Merayakan Nama-Nya
Bagaimana rasanya 2024? Apakah bisa dipastikan bahwa kehidupan pasti lebih baik? Belum tentu. Masa depan memang tak pasti. Dan memang kita tak perlu akan kepastian masa depan. Tetapi, satu hal yang pasti—dan itu bisa menjadi modal kita di masa depan—bahwa kita adalah anak Allah.
Gelar anak Allah itu hanya mungkin terjadi karena Allah telah mengutus anak-Nya untuk menebus kita. Ya, kita telah ditebus-Nya. Dan nama-Nya adalah Yesus. Nama Yesus menjadi signifikan—penting dan bermakna—karena makna dikandungnya. Yesus berarti Allah adalah keselamatan. Dan tahun baru—dalam tahun gerejawi—merupakan saat di mana Maria dan Yusuf memberi nama Yesus kepada putra mereka.
Perhatikan: ”Ketika genap delapan hari dan Ia harus disunatkan, Ia diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum Ia dikandung ibu-Nya” (Luk. 2:21). Jika Natal diperingati pada 25 Desember, maka tahun baru (1 Januari, delapan hari kemudian) merupakan peringatan nama Yesus. Perayaan tahun baru sejatinya merupakan perayaan nama Yesus. Jadi, ketika seorang Kristen merayakan tahun baru, sesungguhnya dia sedang merayakan nama Yesus.
Ya, nama-Nya Yesus—Allah menyelamatkan atau Allah adalah keselamatan. Dan karena nama itulah, maka sekarang kita tidak lagi disebut hamba Allah, tetapi kita adalah anak Allah. Apa beda hamba dan anak? Jelaslah bahwa posisi anak lebih tinggi ketimbang hamba.
Kita adalah anak Allah. Pada hemat saya, dari segala kenyataan yang kita alami, maka kenyataan yang paling utama dan bisa menjadi sumber utama kebahagiaan kita. Allah berkenan menjadi Bapa kita. Siapa yang tidak suka dengan sebutan ini? Pada masa lampau ini semacam gelar bagi raja-raja—mereka disebut sebagai anak dewa. Dan gelar ”anak Allah” itu sekarang diberikan kepada kita. Apakah artinya ini?
Pertama, tak ada hubungan yang lebih erat ketimbang hubungan orang tua dan anak. Hubungan suami istri bisa kandas di tengah jalan, sehingga ada istilah ”mantan” untuk suami atau istri. Akan Tetapi, mana ada istilah mantan orang tua atau mantan anak. Ikatan anak dan orang tua kekal sifatnya. Apa pun yang terjadi, entah anak itu menjadi durhaka atau orang tua melupakan anaknya, tidak ada istilah ”mantan anak” atau ”mantan orang tua”.
Kedua, istilah anak Allah juga mengingatkan kita—sebagaimana orang tua jasmani kita—Orang Tua ilahi kita ingin yang terbaik bagi anak-anaknya. Jarang saya temui orang tua yang ingin hal yang biasa-biasa saja bagi anak-anak mereka. Tak heran, jika sebuah pariwara menyebutkan: ”Buat anak kok coba-coba!” Mengapa? Karena memang tidak ada seorang pun yang memberikan yang jelek bagi anak-anaknya.
Ketiga, gelar anak Allah ini bukanlah berasal dari manusia. Gelar ini pada dasarnya adalah hak prerogatif Allah. Sehingga memang tidak ada seorang pun yang dapat membatalkan gelar anak Allah ini. Bahkan, ketika anak itu mulai menjauh dari orang tua ilahinya—sebagaimana dalam perumpamaan Bapak yang Baik Hati atau Anak yang Hilang—gelar itu tetap melekat dalam diri anak-anak-Nya. Jika Allah saja tidak ingin gelar itu lepas dari dalam diri kita, maka siapakah yang bisa membatalkan gelar tersebut.
Namun, gelar anak Allah ini bukan tanpa konsekuensi. Anak memperlihatkan ciri-ciri orang tuanya. Ada pepatah: buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Nah, kalau kita tidak memperlihatkan ciri-ciri Orang Tua Ilahi kita? Lalu kita anak siapa?
Siapa yang harus kita teladani? Yesus Kristus. Dialah Anak Tunggal Allah—yang sulung dari semua! Dialah sumber teladan kita. Artinya: Bertindaklah sebagaimana Yesus bertindak.
Nah, selamat menapaki 2024!
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa