”Dalam laut bisa diduga dalam hati siapa yang tahu.” Peribahasa ini tentu tak asing di telinga kita. Peribahasa yang hendak mengatakan bahwa sulit bagi kita bahkan mustahil untuk bisa menebak isi hati orang. Kita hanya tahu apa yang dirasakan seseorang sejauh ia mengatakannya. Jika tidak, kita tentu tak akan pernah tahu isi hatinya. Seseorang bisa saja mengatakan kalau dia baik-baik saja, tetapi sebenarnya tidak.
Di hadapan manusia orang dapat menyembunyikan isi hatinya, tetapi tidak di hadapan Tuhan. Tuhan mengetahui isi hati setiap orang. Dia tahu betul masing-masing kita. Bahkan, sebelum kita mengeluarkan perkataan, Tuhan telah mengetahuinya (lih. Mzm. 139:4). Ia mahatahu. Tak ada yang tersembunyi di hadapan-Nya. Kalau sudah begini, mengembangkan sikap tulus merupakan keniscayaan.
Dalam KBBI tulus berarti sungguh dan bersih hati; jujur; tidak pura-pura. Ya, tulus identik dengan jujur, tidak dibuat-buat. Kita memang tidak dapat menuntut orang lain bersikap tulus kepada kita, tetapi kita dapat mengembangkan sikap tulus di dalam hati kita. Dengan bersikap tulus kita akan lebih relaks dalam menjalani hidup. Mengapa? Mungkin karena kita bebas dari rasa takut. Rasa takut yang darinya kita bisa terbebas di antaranya:
Pertama, kita tidak takut untuk dikenal oleh orang lain. Kita tidak takut karena kita menampilkan diri kita apa adanya. Kita tidak sedang berpura-pura untuk dapat disukai oleh orang lain. Cukup menjadi diri sendiri. Lagi pula, hidup berpura-pura hanya akan membuat lelah. Capek sendiri. Itu karena orang yang berpura-pura selalu mencari seribu satu cara untuk menutupi kebohongannya.
Kedua, kita tidak takut untuk berekspresi. Kita tidak takut dalam berekspresi atau berpendapat karena kita mengutarakannya sebagai upaya untuk mewujudkan apa yang baik. Bukan karena ada udang di balik batu. Dalam berekspresi kita juga harus terbuka terhadap pandangan orang lain. Tidak anti terhadap perbedaan. Apabila pendapat kita tidak disetujui, maka kita menerimanya dengan legawa. Tidak ngoyo atau memaksakan kehendak. Bukankah tujuan kita adalah mengupayakan apa yang baik? Kalau apa yang baik itu bisa tercapai dengan atau tanpa saran kita, maka itu sudah cukup.
Ketiga, kita tidak takut atau berani untuk percaya. Kita berani untuk percaya kepada diri sendiri, percaya kepada orang lain, terlebih percaya kepada Tuhan. Di dalam ketulusan kita mempunyai keberanian untuk percaya kepada diri sendiri. Kita menjadi percaya diri untuk melangkah dan menjalani hidup. Percaya diri ketika bertemu dengan orang lain. Kepercayaan itu muncul karena kita tulus. Tidak punya niat jahat. Tujuan kita adalah untuk menghadirkan kasih Tuhan.
Kita juga berani untuk percaya kepada orang lain. Kita percaya bahwa Tuhan mengasihi setiap orang sebagaimana Dia mengasihi kita. Setiap orang punya kesempatan yang sama untuk bertumbuh dan menjadi lebih baik. Itu berarti kita juga percaya bahwa orang bisa berubah. Kita harus memberi kesempatan kepada orang lain untuk berubah. Apabila kita teringat akan seseorang, galilah potensi itu dalam diri orang tersebut. Kalau harus memaafkan, maafkanlah dia. Mulailah untuk memercayainya dan berdoalah bagi pertumbuhannya. Ketulusan membangkitkan kerinduan kita agar orang lain juga dapat mengalami kasih Tuhan.
Di atas semuanya, kita berani untuk percaya kepada Tuhan. Percaya bahwa Tuhan akan menopang kita di dalam menjalani hidup tulus. Bukankah Tuhan mengasihi orang-orang yang tulus hati? Kata pemazmur: ”Sesungguhnya Allah itu baik bagi mereka yang tulus hatinya, bagi mereka yang bersih hatinya” (Mzm. 73:1).
Sekali lagi, hidup tulus merupakan keniscayaan. Ketulusan akan melenyapkan ketakutan. Tanpa ketakutan, kita jadi bisa menikmati hidup. Boleh dikatakan bahwa tulus atau ketulusan juga merupakan sifat dari kasih. Di dalam kasih tidak ada ketakutan. Dan itulah yang tertulis dalam 1 Yohanes 4:18: ”Di dalam kasih tidak ada ketakutan: Kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan siapa yang takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.”
Citra Dewi Siahaan
Gambar: Unsplash/Mink Mingle