Site icon Tangan Terbuka Media

Camping ”Dengan Tangan Terbuka”

Pertengahan tahun ini pemuda gereja, tempat saya melayani, menjadi panitia camping pemuda sewilayah Klasis. Cukup waktu untuk mempersiapkannya. Majelis gereja sudah menyusun konsep personalia panitia camping, rencananya dilantik dalam ibadah Minggu akhir tahun kemarin. Calon panitia sudah melakukan survei. Tempat camping yang dipilih adalah bumi perkemahan di hutan dekat sendang, yang tidak jauh dari salah satu pepantan atau pasamuwan desa. Camping akan diisi kegiatan perpaduan pemuridan, kerja bakti dan keakraban atau kegembiraan. Hanya saja hingga akhir tahun kemarin panitia belum mantap dalam menetapkan tema kegiatan camping.

Tangan Terbuka Media, sebuah lembaga komunikasi penerbitan di Jakarta, bisa menjadi inspirasi dalam merancang tema camping. Sekarang sudah zaman medsos. Buku panduan camping yang dicetak atau model pengumuman di lapangan dengan pengeras suara yang menggelegar sudah mulai bisa ditinggalkan. Sebagai gantinya, panduan atau materi camping bisa dibagikan secara online atau melalui podcast radio yang bisa diakses dengan handphone.

Kegiatan camping dimungkinkan bekerja sama dengan Tangan Terbuka Media khususnya dari sisi teknis. Jadi, sempat terpikir mengangkat ”Dengan Tangan Terbuka” sebagai tema kegiatan camping. Namun, jika tema itu yang dipilih, masih menyisakan tanya dari segi isi atau substansi: mengapa,  ada apa, dan mau apa jika camping itu bertema ”Dengan Tangan Terbuka”.

Saya terbantu mendapat jawaban pertanyaan itu setelah mengalami kejadian tak terduga pada ibadah Minggu akhir 2023. Rangkaian pelayanan kegiatan Natal hingga Tahun Baru, yang baru saja lewat, saya jalani dengan kondisi tubuh kurang sehat. Tampaknya tenaga saya sudah tersedot saat melayani retret akhir pekan Adven II dan rangkaian pelayanan seharian pada hari Minggunya.

Dampaknya, selama lebih dari satu minggu saya terkena flu. Karena tak kunjung sembuh, tiga hari sebelum Natal saya memeriksa darah di laboratorium RS terdekat menjalani test widal untuk typhoyd. Ternyata hasilnya tinggi, tanda bahwa saya kena gejala tifus. Setelah mendapat asupan infus vitamin beberapa jam di IGD, saya diijinkan dokter untuk rawat jalan. Pelayanan ibadah rangkaian Natal bisa saya jalani.

Pada hari Minggu akhir tahun itu, saya terjadwal melayani ibadah di pasamuwan kota jam 06.00 dan 08.00. Ibadah pagi jam 06.00 ada pelayanan pelantikan panitia camping.  Sebelum ibadah dimulai, saya sudah merasakan terkadang perut tidak enak. Rasa mual dan ingin ke belakang disertai nyeri beberapa menit makin sering saya rasakan. Saya tidak menceritakan kondisi ini kepada rekan majelis yang bertugas. Dengan memohon tetap diberi kekuatan oleh Tuhan saya menuju mimbar.

Pelayanan pelantikan dilakukan sebelum doa syafaat. Saya panggil satu per satu saudara yang akan dilantik untuk berdiri di lantai depan mimbar. Saat sudah separuh lebih yang saya panggil, tiba-tiba rasa mual disertai nyeri itu datang. Saya merasa lemah, kemudian duduk di kursi di belakang mimbar. Saya coba himpun tenaga, kemudian bangun untuk memanggil kembali yang akan dilantik. Saat itulah saya benar-benar tidak kuat berdiri, dan kemudian pingsan.

Kekhusyukan ibadah menjadi pecah dan terhenti sebentar. Selanjutnya saya dibawa ke RS terdekat. Pelantikan panitia camping jadi tertunda. Ibadah dilanjutkan oleh majelis yang bertugas sebagai imam, dengan menggunakan buku liturgi lengkap beserta contoh khotbah yang sudah dicetak di awal bulan.

Bersyukur belum sampai RS saya sudah sadar. Sesampai di IGD saya segera ke kamar mandi untuk buang air besar. Kondisi saya berangsur membaik dan bisa berkomunikasi lancar. Info bahwa saya sudah sadar dan bisa tersenyum lebar segera tersebar. Setidaknya info itu bisa mengurangi rasa cemas anggota jemaat yang hadir dalam ibadah yang sempat saya layani.  Selanjutnya selama empat hari saya perlu opname di RS untuk juga dilakukan observasi lebih lengkap.

Kesempatan istirahat di RS itu juga saya pakai untuk memaknai kenyataan bahwa saya bisa pingsan saat melayani ibadah. Penyebab pingsan itu bisa dikatakan sepele. Sebab saya kurang sehat dan belum sarapan. Misalnya, saya membawa bekal ramuan kemasan herbal atau obat mag kejadian itu bisa saja dihindari.

Ada juga rasa bersalah, mengapa saat saya terduduk lemah di belakang mimbar tidak berkomunikasi dengan rekan majelis lainnya agar dibantu melanjutkan memimpin ibadah. Kejadian saya pingsan itu tentu menjadikan kaget, sedih, cemas di antara jemaat yang hadir, dan fokus ibadah kepada Tuhan menjadi terpengaruh. Kasihan juga bagi yang memiliki kelemahan jantung.

Tak ada seorang pun pendeta atau pelayan ibadah yang ingin pingsan saat melayani di mimbar. Karena itu, betapa penting persiapan batin maupun fisik bagi para pelayan sebelum melayani ibadah. Kenyataannya saya mengalami hal yang tidak diinginkan itu. Saya mesti mau belajar menerimanya dengan tangan terbuka, yang bukan hanya dalam arti kiasan. Supaya segera pulih sehat selama di RS, tangan saya harus lebih banyak terbuka. Hanya saat dipasang jarum infus atau memegang atau menggenggam sesuatu, tangan saya menutup atau mengepal. Selebihnya, lebih banyak tangan saya harus terbuka untuk menerima bantuan demi pemulihan saya.

Dari pengalaman menerima kenyataan pingsan, sehingga batal melantik panitia camping, dan perlunya tangan yang terbuka menerima bantuan selama perawatan di RS, saya dimantapkan untuk mengajak majelis gereja dan panitia mengangkat ”Dengan Tangan Terbuka” sebagai tema camping.  Tema tersebut bisa merasuk dalam berbagai kegiatan camping, baik yang menekankan pemuridan, kerja bakti, dan kegiatan keakraban atau kegembiraan.

Khususnya kegiatan pemuridan, yakni semakin menjadi murid Yesus yang bersedia dipakai-Nya untuk menghasilkan murid, bisa diasah melalui kegiatan doa hening. Berdoa bukan hal yang mudah. Doa menuntut adanya suatu hubungan, di mana kita membiarkan Pribadi lain masuk ke dalam inti pribadi kita, membiarkan-Nya berbicara di sana, membiarkan-Nya menyentuh pusat kehidupan kita yang peka, dan membiarkan-Nya melihat begitu banyak yang mungkin lebih senang kita sendiri biarkan tetap tinggal dalam kegelapan. 

Daya yang membuat orang menolak untuk berdoa mirip dengan daya tolak tangan yang mencengkeram. Masih ada ketegangan dan keinginan untuk melekat erat pada diri sendiri dan nafsu rakus yang menyembunyikan rasa takut. Orang yang berdoa diminta untuk membuka tangannya yang mencengkeram dan menyerahkan sesuatu yang dianggap paling berharga sebagai milik terakhirnya. Kalau kita mau berdoa, pertanyaan pertama adalah: Bagaimana saya dapat membuka cengkeraman tangan saya? Jelas tidak dengan kekerasan. Juga tidak dengan keputusan yang dipaksakan. Di sinilah pentingnya keheningan.   

Keheningan yang mendalam membuat kita merasa bahwa berdoa pertama-tama adalah menerima. Orang yang berdoa adalah orang yang tangannya terbuka bagi dunia. Ia tahu bahwa Tuhan akan menyatakan Diri dalam alam sekitarnya, dalam diri orang yang ia jumpai, dalam keadaan yang ia masuki. Ia percaya bahwa dunia menyimpan rahasia Allah dan ia berharap agar rahasia itu disingkapkan kepadanya.

Doa menciptakan keterbukaan di mana Allah dapat memberikan Diri kepada manusia. Sungguh, Allah mau memberikan Diri; Ia menyerahkan Diri kepada manusia yang diciptakan-Nya; Ia ingin agar kita membiarkan-Nya masuk ke dalam batin kita.

Manusia baru menjadi sungguh manusia kalau ia mampu membuka diri terhadap semua anugerah yang disediakan baginya. Tantangan yang diajukan oleh Injil justru terletak dalam ajakan untuk menerima anugerah yang mustahil kita balas. Karena anugerah itu adalah napas kehidupan Allah sendiri, Roh yang dicurahkan ke dalam hati kita melalui Yesus Kristus. Napas kehidupan  ini membebaskan kita dari rasa takut dan memberikan kepada kita ruang baru untuk hidup. 

Ketika kita masih muda belum dewasa, kita mau menggenggam segala sesuatu dalam tangan kita sendiri. Namun, kalau tangan kita terbuka ke arah doa, kita dapat mengulurkan  lengan dan membiarkan diri dipimpin ke tempat yang tidak kita ketahui.  Selanjutnya yang kita ketahui hanyalah bahwa kemerdekaan yang dibawa oleh napas Allah di dalam diri kita, akan membawa kita kepada hidup baru, juga kalau satu-satunya yang dapat dilihat hanyalah salib. Namun, bagi orang yang berdoa, salib pun bukan tanda yang menakutkan.

Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan  ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” (bdk. Yoh. 21:18).  Dan, biarlah proses sekaligus panggilan terbuka ke arah doa itu diasah oleh para peserta camping dalam bingkai tema ”Dengan Tangan Terbuka.”

Tyas Budi Legowo

Foto: Istimewa

Exit mobile version