Site icon Tangan Terbuka Media

Terima Kasih

Suatu waktu GKR Hayu—putri keempat Sri Sultan Hamengku Buwono X—berkunjung ke Jakarta. Saat menyeberang jalan di sekitaran Senayan, sang putri dibantu oleh seorang satpam. Sesampainya di tujuan sang putri mengucapkan, ”Terima kasih.” Namun, sekelompok orang yang berada di dekat situ berkata, ”Kampungan, ih.”

Sepertinya sekelompok orang kelas menengah tersebut tidak rela ada seorang ”terhormat” mengucapkan terima kasih kepada seorang satpam, yang secara strata sosial memang dipandang sebagai kelompok pekerja strata bawah. Atas kejadian tersebut, GKR Hayu kemudian menulis di akun Twitter miliknya, ”Mengucap terima kasih itu tata krama, temanku. Apakah kalian (yang menertawakanku) dibesarkan oleh segerombolan serigala?”

Memandang rendah orang lain, dan pada sisi yang lain meninggikan diri sendiri sepertinya dapat dengan mudah ditemukan dalam novel-novel, film, maupun drama tv/sinetron di Asia. Juga ditemukan dalam kasus MD vs D beberapa waktu lalu, dan kasus penganiayaan mahasiswa di Medan pada Desember lalu, yang baru saja terungkap. Pola yang sama juga dapat kita temukan dalam laporan mudik Lebaran 2023, di mana banyak dijumpai kasus-kasus penggunaan rotator untuk melawan arus/memotong jalur, memaksa kendaraan lain harus mengalah, dsb. Sebetulnya dari semua contoh itu merupakan fenomena apa?

Tertulis di Alkitab, ”Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Itulah perintah yang terutama dan yang pertama. Perintah yang kedua, yang sama dengan itu ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua perintah inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (lih. Mat. 22: 37-40).

Religiositas jelas mengajarkan nilai-nilai kesetaraan di antara sesama manusia sebagai penghargaan terhadap keberadaan Sang Maha Pencipta, namun dalam praktik keseharian hal itu tidak terlalu tampak. Yang lebih tampak adalah praktik egoisme seseorang terhadap orang lain, bahkan penghinaan terhadap orang lain dari strata sosial yang dipandang lebih rendah. Apa akar masalahnya?

Marilah kita merenungkannya bersama-sama di Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2023. Adakah mata rantai  yang hilang dari kurikulum pendidikan kita? Itulah pekerjaan rumah kita bersama. Kita biarkan, atau kita perbaiki? Bagaimana kita akan memperbaikinya? Dimulai dari mana?

Tentu saja dimulai dari diri kita sendiri.

Sri Yuliana | Tangan Terbuka Media

Foto: Unsplash/EkoHerwantoro

Exit mobile version