”Besok saya akan bertemu dengan teman yang sudah 25 tahun tidak berjumpa,” kata saya kepada murid saya, seorang remaja SMA. ”Wah, umur Ibu sudah banyak sekali ya, karena saya saja belum 20 tahun!” jawabnya.
Mendengar celotehnya, dalam hati saya menghitung umur saya kembali, ternyata memang sudah banyak angkanya. Jka dihitung dari rata-rata harapan hidup manusia di Indonesia, saya sudah melampaui 2/3 nya. Jadi seharusnya, sudah lebih dari 2/3 perjalanan saya dalam kehidupan ini.
Dan dalam perjumpaan singkat keesokan harinya, teman saya itu bertanya, ”Apa iya kita sudah 25 tahun tidak berjumpa? Rasanya baru saja kemarin.” Tentu saja saya menertawakannya. Bagaimana mungkin 25 tahun itu singkat?
Namun itulah kenyataannya, beberapa kejadian kembali berputar, seakan-akan itu belum lama berlalu. Itulah sang waktu. Terkadang terasa lama berlalu, namun tak terasa semua sudah berlalu. Yang Maha Adil memberikan kita dengan jumlah yang sama, sehari 24 jam, tidak ada yang kurang atau lebih satu detik pun dalam seharinya.
Perjumpaan itu mengingatkan bahwa saya sudah memasuki usia rembang senja. Jika sang mentari berada di ufuk Timur saat kami dahulu bercengkerama, yang rasanya seperti kemarin. Tiba-tiba sekarang sang mentari sudah memasuki sore hari, menjelang masuk ke peraduannya.
Memaknai waktu yang tidak dapat diputar kembali, menggunakan waktu yang tinggal sedikit lagi, menikmati waktu pemberian Sang Khalik. Hidup yang tersisa ini, akan diisi dengan apakah? Sukacita atau dukacita, kegembiraan atau kekecewaan, kebahagiaan atau kesedihan, semua bagaikan dua sisi dari satu koin kehidupan.
Saya pun jadi teringat kalimat yang diucapkan Master Oogway dalam film Kung Fu Panda,”Yesterday is history, tomorrow is a mystery, but today is a gift, that is why it’s called it the present.”
Tjhia Yen Nie
Foto: Maxim Matveev