Hukum makin melemah daya cengkeramnya di Indonesia belakangan ini. Pelanggaran hukum terkesan lumrah. Tak hanya dilakukan oleh kalangan eksekutif, tetapi juga kalangan legislatif, bahkan yudikatif. Tak heran, muncul ungkapan: hukum dibuat untuk dilanggar.
Standar Moral Yesus
Pada zaman Yesus sebaliknya. Di masa itu orang Yahudi, khususnya orang Farisi dan ahli Taurat, sangat getol dengan hukum. Namun, persoalan yang dikritik Yesus adalah mereka menjalani hukum sekadar legalitas formal. Mereka menaati hukum hanya dengan satu niat: agar jangan dihukum. Sehingga mereka merasa sudah nyaman apabila tidak melanggar hukum. Dan hanya sampai di situ.
Yesus berbeda. Bagi Dia, dasar segala keinginan untuk melaksanakan hukum Tuhan bukanlah karena perintah itu sendiri, tetapi keinginan untuk mengasihi Allah. Jadi, dasar melakukan perintah itu bukan agar tidak dihukum, namun karena mereka memang mengasihi Allah.
Karena itu Yesus membenci segala hal yang berbau formalisme. Jika hanya berdasarkan formalisme, maka orang sudah merasa puas jika dia tidak melakukan pembunuhan.
Yesus menerobos lebih dalam. ”Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.” (Mat 5:22).
Dalam BIMK tertera: ”Tetapi sekarang Aku berkata kepadamu, barangsiapa marah — barangsiapa marah: beberapa naskah kuno: barangsiapa marah tanpa sebab — kepada orang lain, akan diadili; dan barangsiapa memaki orang lain, akan diadili di hadapan Mahkamah Agama. Dan barangsiapa mengatakan kepada orang lain, ’Tolol,’ patut dibuang ke dalam api neraka.”
Mengapa? Karena semua tindakan tadi sejatinya merupakan penghinaan terhadap harkat dan martabat orang lain. Dan merendahkan harkat dan martabat orang lain sama halnya dengan menghina Sang Pencipta.
Selanjutnya, Yesus melangkah lebih jauh, ”Kalau salah seorang di antara kalian sedang mempersembahkan pemberiannya kepada Allah, lalu teringat bahwa ada orang yang sakit hati terhadapnya, hendaklah ia meninggalkan dahulu persembahannya itu di depan mezbah, lalu pergi berdamai dengan orang itu. Sesudah itu, dapatlah ia kembali dan mempersembahkan pemberiannya kepada Allah.” (Mat. 5:23-24, BIMK).
Menarik disimak, Yesus memakai standar moral yang lebih tinggi. Jelas pada titik ini, persoalannya besarnya ialah bukan pada diri sendiri, tetapi pada orang lain. Dengan kata lain, jika ada orang yang sakit hati karena kita, maka kita harus berdamai dengan orang tersebut.
Mungkin kita perlu bertanya, mengapa? Bukankah orang itu yang punya persoalan? Lalu, mengapa pula kita yang harus berdamai dengan dia? Lalu, bagaimana kita tahu bahwa orang itu sakit hati terhadap kita? Enggak gampang memang menjawab serangkaian pertanyaan tadi. Tetapi, jelas dibutuhkan kepekaan yang tinggi terhadap orang lain. Dan itu harus dilakukan segera. Tak boleh ditunda.
Juga Sang Guru memperluas dan memperdalam dosa seksual. Dalam pandangan Yesus dosa seksual itu juga mencakup pandangan dan khayalan yang berahi. Mengapa? Sebab, memandang orang lain dengan berahi pada dasarnya telah menjadikan orang yang kita pandang itu sebagai benda yang bisa dipermainkan sekehendak hati kita. Pada titik ini sejatinya telah terjadi penghinaan yang luar biasa terhadap ciptaan Allah.
Lagi pula, perbuatan-perbuatan onar biasanya didahului khayalan-khayalan onar. Dan menggeloranya imajinasi dimulai merupakan akibat dari mata yang tidak terkendali. Tak heran, jika Yesus langsung mengajarkan hal yang sering ditafsirkan secara harfiah.
Sebenarnya, menurut John Stott, yang dimaksud Yesus dengan pencungkilan mata, pemenggalan tangan dan anggota tubuh yang lain adalah jika mata menyebabkan kita berbuat dosa, janganlah lihat; jika tangan menyebabkan kita berbuat dosa, janganlah jamah; dan jika kaki menyebabkan kita berbuat dosa, janganlah pergi. Dengan kata lain, kita harus menolak membaca buku tertentu, melihat film tertentu, dan mengunjungi tempat-tempat yang membuat kita memerosokkan diri ke dalam lubang dosa.
Selanjutnya, Yesus berbicara soal kesetiaan terhadap perkawinan dan kejujuran dalam ucapan. Pada bagian kesetiaan terhadap perkawinan, sejatinya Yesus hendak menekankan agar para pengikut-Nya sungguh-sungguh mampu mengasihi orang lain sebagaimana mereka mengasihi diri mereka sendiri. Yesus tidak ingin para pengikutnya menganggap pasangan hidupnya boleh diberlakukan semena-mena, tak ubahnya benda.
Sekali lagi menurut John Stott, jika perceraian terjadi akibat ketegaran hati manusia, maka sumpah adalah akibat dari ketidakjujuran manusia. Banyak orang bersumpah karena takut orang tidak percaya kepadanya. Sumpah biasanya timbul karena orang begitu sering berbohong. Karena itulah, Yesus mengajarkan hal sederhana: jika ya katakana ya, jika tidak katakan tidak. Dan lagi, kalau satu kata sudah cukup, mengapa pula harus memakai dua kata?
Berbahagia
Apakah maksud Yesus di balik semua pengajaran tersebut? Sang Guru menekankan bahwa standar moral yang diberikannya itu merupakan konsekuensi logis dari jalan yang mereka tempuh sebagai pengikut-Nya! Dan semuanya itu dilakukan bukan karena keterpaksaan, tetapi karena semua itu merupakan keniscayaan sebagai pengikut Kristus.
Dan orang yang mengikuti jalan Kristus seharusnya merasa berbahagia karena mereka dianggap layak berada di jalan tersebut. Tak heran, jika pemazmur menyatakan dengan terus terang:
Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela,
yang hidup menurut Taurat TUHAN.
Berbahagialah orang-orang yang memegang peringatan-peringatan-Nya,
yang mencari Dia dengan segenap hati,
yang juga tidak melakukan kejahatan,
tetapi yang hidup menurut jalan-jalan yang ditunjukkan-Nya. (Mzm. 119:1-3)
Mengapa? Mengapa orang yang hidupnya tidak bercela dan menurut Taurat TUHAN dikatakan disebut berbahagia? Sebab Allah adalah pencipta manusia. Dia tahu apa dan bagaimana seharusnya manusia hidup. Dan semuanya itu telah dijabarkan dalam Alktitab. Menjadi hal logis bagi manusia untuk hidup seturut dengan kehendak Allah. Sekali lagi, karena Allah tahu apa yang terbaik buat manusia.
Dan itulah nasihat Musa kepada umat Israel: ”Pilihlah kehidupan, supaya engkau hidup, baik engkau maupun keturunanmu, dengan mengasihi TUHAN, Allahmu, mendengarkan suara-Nya dan berpaut pada-Nya, sebab hal itu berarti hidupmu dan lanjut umurmu untuk tinggal di tanah yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni kepada Abraham, Ishak dan Yakub, untuk memberikannya kepada mereka.” (Ul. 30:19-20).
Jelas dari perintah Musa, umat melakukan perintah Allah bukan karena terpaksa, tetapi karena mereka mengasihi Allah. Mengapa? Sebab Allah sendiri telah mengangkat mereka sebagai umat-Nya. Sekali lagi, mengikuti kehendak Allah merupakan bukti nyata bahwa kita mengasihi-Nya.
Dan hanya dengan itulah, orang lain dapat melihat bahwa kita sungguh-sungguh bangunan Allah (1Kor. 3:9), yaitu ketika kita dapat hidup seturut dengan standar yang ditetapkan Allah sendiri dalam kasih-Nya!
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media
Foto: Istimewa