Site icon Tangan Terbuka Media

Bertolong-tolonganlah!

Istimewa

”Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Demikianlah salah satu nasihat Paulus kepada warga jemaat di Galatia. Menarik disimak frasa ”bertolong-tolonganlah” ini. Artinya saling membantu. Dan inilah yang membuat kehidupan menjadi seimbang. 

Hanya satu sisi saja akan membuat yang menolong merasa kepayahan, capek, dan akhirnya berhenti menolong. Atau ekstrem lainnya: akan menjadi tinggi hati atau sombong. 

Sebaliknya, yang terus ditolong akhirnya jatuh dalam jurang ketergantungan, tidak berkembang, tidak mandiri.  dan akhirnya malah malu sendiri; ekstremnya akan menjadi rendah diri atau minder. 

Baik menolong maupun ditolong—kata kerja aktif dan aktif—perlu ada dalam diri setiap orang. Inilah yang akan membuat seseorang terhindar dari rendah diri atau tinggi hati. Saling menolong akan setiap orang menjadi pribadi yang rendah hati. 

Dalam hidup persekutuan hanya menolong akan membuat seseorang menjadi pujaan, dan hanya ditolong akan membuat seseorang menjadi bencian. Dan keduanya merupakan beban persekutuan. 

Sebenarnya baik menolong maupun ditolong butuh sikap rendah hati. Hati yang terbuka akan menyebabkan tangan terbuka, baik untuk yang menolong maupun yang ditolong. Menolong dan ditolong membutuhkan ketulusan. 

Kisah Pelayan Istri Naaman 

Dan itulah yang terjadi dalam kisah Naaman. Menarik disimak, itu pulalah yang dilakukan perempuan pelayan istri Naaman. Kepada nyonyanya, dia berkata, ”Sekiranya tuanku menghadap nabi yang di Samaria itu, maka tentulah nabi itu akan menyembuhkan dia dari penyakitnya,” ujar pelayan istri Naaman (2Raj. 5:3). Kita tidak pernah tahu nama gadis itu. Penulis Kitab Raja-raja juga tidak merasa perlu menyebutkan namanya. Tetapi, apa yang dilakukannya merupakan hal yang baik untuk disimak.

Bayangkan, dialah yang mengusulkan agar Naaman pergi ke Israel untuk mendapatkan kesembuhan di sana. Perhatikan kata-katanya dalam Alkitab BIMK: ”Nyonya, sekiranya tuan pergi menemui nabi yang tinggal di Samaria, pastilah nabi itu akan menyembuhkan tuan.”

Sekali lagi, kita tidak tahu bagaimana situasi dan kondisi gadis itu sebenarnya. Penulis Kitab Raja-raja mencatat: ”Pada suatu waktu orang Siria menyerbu negeri Israel. Dalam penyerbuan itu seorang anak perempuan Israel ditangkap dan diangkut sebagai tawanan, kemudian menjadi pelayan bagi istri Naaman” (2Raj. 5:2, BIMK).

Jelas gadis itu adalah tawanan perang. Dan sebagai tawanan perang kemungkinan hidupnya tidak bahagia-bahagia amat. Bukankah hujan batu di negeri tetap lebih menyenangkan ketimbang hujan emas di negeri orang. Lalu, mengapa dia merasa perlu bersusah-payah mengupayakan kesembuhan Naaman? 

Bisa jadi, gadis itu percaya bahwa Elisa pasti mampu menyembuhkan Naaman, tetapi apakah Elisa mau menyembuhkan musuh negera dari penyakit kustanya? Bukankah tindakan perempuan itu sungguh berisiko? Apalagi, Naaman sendiri hampir pulang ketika Elisa, yang sengaja tidak menjumpai tamunya, malah memintanya untuk berendam 7 kali di Sungai Yordan?

Sekali lagi, kita tidak tahu apa motivasi gadis itu. Namun, kemungkinan besar, gadis itu sudah mampu menerima keberadaan dirinya sebagai tawanan. Bisa jadi, Si Gadis merasa bahwa apa yang terjadi pada dirinya tidak terjadi diluar izin Tuhan. Bisa jadi, Sang Nyonya dan Sang Tuan memang mengasihinya. Itulah yang membuatnya bersyukur. Dan karena itu dia mau membagikan rasa syukurnya dengan mengusulkan kiat untuk kesembuhan tuannya. Dia tampaknya senang melihat orang lain senang, meski itu musuh bangsanya.

Jelaslah gadis itu tidak dipanggil untuk hidup bagi diri sendiri. Dia mau tuannya sembuh. Serempak dengan itu dia sungguh percaya bahwa Allah Israel adalah pengasih dan penyayang.

Kisah Pegawai Naaman

Tak hanya gadis itu sebenarnya! Kisah para pegawai Naaman patut disimak (2Raj. 5:1-14). Meski berstatus pegawai, mereka bermental karyawan. Mereka tidak bermental ABS (Asal Bapak Senang), mereka sungguh ingin memberikan yang terbaik melalui karya.

Ketika Naaman kesal dengan perlakuan Elisa, yang memintanya untuk membenamkan diri ke sungai Yordan sebanyak tujuh kali, para pegawainya berupaya agar Naaman tetap fokus pada tujuan utama—kesembuhan dari kusta.

