Dari ”Tertawa” Menjadi Tertawa
Sabda-Mu Abadi | 3 Mei 2024
Tertawa” bisa jadi kata kerja yang paling diinginkan. Tertawa dapat membuat orang, siapa pun dia—tua-muda, miskin-kaya, besar-kecil, apa pun agamanya—sesaat melupakan kepedihan hidup. Ya, banyak orang ingin tertawa. Tak heran, hingga hari ini profesi pelawak masih laku. Dan sebagaimana manusia lainnya, Sara pun ingin tertawa. Sara ingin tertawa bahagia.
Sara ingin tertawa. Hanya penulis Kitab Kejadian mencatat bahwa dia mandul (lih. Kej. 11:31). Kemandulan itu kelihatannya membuat Sara bersemangat mengikuti ke mana suaminya pergi karena Allah berjanji Abraham akan menjadi suatu bangsa yang besar. Janji itu membuat Sara lega. Dia sungguh ingin menggendong anak dari rahimnya sendiri. Sara pasti berharap janji Allah itu menjadi kenyataan.
Namun, apa mau dikata, Sara tak juga melahirkan. Sudah sepuluh tahun mereka tinggal di Kanaan, janji Allah belum terlaksana. Itu bukanlah hal yang mudah buat Sara. Di matanya janji Allah itu tinggal janji. Tak ada realisasi. Sara tampaknya berusaha keras untuk menerima kenyataan itu, meski pahit.
Oleh karena itu, Sara memohon kepada Abraham untuk mengambil Hagar, hambanya, menjadi selir, dan anaknya itu akan dianggap sebagai anak Sara. Semuanya itu dilakukan Sara karena dia ingin tertawa. Meski bukan darah dagingnya sendiri, anak Hagar itu diakui sebagai anaknya. Bagaimanapun juga Sara memiliki anak resmi.
Namun, ketika Abraham berumur 99 tahun, dan itu berarti Sara berumur 90 tahun, Tuhan menegaskan kembali janji-Nya kepada Abraham. Abraham sendiri mulanya sulit memahami hal ini. Bahkan penulis Kitab Kejadian mencatat bahwa Abraham tertunduk dan tertawa serta berkata dalam hatinya: ”Mungkinkah seorang anak dilahirkan bagi orang yang berumur seratus tahun, dan mungkinkah Sara, yang telah berumur sembilan puluh tahun itu melahirkan seorang anak?” (Kej. 17:17).
Abraham sendiri menyatakan kepada Tuhan agar Ismael mendapat perkenanan Tuhan. Akan tetapi, dengan tegas Tuhan menyatakan bahwa Sara akan melahirkan seorang anak laki-laki bagi Abraham. Dan untuk penegasan Allah ini, Abraham hanya diam.
Seperti Abraham, Sara pun tertawa. Sara tertawa karena memang dia sudah lama menguburkan dalam-dalam impiannya itu. Dia merasa apa yang dikatakan para tamunya itu sekadar olok-olok. Sara tertawa dalam hatinya karena sulit baginya untuk percaya. Dan itu dipandang Allah sebagai ketidakpercayaan. Pada titik ini Sara menertawakan Allah.
Setahun kemudian Sara tertawa. Bukan karena ketidakpercayaan, melainkan karena dia sungguh-sungguh bahagia. Allah telah menjawab pergumulan hidupnya selama ini. Dia telah mendapatkan seorang putra.
Di sini indahnya, meski Sara pernah menertawakan Allah, Allah tetap menjalankan kehendak-Nya: membuat Sara tertawa bahagia. Dan nama anak itu Ishak, yang berarti ”ia tertawa”. Bahkan, Sara dengan terus terang mengaku, ”Allah telah membuat aku tertawa” (Kej. 21:6).
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Klik tautan di bawah ini untuk mendengarkan versi audio: