Henri Nouwen. Lengkapnya Henri Josef Machiel Nouwen. Ia adalah penulis buku rohani kristiani yang memiliki popularitas internasional.
Namanya menjadi bahan percakapan dalam tayangan Oprah Winfrey saat wawancara dengan Hillary Clinton, istri presiden Amerika Serikat saat itu. Salah satu buku tulisan Nouwen—berjudul The Return of the Prodigal Son (Kembalinya Anak yang Hilang)— begitu menyentuh Hillary Clinton. Hillary menyarankan agar mereka yang sedang mengalami masa-masa sulit di dalam hidup mereka membaca buku itu. Ia sendiri membacanya pada masa-masa yang paling gelap ketika menjadi ibu negara tinggal di Gedung Putih.
Nouwen telah meninggalkan warisan rohani yang begitu kaya, juga untuk para pembacanya di Indonesia. Lebih dari 30 judul buku yang dia tulis telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Upaya menerjemahkan buku-buku itu telah dilakukan sejak awal tahun 1980 atas inisiatif Mgr. Ignatius Suharyo.
Yang membuat tulisan-tulisan Henri Nouwen disukai ialah kesediaan, kerelaan, dan keberaniannya membeberkan bagian-bagian yang paling pribadi dalam hidupnya. Ia berani dikatakan bodoh, dengan menceritakan kesalahan-kesalahan dan kecemasan hatinya, bersama dengan kegembiraan dan keyakinan dirinya. Nouwen tidak pernah mengadili, tidak memaksakan pandangan, tidak tampil seolah-olah ia tahu segala-galanya atau mempunyai jawaban terhadap berbagai macam pertanyaan dan masalah yang ada dalam hati manusia dan dunia ini. Ia hanya berharap dapat menjadi katalisator, atau yang memudahkan, karena tidaklah mungkin ”seseorang dapat menuntun orang lain keluar dari padang gurun, kalau ia sendiri belum pernah di sana”.
Buku-buku Nouwen mengenai sasaran bersentuhan dengan persoalan konkret kemanusiaan seperti krisis perang dingin, penggunaan senjata nuklir, kemiskinan, kelaparan, AIDS, dan ancaman terhadap kehancuran lingkungan hidup. Dia dianggap mampu secara kritis mengajak pembacanya untuk menyadari hubungan hidup rohani (spiritualitas) dengan ”dunia nyata” seperti bisnis, kehidupan politik, serangan bom dan ancamana keamanan nasional.
Saya mulai mengenal tulisan-tulisan Nouwen saat menjadi mahasiswa teologi tahun 1990. Saat itu bukunya Pelayanan yang Kreatif menjadi bahan diskusi salah satu mata kuliah. Saat saya mulai melayani di jemaat pada 1996, buku itu juga menjadi bahan percakapan dalam beberapa pertemuan pendeta di lingkup klasis. Bukunya yang lain, Menggapai Kematangan Hidup Rohani dan Dalam Nama Yesus, penah menjadi bahan diskusi dalam beberapa kali pertemuan sarasehan majelis jemaat. Sedangkan salah satu bab pada buku Henri Nouwen: The Road to Peace pernah menjadi bahan perenungan dalam beberapa kali pertemuan kegiatan doa pagi harian. Saat berkesempatan belajar lagi di almamater pada 2012, saya menyelesaikan tulisan tugas akhir dari menggali pendapat Nouwen tentang doa, komunitas, pelayanan dikaitkan dengan etika politik.
Buku-buku tulisan Nouwen menunjukkan keterlibatan yang kuat dengan dunia. Tulisan-tulisannya memperlihatkan konteks politik dan sosial yang menonjol pada tahun-tahun tertentu. Ia melihat apa yang terjadi di dunia tidak analitis dengan membariskan semua fakta kemudian mengemukakan posisi etisnya, namun dengan cara menditatif atau kontemplatif. Pendapat Nouwen tentang hal-hal yang sering dianggap persoalan politik beranjak dari sudut pandang personal dan spiritual. Dia ingin menunjukkan tentang keberadaan manusia ketika mereka belajar untuk melihat dunia dan diri mereka sendiri sebagaimana Tuhan melihatnya.
Konsep kunci Nouwen tentang spiritualitas, teologi dan etika kesemuanya berpusat pada Satu Nama—Yesus. Spiritualitas atau hidup rohani adalah hidup dengan Yesus sebagai pusatnya. Teologi adalah berpikir dengan pikiran Yesus. Sedangkan etika adalah panggilan untuk mengikuti “gerakan ke bawah” yang dipilih Yesus. Gerakan ke bawah adalah gerakan dalam Kerajaan Allah, di mana Allah turun menjumpai manusia sebagaimana tampak dalam karya Yesus yang bersedia memilih jalan pengosongan diri (Flp. 2:7). Sedangkan kecenderungan manusia adalah “bergerak ke atas” seperti nampak dalam hal mementingkan diri sendiri, ingin menjadi terkenal dan menjadi lebih berkuasa. Pilihan bergerak ke atas itu justru menjadikan manusia terasing dari diri mereka sendiri.
Tyas Budi Legowo
Foto: Kevin Dwyer