Nasihat mereka: ”Bapak, seandainya nabi itu menyuruh perkara yang sukar kepadamu, bukankah Bapak akan melakukannya? Apalagi sekarang, ia hanya berkata kepadamu: Mandilah dan engkau akan menjadi tahir.” (2Raj. 5:13). Kalimat yang logis. Meski bertujuan menyentuh pikiran, kalimat itu pastilah menyentuh hati Naaman. Pegawai-pegawai itu mengingatkan kembali akan kehebatan Sang Panglima.

Siapa tak kenal Naaman? Dia suka sekali, dan terbukti, mampu melakukan tindakan luar biasa. Dia terbiasa melakukan hal-hal sulit. Bagi orang lain mungkin mustahil, namun tidak bagi Naaman.

Dengan kata lain, ”Kalau perbuatan yang sukar saja Bapak suka dan mampu melakukannya, masak hal yang mudah begini Bapak malah enggan?” Itu berarti, apa yang diminta Elisa bukanlah sesuatu yang sulit. Lalu, apa salahnya dicoba! Ya, apa salahnya dicoba? Bukankah dia telah sampai ke Israel. Kalau pulang ke Damsyik, dia tidak mendapatkan apa-apa.

Kita tidak pernah tahu nama para pegawai itu. Namun, mereka mengerjakan tugasnya dengan baik. Mereka berani mengemukakan pendapat yang berbeda demi kepentingan tuannya. Mereka ingin Sang Panglima meraih tujuannya. Mereka telah menjadikan cita-cita tuannya—kesembuhan dari kusta—sebagai cita-cita mereka juga. Mereka menolong Naaman mencapai tujuannya. Dan Naaman pun sembuh dari penyakitnya. 

Jelaslah, baik gadis pelayan istri Naaman maupun pegawai Naaman sama-sama ingin menolong Naaman. Gadis itu memperlihatkan visinya: kesembuhan suami nyonyanya dan para pegawai Naaman mendukung Naaman untuk mewujudkan visinya. Keduanya sama-sama ingin yang terbaik bagi Naaman.

Dan jelas pula ada keterbukaan dari Naaman untuk menerima baik usulan gadis pelayan istrinya juga para pegawainya. Keterbukaan dari pihak yang ditolong dan pihak yang menolong menjadikan mukjizat itu nyata.

Kisah Pengutusan Tujuh Puluh Murid

Kisah pengutusan tujuh puluh murid menarik disimak. Jelaslah bahwa mereka adalah pribadi yang diutus. Yesus Orang Nazaret memanggil para murid tidak hanya untuk menikmati persekutuan dengan-Nya, tapi untuk diutus. Mereka dipanggil untuk diutus. Diutus untuk membagikan apa yang pernah mereka rasakan saat bersama Yesus. 

Orang Kristen juga dipanggil tidak untuk menikmati sendirian saja kasih Kristus itu, tetapi juga memberikan kesempatan bagi orang lain untuk merasakannya juga. Mereka diutus untuk menolong orang lain.

Yang juga menarik adalah Sang Guru tidak pernah mengutus orang sendirian. Dia selalu mengutus orang sebagai kelompok. Manusia memang tidak dapat melakukan apa pun sendirian. Dengan berdua-dua mereka dapat saling dukung—saling asah, saling asih, saling asuh. Asah itu berkait dengan pikiran, asih itu berkait dengan hati, asuh berkati dengan karya atau perbuatan. Jelas di sini saling menolong. Atau, jika dua orang, yang satu bekerja, maka yang lain bisa mendukungnya dalam doa. 

Mereka memang diutus untuk memberitakan Kerajaan Allah. Itu berarti kerajaan kasih. Bagaimana mungkin mereka menyatakan kerajaan kasih kepada orang lain, jika mereka sendiri tidak mempraktikan kasih itu satu sama lain. Pemberitaan itu menjadi kopong belaka. Tanpa isi.

Alasan lainnya, mungkin Yesus hendak menghindari kecenderungan kesombongan dalam diri murid-Nya. Jika hanya satu orang, saat berhasil mudah bagi dia untuk menyatakan kepada dunia bahwa karena dia (dia sendirilah) sukses dicapai. Kelompok membuat orang memahami bahwa keberhasilan bukan karyanya semata, tetapi orang lain, dan juga Tuhan.

Dan memang itulah yang terjadi. Ketika mereka pulang, ada rasa bangga, bahkan agak sombong, bahwa mereka telah berhasil mengusir setan dalam nama Yesus. Dan Yesus langsung mengingatkan: ”Janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu ada terdaftar di surga.”

Bangga boleh, sombong jangan. Bangga karena mereka adalah utusan. Bangga karena Allah berkenan memakai mereka sebagai utusan. Namun, yang penting adalah dampak kekal peristiwa pengusiran setan itu, bagi orang lain, juga bagi diri mereka sendiri. 

Jelas juga di sini, pentingnya berdua-dua, ada orang yang mengingatkan ketika seseorang sudah menjadi sombong. Ya, mengingatkan adalah salah satu bentuk pertolongan. Kawan sejati tak pernah ingin sahabatnya jatuh. Ya, inilah hidup bertolong-tolongan. Amin. 

Yoel M. Indrasmoro

Exit mobile version