Hujan turun tanpa henti di berbagai wilayah beberapa hari terakhir. Tanah yang dulu kokoh mulai terkikis, air meluap mencari jalan, merayap ke rumah-rumah, menenggelamkan ladang, dan memutus jembatan. Bencana itu merampas ratusan jiwa dari dunia. Alam yang kehilangan penjaganya tak lagi mampu menopang luka. Pohon-pohon yang seharusnya berdiri di hutan dan lereng telah ditebang, dilupakan, dan diambil dari tempat yang dititipkan Tuhan.
Di ruang tamu Laila menatap layar televisi yang menayangkan potongan kayu besar hanyut terbawa arus. ”Itu pohon-pohon yang dulu menjaga kita,” bisik ayahnya, suaranya hampir tenggelam oleh deru hujan. ”Sekarang mereka hanyut… karena kita mengabaikan mereka.”
Sore itu Laila keluar rumah. Pohon sakura di samping rumahnya berdiri seperti puisi yang hidup. Kelopaknya yang lembut menari pelan ditiup angin, memancarkan harum yang menyatu dengan udara senja. Pohon itu telah tumbuh selama bertahun-tahun, menguatkan tanah tanpa suara, menaungi rumah dengan keindahan yang tidak pernah meminta imbalan.
Malam hari angin mengetuk jendela, menggetarkan tirai seperti bisikan dari kejauhan:
Ucapkan terima kasih pada pohonmu.
Kata-kata itu membuka sesuatu dalam hati Laila. Ia teringat pada anugerah yang selama ini ia terima tanpa disadari: kelopak bunga yang jatuh seperti hujan cahaya, aroma yang menenangkan jiwa, oksigen yang ia hirup setiap hari, serta dahan-dahan yang menjadi tempat burung kecil memuji Sang Pencipta.
Pohon itu bukan sekadar tanaman.
Ia adalah ciptaan Tuhan, dititipkan kepada manusia sebagai amanah suci, sesuatu yang harus dijaga, bukan diabaikan.
Keesokan paginya Laila menyentuh lembut batang pohon sakura yang hangat oleh cahaya matahari. Ia berbisik pelan, ”Maafkan kami yang lalai. Terima kasih karena engkau tetap menjaga kami.”
Hari ini aku belajar satu hal sederhana:
Ucapkan terima kasih pada pohonmu.
Semoga kita tidak lagi lalai menjaga apa yang Tuhan percayakan. Sejak hari itu Laila merawat pohonnya dengan hati yang lebih tenang dan penuh syukur. Ia menanam bibit-bibit baru, mengajak teman-teman dan tetangganya ikut menegakkan kembali kehidupan seperti yang Tuhan kehendaki.
Kini ia mengerti:
Ketika kita menjaga pohon, kita tidak hanya menjaga alam. Kita sedang menunaikan tanggung jawab ilahi, menjaga kehidupan yang dititipkan.
Dan setiap kali hujan turun, Laila berdiri di depan jendela. Tetes air bertengger di kelopak sakura seperti butiran doa. Ia berbisik:
Semoga pohon-pohon di hutan tetap berdiri.
Semoga manusia kembali ingat.
Semoga kita tidak lagi lalai menjaga apa yang Tuhan percayakan.
Dan semoga kita selalu penuh rasa terima kasih kepada pohon-pohon yang menjaga kehidupan dalam diam.
Repelita Tambunan | Sobat Media
Foto: Wirestock on Freepik

