Masakan yang Merah-merah
Sabda-Mu Abadi | 7 Mei 2024
Kisah ”Masakan yang Merah-merah” merupakan tragikomedi—menggelikan sekaligus menyedihkan (lih. Kej. 25:29-34).
Menggelikan karena Yakub dan Esau memperjualbelikan status. Hak kesulungan menjadi barang dagangan. Menyedihkan karena ada orang yang demi tujuan menghalalkan segala cara. Dengan menggunakan masakan yang dibuatnya, Yakub membuat jerat agar Esau menjual hak kesulungannya.
Yang lebih menyedihkan, Esau menjual hak kesulungannya demi makanan. Penulis Kitab Kejadian mencatat perbuatan Esau itu dengan ”Demikianlah Esau menyepelekan hak kesulungan itu” (Kej. 25:34).
Yakub turut bersalah dalam tragikomedi ini. Namun, tindakan Esau tak dapat dibenarkan. Bagaimanapun, dia memandang sepele hak kesulungan yang melekat erat dalam hidupnya. Hanya demi urusan perut, Esau telah menjual dirinya.
Perhatikanlah teriakan Esau: ”Lihat, aku nyaris mati; apa gunanya hak kesulungan itu bagiku?” (Kej. 25:32). Esau lebih menghargai ”masakan yang merah-merah” itu ketimbang hak kesulungan. Esau tidak berpikir jauh ke depan. Pikirannya dibatasi kepentingan sesaat: rasa lapar.
Memandang ringan hak kesulungan sejatinya menyepelekan Tuhan Sang Pemberi. Memandang sepele diri demi sesuap nasi sesungguhnya juga memandang sebelah mata kepada Tuhan—Sang Pemberi Hidup. Memandang ringan status diri tak beda dengan mengecilkan Tuhan—Sang Pemberi.
Siapakah kita? Kita bisa jadi dengan lantang menyatakan diri sebagai Kristen—pengikut Kristus. Pertanyaannya: masihkah kita menghargai status tersebut? Kalau kita mengaku diri Kristen, jadilah pengikut Kristus: orang-orang yang mengikuti teladan Kristus. Jangan jual kekristenan kita!
Caranya: hiduplah oleh Roh! ”Sebab mereka yang hidup menurut daging, memikirkan hal-hal yang dari daging; mereka yang hidup menurut Roh, memikirkan hal-hal yang dari Roh. Sebab, keinginan daging adalah maut, tetapi keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera” (Rm. 8:5-6).
Dalam hidup, kita mungkin akan bertemu dengan sesuatu yang menarik—sejenis dengan ”masakan yang merah-merah”. Itu bisa berarti harta, takhta, atau wanita (pria). Apa yang hendak kita lakukan? Menjual diri atau tetap menghargai status diri kita dengan menolak semuanya itu?
Pada titik ini orang tua dipanggil untuk menolong anak menghidupi status mereka sebagai Kristen. Anak-anak perlu belajar memahami dan bangga atas status yang mereka sandang. Kebanggaan akan membuat mereka rela menjaga dan memelihara status itu dengan sebaik-baiknya. Itu berarti orang tua dipanggil pula menjadi teladan dalam hal ini.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Klik tautan di bawah ini untuk mendengarkan versi audio: