya untuk juga mengembangkan bakat seni yang ada dalam diri mereka. Entah itu seni musik, lukis, drama, puisi, patung, juga film. Menurut Pak Alex, seni adalah sarana olah rasa yang bisa mengurangi sifat berangasan, agar seseorang yang memiliki ilmu bela diri bisa tetap mengendalikan diri dan tidak menyakiti atau merendahkan lawan. Sebab musuh terbesar seseorang adalah dirinya sendiri. Dan kemenangan terbesar seseorang adalah saat bisa mengalahkan dirinya sendiri.
Ketika tiba waktunya perayaan Natal di rumah Pak Alex, saya bisa datang. Pak Alex beserta keluarga yakni istri, anak-anak, menantu, murid-murid dojo berhasil tampil kreatif dan menghibur membawakan drama kisah Artaban. Saat drama itu dimainkan, seorang murid bela diri melukis di kanvas yang membelakangi penonton. Setelah drama selesai, lukisan spontan di kanvas itu ditunjukkan kepada penonton.
Ternyata lukisan dengan gaya abstrak itu menggambarkan Artaban, yang menurut saya sedang gelisah karena merasa tidak berhasil bertemu dan berpersembahan untuk Tuhan Yesus sejak bayi hingga kematian-Nya di salib.
Kejuatan lainnya, si pelukis dan Pak Alex berkenan memberikan lukisan yang belum kering itu kepada saya. Saya terima dengan senang hati, dengan sedikit berkomentar, ”Teologi, spiritulitas, dan seni perlu dipadukan.” Sedangkan Pak Alex bersama dojo-nya berusaha memadukan olah raga bela diri dengan seni dan spiritualitas.
Selanjutnya kisah Artaban yang telah ditampilkan keluarga Pak Alex, saya tulis kembali dengan mengutip tulisan Abyasat Tandirura. Artaban adalah orang majus yang tidak mendapat kesempatan bertemu dengan bayi Yesus ketika lahir di Betlehem. Padahal sebelumnya Artaban telah menjual sejumlah harta kekayaannya agar bisa berpersembahan untuk Sang Raja yang akan dilahirkan. Ia kemudian membeli tiga buah batu permata yang sangat berharga antara lain batu permata safir baru, rubi merah, dan mutiara putih. Ia telah berjanji untuk bertemu di suatu tempat dengan ketiga orang majus lainnya. Karena waktu sangat mendesak, Artaban akan ditinggal oleh ketiga temannya jika terlambat datang.
Dalam perjalanan, Artaban melihat ada orang yang terbaring di tengah jalan. Orang tersebut sedang menderita sakit berat dan sangat membutuhkan pertolongan. Jika tidak ada yang menolong ia akan mati, sebab berada di suatu tempat yang sunyi dan jauh dari rumah penduduk. Namun, jika ia menolongnya, pasti akan terlambat dan akan ditinggal pergi oleh kawan-kawannya yang lain. Ia meyakini bahwa menolong jiwa orang lain itu lebih penting. Akibatnya, tidak hanya ditinggal teman-temannya, ia juga harus menjual batu permata safir yang awalnya disiapkan untuk diberikan kepada Yesus, Sang Raja. Sebab ia juga harus mencukupi seluruh biaya karavan mulai dari unta-unta, makanan, minuman, dan pemandu jalan untuk melewati padang pasir. Di sisi lain ia merasa sedih karena Sang Raja tidak akan mendapatkan batu safir itu.
Artaban berusaha mengejar kawan-kawannya secepat mungkin. Setibanya di Betlehem ternyata sudah terlambat. Yusuf, Maria, dan bayi Yesus sudah tidak ada di sana. Yang dijumpainya adalah prajurit-prajurit Raja Herodes yang dengan ganasnya menjalankan perintah Herodes untuk membunuh para bayi. Di tempat ia menginap, bayi pemilik penginapannya hendak dibunuh pula oleh seorang komandan bawahan Herodes. Artaban melihat dan mendengar ratapan tangis ibu bayi tersebut. Ia merasa tidak tega dan terpanggil untuk menolongnya, diputuskannya untuk menukar bayi tersebut dengan batu rubi yang dibawanya. Dan, selamatlah bayi itu. Namun, Artaban juga bertambah sedih, karena batu permatanya untuk Sang Raja semakin berkurang. Sekarang hanya tinggal satu saja.
Tiga puluh tahun lebih ia mencari Sang Raja di mana-mana. Perjalanannya hampir tiba di Yerusalem. Ia tercengang ketika mendengar bahwa Sang Raja yang dicarinya selama bertahun-tahun, akan disalib di Golgota. Apa yang akan dia lakukan? Ia masih terhibur, sebab masih memiliki batu permata terakhir. Batu mutiara putih. Dia pikir dengan mutiara putihnya, masih dapat menebus hidup Sang Raja agar tidak disalib. Seperti halnya ketika dia menebus hidup sang bayi pada saat berada di Betlehem.
Dalam perjalanan menuju ke Golgota, ia melihat seorang anak perempuan menangis dan meratap minta tolong kepadanya, ”Tuan tolonglah saya, para prajurit akan menjual saya sebagai budak, karena ayah saya mempunyai banyak utang dan tidak mampu melunasinya. Sebagai gantinya ia mengambil saya untuk dijual. Tolonglah saya, Tuan!” Walaupun Artaban sedang terburu-buru, ia melihat keadaan yang sangat mendesak. Sebelum anak ini dijual dan dijadikan budak untuk seumur hidupnya, ia berpikir lebih baik menukar batu mutiaranya untuk menebus anak perempuan itu. Dan, anak perempuan itu bebas.
Setelah itu, tiba-tiba langit menjadi gelap gulita dan terjadi gempa bumi. Artaban jatuh tertimpa puing reruntuhan atap yang roboh, dan terluka berat. Dia merasa sedang sekarat, kemudian berguman, ”Sang Raja, kapan aku (akan) melihat Engkau lapar dan aku memberi-Mu makan? Atau ketika Engkau haus lalu aku memberi-Mu minum? Kapan aku melihat Engkau sakit atau di dalam penjara, dan aku mengunjungi-Mu? Tiga puluh tahun lebih aku mencari Engkau, dan tidak sekali pun aku dapat bertemu dan melayani Engkau, Rajaku.”
Dan, dari jauh terdengar suara sayup-sayup yang sangat lembut menjawab, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.” Setelah itu meninggallah Artaban. Dia meninggal dengan tersenyum damai, karena dia mengetahui bahwa semua jerih payahnya dan semua hadiah untuk Sang Raja telah diterima oleh-Nya dengan baik.
Kisah tentang Artaban itu kemudian saya ceritakan kembali dalam perayaan Natal bersama SD Kristen Toko. Saat ini jumlah semua muridnya ada 70 orang, yang beragama Kristen 8 orang. Ada sekitar 20 siswa yang direkrut guru agama untuk menampilkan kisah Natal, lengkap dengan pakaian yang menunjukkan tokoh yang diperankannya. Saat melayani renungan, ada sekitar 12 orang dari pemeran kisah Natal itu yang saya ajak untuk peragakan adegan tertentu dari kisah Artaban. Tampaklah bahwa semua yang hadir menikmati cerita Natal tentang Artaban.
Akhir kisah tentang Artaban segera mengingatkan kita kepada kesaksian Matius 25:31-46, tentang penghakiman terakhir saat kedatangan Kristus kembali. Kedatangan-Nya kembali adalah untuk mengadili. Pertanyaan yang akan kita hadapi dalam pengadialn-Nya adalah pertanyaan yang paling tidak kita duga. Pertanyaannya: ”Apakah yang telah kamu lakukan terhadap saudara-saudara-Ku yang paling hina?”
Itu adalah pertanyaan Hakim yang Adil, yang dengan pertanyaan itu menyatakan kepada kita bahwa bekerja bagi perdamaian dan keadilan tidak pernah bisa dipisahkan. Selama ada orang yang lebih kecil daripada kita dalam bentuk dan hal apa pun, pertanyaan pengadilan yang terakhir itu akan selalu mengikuti kita. Selama masih ada orang asing, lapar, telanjang, sakit; selama masih ada orang-orang terpenjara, pengungsi, dan budak, orang-orang yang cacat secara fisik, mental, atau emosional; orang yang tidak punya pekerjaan, tidak punya rumah atau sebidang tanah, akan selalu terdengar suara itu dari kursi pengadilan: ”Apa yang telah kamu lakukan untuk saudara-saudari-Ku yang paling hina?” Pertanyaan ini membuat peristiwa kedatangan Kristus sebagai peritiswa yang selalu menyertai hdup kita.
Siapakah di antara kita yang bisa percaya diri menyambut pertanyaan pengadilan itu? Rasanya tidak mungkin kita bisa menanggapinya dengan mengandalkan kemampuan atau prestasi diri. Pertanyaan itu mengajak kita untuk terus memandang Yesus, untuk memberi perhatian kepada-Nya, dan tidak menolak pesan kasih-Nya. Pertanyaan pengadilan itu bisa kita sandingkan dengan kesaksian Injil Yohanes 21:15-17. Yesus bertanya kepada Petrus (calon pemimpin 12 rasul sekaligus pemimpin jemaat mula-mula) sampai tiga kali, tetapi hanya satu pertanyaan yang Dia berikan: ”Apakah Engkau mengasihi Aku?”
Baik pertanyaan dalam pengadilan terkahir, maupun pertanyaan Tuhan yang bangkit kepada Petrus pada dasarnya adalah sama. Pertanyaannya bukan: ”Berapa banyak orang yang menganggap atau memperhitungkan Engkau? Berapa banyak yang kalian hasilkan? Dapatkan kamu menunjukkan beberapa hasil karya kalian?” Tetapi: ”Apakah Engkau mengasihi Yesus?” Sedangkan Yesus dan Allah Bapa adalah satu. Kalau dirumuskan secara lain pertanyaan bisa menjadi, ”Apakah kalian mengenal Allah yang menjelma?”
Dalam dunia kita yang ditandai oleh kesepian dan keputusasaan, amat diperlukan pribadi-pribadi yang mengenal hati Allah, hati yang mengampuni, hati yang memberi perhatian, hati yang rela, dan mau menyembuhkan. Dalam hati seperti itu tidak ada kecurigaan, tidak ada dendam, tidak ada kemarahan, tidak ada sedikit pun rasa benci. Ini adalah hati yang hanya ingin memberikan kasih dan menerima kasih. Ini adalah hati yang banyak menderita karena melihat besarnya penderitaan manusia dan penolakan besar untuk percaya kepada hati Allah yang ingin menawarkan penghiburan dan harapan.
Kisah tentang Artaban, kisah tentang perjuangan Pak Alex memadukan olah raga bela diri dengan seni dan teologi/spiritualitas, kisah tentang para guru SD Kristen Toko yang bertahan tanpa membebani orang tua siswa dengan SPP maupun uang gedung, bisa menjadi inspirasi untuk semakin mengerti hati Allah. Di sepanjang zaman dibutuhkan para pemimpin sekaligus pelayan yang benar-benar mengerti hati Allah yang telah menjadi daging, ”hati dari daging”, dalam diri Yesus. Mengerti hati Allah berarti secara konsisten, mendasar, dan nyata mewartakan dan menyatakan bahwa Allah adalah kasih, hanya kasih. Kalau setiap kali ketakutan, kesendirian, atau keputusasaan mulai menguasai jiwa kita, ini semua bukan sesuatu yang datang dari Allah.
Kita dikasihi, bukan karena kita berbuat sesuatu dan bukan karena kita terkenal. Pada dasarnya, siapa pun kita ini, Tuhan tetap mengasihi kita. Dengan demikian selama kita hidup di dunia ini kita diutus untuk berkata, ”Ya Tuhan, aku juga mengasihi Engkau.”
Tyas Budi Legowo
Foto: Istimewa