Pelatihan penulisan yang kami selenggarakan bersama Keluarga Alumni Kristen IPB sangat menarik karena diikuti tiga anak muda. Boleh dibilang zaman old dan zaman now berlomba dalam dinamika pelatihan yang asyik.
Sesi menulis bebas misalnya, dalam waktu sepuluh menit peserta ditugaskan untuk menuliskan apa saja yang ada di kepala. Dengan spontan semua menceritakan kondisi masing-masing karena ada yang sedang di mal dan bingung antara mendengarkan musik atau mengikuti pelatihan via zoom, yang lain juga menceritakan kegiatan yang sedang dilakukannya, termasuk ajakan menulis ini sendiri.
Tahap berikutnya kami diberi pemaparan ringkas kisah Nabi Habakuk. Kemudian peserta ditugaskan menulis layaknya seorang pembuat iklan. Belajar dari Habakuk, menjadi penulis berarti juga belajar mengerti kehendak Tuhan dalam diri kita, mengenai apa yang akan kita tuliskan bila kita mendapat inspirasi dari perjalanan iman kita. Latihan yang dikerjakan bersama adalah menuliskan apa saja yang terlintas dalam diri kita, dari sebuah gambar kaki bersepatu dari seseorang yang sedang berdiri di pinggir jalan.
Selama pelatihan singkat ini ada beberapa tulisan yang diperkenalkan oleh Pdt. Yoel M. Indrasmoro—selaku fasilitator yang cukup menggugah peserta, misalnya tulisan Eka Budianta tentang ajakan menulis dan tulisan Pdt. Yoel tentang Alm. Alfred Simanjuntak yang ditulis sangat apik dan mengenalkan sisi lain dari seorang tokoh yang kita kagumi bersama.
Respons Asyik Anak Muda
Respons Marcello Silalahi, Neisya dan Elder Manik yang turut berproses dalam pelatihan kali ini bagi saya istimewa. Mereka pelajar SMA yang entah bagaimana hadir bersama mama atau papanya dalam pelatihan menulis lintas generasi. Mereka terlibat tanpa canggung untuk urun tulisan juga percakapan. Bagi saya ini tidak sekadar bonus, tetapi peserta yang sebenarnya.
Penemuan menarik dari sesi inti Write the Vision adalah ketika diberi tugas menulis narasi yang tergali dari sebuah gambar sepasang kaki bersepatu yang sedang berdiri di ambang jalan. Ketiga sobat muda saya menuliskan dengan jujur dan menarik narasi tentang pencarian jati diri mereka.
Marcellolah yang pertama open mic dan membacakan narasi yang telah dirangkainya:
”Ia (seseorang dalam gambar itu) sedang bepikir dalam membuat keputusan. Apakah ia harus maju dan mengikuti waktu yang berjalan atau tetap di situ, menyerah dengan perjuangan yang selama ini ia lakukan, lalu tidak bisa meninggalkan momen-momen yang ada di sana. Ia tahu, walau sepanjang perjuangan ini harus melalui proses yang naik turun, ia harus segera menerima apa yang sudah ia lakukan sebelumnya, dan tetap berjalan dengan waktu, agar bisa menyelesaikan visi dan misinya di dunia.”
Neisya dalam waktu yang cukup singkat, namun mampu menuliskan sebuah kisah yang cukup menarik:
“Langkahku berhenti di sebuah kota yang sangat asing bagiku, Kota Bandung. Tak pernah terpikirkan di benakku akan tinggal di sini, di kota kembang, kota yang asri dan indah pemandangannya.
Sedikit flashback, saat aku kelas sembilan. Aku bingung, tak tahu ingin melanjutkan ke SMA yang mana. Di situ aku berusaha untuk mencari beasiswa anak SMA melalui media sosial yang aku punya.
Aku coba daftar beasiswa, mulai dari sekolah pertama, sekolah kedua hingga sekolah yang ketiga. Jujur aku tak berharap lebih, aku hanya daftar dan melakukan yang terbaik.
Tak menyangka saat mengikuti beberapa seleksi, aku lolos hingga tahap terakhir. Perasaanku nano-nano, aku senang namun aku juga deg-degan. Waktu berlalu, saatnya pengumuman beasiswa. Puji Tuhan, aku lolos beasiswa SMA selama tiga tahun, di sekolah Internasional Berprestasi. Aku sangat bersyukur sekali. Aku percaya ini bukan hanya karena kekuatanku, tetapi ini juga bagian dari rencana Tuhan”
Elder Manik seolah mengubah gambar abstrak, menjadi lukisan puisi, demikian:
”Sudah bertahun-tahun ia menyusuri jalan sepi dan tandus, daerah tak bernama, menyusuri jalan yang tak dikenal, ke suatu tempat yang tak diketahuinya.
Ia tahu juga bahwa mungkin sampai ke tujuan dengan tangan hampa pula.
Hanya denyutan jantungnya dan suara hatinya yang menuntun dirinya untuk menempuh jalan yang penuh tanda tanya.
Yakinkan dirinya akan satu cahaya di ujung terowongan, satu hujan di ujung padang yang tandus, satu akhir yang bahagia untuk mengakhiri kisah hidupnya.”
Anak Muda Pelaku Media di Zamannya
Saya pun kini merenungi masa SMA saya, walaupun banyak kegiatan, tetapi pelatihan menulis baru saya ikuti dengan sungguh-sungguh ketika saya kuliah. Saya banyak membaca buku, tetapi seingat saya tak pernah menulis atau ikut pelatihan menulis. Apalagi bisa punya buku yang sudah diterbitkan seperti Neisya, dan punya kemauan seperti dikisahkan Marcello untuk menulis hobi menonton film dan bermusik. Saya iri, tetapi bangga punya sobat muda yang berjalan bersama.
Hal lain yang tak kalah menarik dari semua proses yang terjadi bahwa pelatihan bersama anak muda kesayangan kami ini adalah sebuah kebersamaan intergenerasi yang bergulat tidak saja dengan penulisan, tetapi juga bagaimana kami saling mengerti perspektif kami satu dan yang lain. Berbeda pasti, tetapi saling terbuka dan jujur menyampaikan pergulatan masing-masing dalam membuat sepotong narasi yang sungguh bermakna sungguh menarik dan menantang.
Menantang untuk terus mengerti dan saling mempengaruhi. Misi saya bersahabat dengan anak muda adalah ingin bisa menuangkan segelas kecil ”racun” pelayanan media dan penulisan populer yang dikerjakan oleh anak muda sendiri, tetapi yang mendasar dari pengalaman mereka dan kena-mengena dengan pembaca muda yang ingin kita pengaruhi bersama. Tentu pengaruh yang baik karena kita hendak berbagi kabar baik melalui tulisan dan media.
Kris Hidayat | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Foto: Dokumentasi zoom Pelatihan Write the Vision, 22 Juli 2023