”Firman yang datang dari TUHAN kepada Yeremia, bunyinya: ’Pergilah dengan segera ke rumah tukang periuk! Di sana Aku akan memperdengarkan perkataan-perkataan-Ku kepadamu.’ Lalu pergilah aku ke rumah tukang periuk, dan kebetulan ia sedang bekerja dengan pelarikan. Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya” (Yer. 18:1-4).
Demikianlah kisah Yeremia. Tuhan berfirman dan Yeremia menaati firman-Nya. Dan ketika menaati firman-Nya, Yeremia menjadi belajar banyak. Allah, melalui Yeremia, menegaskan bahwa manusia perlu pasrah total kepada Allah. Kepasrahan total itulah yang akan membuat hidup mereka berharga. Sebab, seperti tukang periuk, Allah akan membuat manusia menjadi bejana yang baik menurut pemandangan-Nya. Itulah kesimpulan Yeremia.
Apa yang bisa kita pelajari dari kesimpulan Yeremia ini? Pertama, Allah adalah pribadi yang mengasihi ciptaan-Nya. Dia menginginkan yang terbaik dalam diri manusia. Oleh karena itu, Allah menciptakan manusia seturut citra-Nya.
Tak heran pula, dalam kerangka memberikan yang terbaik bagi manusia, Allah mengaruniakan kehendak bebas dalam diri manusia. Allah tidak menciptakan robot. Allah menciptakan manusia yang mempunyai kehendak bebas.
Allah pasti memahami, dengan kehendak bebasnya itu manusia bisa salah langkah. Dan di mata Allah salah langkah bukanlah aib, yang tak bisa diperbaiki. Yang aib adalah tatkala manusia tak mengakui kesalahlangkahannya.
Kedua, ketika manusia mengakui kesalahannya, pada titik itulah Allah bersedia menyempurnakannya kembali. Seperti tukang periuk, Allah tidak akan membuang bejana yang rusak itu. Dengan sabar dan telaten Dia akan memperbaikinya. Dia akan menyempurnakannya seturut dengan apa yang baik menurut pemandangan-Nya.
Ketiga, penyempurnaan kembali ini pastilah memakan waktu yang tidak sebentar. Dan kemungkinan besar menyakitkan bagi manusia yang berada dalam proses pembentukan kembali itu. Bayangkan, bejana itu tak hanya diplester tanah lihat, tetapi dihancurkan terlebih dahulu agar dapat dibentuk kembali.
Pertanyaannya: apakah manusia mau dibentuk oleh Allah? Maukah manusia pasrah total kepada Allah saja? Maukah manusia percaya bahwa apa yang dilakukan Allah pasti baik semata? Memercayakan diri kepada Allah sungguh logis karena, mengutip Daud, ”mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satu pun dari padanya” (Mzm. 139:16).
Allah adalah Alfa dan Omega. Dari kekal hingga kekal. Dan manusia ada di dalam kekekalan itu. Bukanlah lebih logis memercayakan diri kita kepada Allah yang sungguh tahu tujuan dan jalan-jalan hidup kita?
Sesungguhnya Allah masih mencipta kita hingga hari ini. Kita, Saudara dan saya, adalah produk yang belum selesai. Dan penyempurnaan itulah yang dilakukan Allah. Karena, sebagaimana tukang periuk, Dia mengasihi kita. Allah ingin kita menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Dengan kata lain, Saudara dan saya berada dalam proses menjadi. Menjadi versi terbaik dari diri sendiri.
Menjadi Murid
Itu jugalah yang dikatakan Tuhan Yesus: kita sedang berada dalam proses ”menjadi murid”. Dan menjadi murid ada syaratnya. Syarat pertama: ”Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk. 14:26).
Ini bukanlah berarti kita harus membenci hubungan-hubungan keluarga. Tetapi kita harus menomorduakan hubungan-hubungan keluarga itu. Bahkan, hubungan dengan diri sendiri pun harus dinomorduakan. Menjadi murid berarti bersedia melepaskan hubungan kekerabatan, bahkan hubungan dengan dirinya sendiri.
Di sini, tuntutan Yesus jelas. Guru dari Nazaret menginginkan semua hubungan keluarga dinomorduakan karena Allahlah yang menciptakan semua hubungan itu. Agak aneh memang, kita menomorduakan Allah, yang telah mengaruniakan semua hubungan itu kepada kita.
Syarat kedua: ”memikul salib dan mengikuti Yesus.” Perkataan ini janganlah kita pahami sebagai ajakan mencari-cari salib. Yesus, Sang Guru, memikul salib. Para murid-Nya pun harus memikul salib. Bukan salib Yesus yang dipikul, tetapi salib mereka sendiri. Artinya, meneladan Kristus. Dan ketika para murid memikul salibnya, maka sama seperti Yesus mereka juga akan mengalami kemuliaan yang sama.
Dalam semua ayat itu, ”memikul salib” dan ”mengikut aku” tak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Bila dipisahkan, beban yang dipikul orang bisa-bisa bukan lagi salib yang membawa ke ”keselamatan”, tetapi berhenti pada penderitaan yang tanpa ujung pangkal.
Syarat ketiga: melepaskan harta milik. Kepribadian murid Yesus ialah merdeka, juga dalam hal harta milik. Tak heran jika Yesus mengajak para murid-Nya untuk melepaskan diri dari ikatan harta milik. Salah satu kekhususan Kerajaan Allah dalam perspektif Lukas ialah perhatian kepada orang yang miskin. Berarti orang yang memiliki kelebihan diajak agar menggunakan kekayaan dengan mereka membantu mereka yang kurang mempunyai. Untuk itu perlu ada sikap merdeka terhadap harta.
Apakah para murid pasti mampu menjalankan semuanya itu? Sebenarnya ini bukan perkara mampu atau tidak mau, tetapi apakah para murid mau mematuhi semua syarat itu? Jika ya, maka para murid akan dimampukan untuk memenuhi syarat tersebut. Dengan kata lain, para murid akan dibentuk agar mampu menjalani semua ketentuan tadi.
Inti semua syarat tadi hanyalah agar para murid belajar mempercayakan diri mereka kepada Allah. Itu jugalah makna dari mengutamakan Allah dalam hidup mereka. Dan saat mereka berbuat demikian, Allah sendirilah yang akan membentuk mereka agar mampu menjalani kemuridan mereka.
Yesus menegaskan kepada para murid-Nya untuk menjadikan kemuridan mereka sebagai hal yang terutama. Dengan kata lain, segala sesuatu harus dilepaskan. Mereka tidak boleh melekatkan diri pada apa pun atau siapa pun, kecuali kepada Allah.
Nah, Paulus bisa menjadi teladan di sini. Surat yang kita baca hari ini merupakan surat yang dikirim dari penjara. Apa jadinya jika Paulus tidak di penjara? Maka Paulus tidak bisa menyimpulkan bahwa penjara ternyata membuat kalangan istana di Roma mengetahui bahwa dia dipenjara karena Kristus. Pemenjaraannya ternyata malah membuat banyak pengikut Kristus makin diteguhkan sebagai Kristen. Dan tentu saja kita, orang Kristen abad ke-21 mendapatkan warisan berharga, yakni Kitab Filipi ini.
Jelaslah, pemenjaraan Paulus malah membuat dirinya menjadi lebih Kristen dan membuat banyak orang menjadi lebih percaya kepada Kristus. Ini jugalah kesimpulan Fanny Crosby: ”Suka Duka dipakai-Nya untuk kebaikanku. Suka duka dipakai-Nya untuk kebaikanku.” Amin.
Yoel M. Indrasmoro