Menara Babel

Published by Admin on

Sabda-Mu Abadi | 27 April 2024

Di manakah letak kesalahan pembuatan Menara Babel? Pastilah bukan pada menara itu sendiri, sehingga Allah menghentikan pembangunan menara tersebut.

Juga bukan pada kemampuan manusia membangun. Bagaimanapun, manusia—yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah—pasti mempu­nyai kemampuan mencipta. Selaku gambar Allah manusia memiliki daya cipta.

Kreativitas merupakan bukti terkuat bahwa manusia memang dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Manusia yang tidak kreatif sesungguhnya mengingkari panggilannya selaku manusia. Artinya, mengingkari kenyataan diri sebagai gambar Allah.

Lalu, di mana kesalahannya? Kemungkinan besar pada motivasi di balik pembuatan menara. Itu jelas terlihat dalam catatan penulis Kitab Kejadian: ”Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit. Marilah kita mencari nama supaya kita tidak terserak ke seluruh bumi” (Kej. 11:4).

Mendirikan sebuah kota dan sebuah menara yang sampai ke langit bukan soal. Persoalan be­sarnya terletak pada tujuannya: cari nama! Di dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini dinyatakan: ”supaya kita termasyhur”. Menara itu dibuat agar manusia terkenal!

Sekali lagi, kesalahan bukan terletak pada otak manusia, bagaimanapun itu karunia Tuhan; juga bukan pada hasil kreativitas manusia, dalam hal ini menara Babel; namun pada motivasi manusia. Manusia ingin cari nama! Manusia ingin terkenal! Manusia ingin dipuji! Sejatinya, semuanya itu merupakan bentuk perlawanan kepada Sang Pencipta.

Hal itu jelas terlihat saat mereka tak mampu lagi bekerja sama ketika tak lagi saling memahami percakapan. Kalau bukan kesombongan yang menjadi dasarnya, pastilah mereka berupaya me­makai bahasa tubuh! Kenyataannya tidak! Mereka.tak mampu lagi bekerja sama karena setiap orang ingin mencari nama bagi dirinya sendiri. Keti­ka dua orang mencari nama bagi dirinya sendiri, perpecahan pun tak terhindarkan ketika ada hambatan komunikasi.

Dalam kehidupan, pertikaian, bahkan perpecahan, terjadi ketika setiap orang berlomba mencari nama. Dan mencari nama bagi diri sendiri sering bermuara pada pemuliaan diri, yang bertujuan membawahkan orang lain.

Sesungguhnya keluarga bisa menjadi tempat di mana setiap orang belajar untuk tidak mencari nama bagi diri sendiri. Satu-satunya pribadi yang boleh dimuliakan adalah Allah sendiri. Dan orang tua harus menjadi teladan dalam hal ini.

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Klik tautan di bawah ini untuk mendengarkan versi audio:

Foto: Unsplash/James S.