Site icon Tangan Terbuka Media

Natal: Ceritakanlah Tuhan!

”Tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara surga yang memuji Allah, katanya, ’Kemuliaan bagi Allah di tempat yang Mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya’” (Luk. 2:13-14)

Demikianlah sambutan bala tentara surga atas kehadiran Allah dalam rupa insan. Siapa yang pernah berpikir bahwa Allah Yang Mahakuasa hadir di dunia ciptaan-Nya dalam wujud seorang bayi? Siapa pula yang berani berpikir bahwa kehadiran-Allah tidak memperlihatkan tanda-tanda keilahian. Tak ada sinar di wajah-Nya atau halo di atas kepala bayi—yang tergolek lemah di palungan—itu. Namun, itulah Natal. Allah turun.

Allah Turun

Dalam refleksi Natal dua tahun lalu, Pdt. W. Kristian Wijaya menulis: ”Naik tingkat…. Naik pangkat…. Naik jabatan…. Naik gaji…. Naik pendapatan…. Naik kekuasaan…. Siapa yang tidak menginginkannya? Itulah yang dicari-cari oleh manusia.

Sementara soal turun, Turun kekuasaan…. Turun jabatan…. Turun pendapatan…. Turun pangkat dan derajat…. Sungguh hal-hal itu sangat dihindari oleh banyak orang, bahkan sering dihindari dengan cara saling sikut-sikutan, bahkan saling menyingkirkan.

Namun, di dalam Natal kelahiran Yesus Kristus kita diajak memaknai kata turun yang bermakna positif dan mulia. Yesus, Sang Firman, turun ke dunia. Allah turun menjadi manusia.”

Nah, berkait soal turun ini, Alfred Simanjuntak, guru kepengarangan saya, pengarang lagu ”Bangun Pemudi Pemuda”, pernah mengulas syair dan lagu ”Joy to the world” dalam sebuah kelas editorial. Kata beliau, ”Perhatikan lagu ”Joy to the World”, dimulai dengan do tinggi, lalu si, la, sol, fa, mi, re, do! Joy to the world the Lord is come. Joy: do tinggi, lalu turun, turun, turun, turun, turun lagi, turun lagi, dan turun lagi hingga dasar: come; agar let earth receive her King! Agar bumi menerima Rajanya! King: do tinggi lagi.”

Allah berkenan turun menjadi manusia agar manusia merasakan persekutuan dengan-Nya dan mengenal penciptanya. Berkait persekutuan Allah dan manusia pilihannya memang cuma dua: Allah turun menjadi manusia atau manusia yang naik menjadi Allah. Pilihan kedua jelas lebih mustahil. Sehingga peristiwa Allah turun menjadi manusia—meski tak mudah dipahami akal manusia—terasa aneh memang, tetapi masih lebih mungkin. Dan karena itulah, pujian kepada Allah menjadi sebuah keniscayaan.

”Kemuliaan bagi Allah di tempat yang Mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepadanya.” Ini pujian. Pujian mereka bukan dalam dalam bahasa malaikat, tetapi bahasa manusia. Sepertinya bala tentara surgawi itu hendak mengajak para gembala juga untuk memuliakan Allah. Dan ketika Allah dimuliakan, damai sejahtera sungguh terwujud di bumi. Sebaliknya, ketika manusia dimuliakan, yang terjadi hanyalah petaka demi petaka.

Panggilan Kita

Ini jugalah panggilan kita, orang percaya abad ke-21: memuliakan Allah dan mengupayakan damai sejahtera bagi sesama. Sekali lagi, ketika kita memulikan Allah, damai sejahtera manusia bukan utopia. Namun, ketika manusia memuliakan manusia lain atau dirinya sendiri malapetaka menjadi keniscayaan.

Untuk itu, sebagaimana Allah, kita perlu menapaki jalan turun. Ini jugalah yang pernah digagas Pastor Henri Nouwen. Dia berpendapat: ”Suara hidup kita diwarnai dengan berbagai macam dorongan untuk ”naik lebih tinggi lagi” dan alasan  yang paling banyak dikemukakan adalah ”kita dapat berbuat baik bagi begitu banyak orang”.

Namun, kalau kita perhatikan, jalan naik sama sekali tidak terdapat dalam Injil. Apa yang kita bayangkan tentang naik, menurut Injil tak bisa dipisahkan dengan turun ke yang paling bawah. ”Bukankah ’Ia telah naik’ berarti bahwa Ia juga telah turun ke bagian bumi yang paling bawah?” (Ef. 4:9).

Bukan jalan naik, melainkan jalan turun. Kita hanya mungkin memuliakan Allah ketika kita mengambil jalan turun. Dan saat Allah dimuliakan, damai sejahtera hadir di antara manusia.

Itu jugalah nubuat Yesaya: ”Betapa indahnya di atas bukit-bukit langkah-langkah orang yang membawa berita, yang mengabarkan damai sejahtera dan memberitakan kabar baik, yang mengabarkan keselamatan dan berkata kepada Sion, ’Allahmu memerintah sebagai Raja!’”

Ini panggilan utama kita: mengatakan kepada sebanyak mungkin orang bahwa Allah itu Raja! Hanya ada satu Raja. Tidak ada raja-raja kecil. Tak hanya dikatakan, tetapi juga dikaryakan: Allah memerintah sebagai Raja! Juga dalam diri kita. Sekali lagi, persoalan utama di bumi manusia manusia adalah ketika manusia saling mengklaim diri sebagai raja. Saat manusia mengklaim diri sebagai raja, maka terjadilah homo hominilupus ’manusia menjadi serigala terhadap sesamanya’. Dan damai sejahtera hanya menjadi utopia.

Itu jugalah yang diperlihatkan Lukas dalam Kisah Kelahiran Yesus. Damai sejahterakah Maria sewaktu harus membaringkan bayinya di dalam palungan karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan? Sepertinya Lukas sengaja tidak mengisahkan perasaan Maria dan Yusuf.

Namun demikian, damai sejahtera itu muncul saat gembala-gembala hadir dan menyatakan bahwa Bayi itu bukan sembarang bayi. Bayi itu adalah Juru Selamat! Bayi itu Mesias! Bayi itu Tuhan! Suasana pasti ramai sekali. Akan tetapi, yang paling penting adalah ada peneguhan, ada penyemangatan, bahwa Juru Selamat ada dan hadir bagi manusia.

Inilah panggilan kita: Menyatakan kepada dunia bahwa Juru Selamat ada dan hadir bagi kita! Ia selalu siap menyelamatkan kita. Panggilan kita adalah menceritakan hal ini—bercerita tentang Tuhan dan apa yang dilakukannya bagi kita. Jangan ceritakan diri sendiri! Ceritakanlah Tuhan! Ceritakanlah Tuhan!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa

Exit mobile version