Sabda-Mu Abadi | 17 Mei 2024
Kisah ”Yehuda dan Tamar” (lih. Kej. 38) memperlihatkan betapa lemah dan terbatasnya manusia itu. Yehuda, anak Yakub, bukanlah teladan hidup yang baik. Yehuda memiliki tiga anak laki-laki dari Syua orang Kanaan, yaitu: Er, Onan, dan Syela.
Er mati muda karena perilakunya jahat di mata Allah. Dia meninggalkan istrinya, Tamar, tanpa anak. Yehuda pun, sesuai dengan budaya masa itu, meminta Onan menjadi suami Tamar untuk memberikan anak bagi Er, sekaligus melanjutkan keturunan Yehuda. Onan tak bisa menolak permintaan ayahnya, tetapi dia juga tidak rela memberikan anak bagi kakaknya. Tindakannya itu jahat di mata Allah, sehingga Allah membunuhnya.
Sembari menunggu Syela besar, Yehuda memerintahkan Tamar untuk pulang ke rumah orang tuanya. Namun, langkah ini tak sepenuhnya tulus karena Yehuda khawatir Syela akan mati pula seperti kedua kakaknya. Bahkan, ketika Syela dewasa, Yehuda takut meminta dia menikahi Tamar. Inilah kesalahan pertama Yehuda.
Sistem budaya waktu itu—bahwa adik laki-laki bisa menikahi istri kakaknya apabila kakaknya telah meninggal agar mendapatkan anak bagi kakaknya—memang tidak sempurna. Sistem semacam itu menyebabkan Onan terpaksa melakukan kewajiban budayanya. Bisa jadi, Yehuda takut jika Syela sepikiran dengan Onan dan akhirnya mati.
Kematian kedua anak laki-laki Yehuda itu memang tragis. Namun, menahan Syela agar tidak menikah dengan Tamar tidak dapat dibenarkan. Sebab Tamarlah yang menjadi korbannya. Dan itulah alasan Tamar berpura-pura sebagai pelacur agar Yehuda mau mengawininya. Tindakan Tamar tentu salah, tetapi bukan tanpa alasan. Tindakan Yehuda pasti salah. Meski duda, dia telah berzina dengan pelacur.
Untunglah Yehuda mengakui perbuatannya, sebelum jatuh dalam kesalahan ketiga: membakar hidup-hidup menantu perempuannya. Ketika Yehuda mau mengakui kesalahannya, dan mengambil Tamar sebagai istrinya, kehidupan keluarga Yehuda pun boleh dibilang normal. Bahkan Allah memberikan keturunan bagi Yehuda.
Apa yang bisa kita pelajari? Manusia dan budaya manusia memang terbatas sifatnya. Namun, selalu penting dan bermakna bagi setiap orang untuk tetap takut akan Allah dan tidak mengandalkan dirinya sendiri.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media