Site icon Tangan Terbuka Media

Dari Babel ke Yerusalem

Berkait dengan bahasa dan komunikasi, kisah yang dicatat dalam Alkitab, dan kembali kita kumandangkan melalui bacaan leksionari hari ini menarik disimak. Yang pertama adalah kisah penciptaan bahasa-bahasa sehingga komunikasi tidak berjalan. Dan yang kedua, keragaman bahasa ternyata tidak menjadi persoalan dalam komunikasi. Bahasa-bahasa beragam, tetapi komunikasi nyambung!

Kisah Babel

”Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit. Marilah kita mencari nama, supaya kita tidak terserak ke seluruh bumi” (Kej. 11:4). Inilah kisah Babel. Ini jugalah kisah semua manusia.

Tak ada salahnya mendirikan sebuah kota, juga gedung pencakar langit. Kesalahannya ada pada motivasi dibelakangnya. Dan motivasinya hanya satu: ”mencari nama”! Di dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK) dinyatakan: supaya kita termasyhur. Menara itu dibuat agar manusia terkenal!

Sekali lagi, kesalahan bukan terletak pada otak manusia, yang merupakan karunia Tuhan. Juga bukan pada hasil kreativitas manusia, dalam hal ini Menara Babel. Namun, pada motivasinya. Manusia ingin mencari nama! Manusia ingin terkenal! Manusia ingin dipuji! Manusia ingin dimuliakan.

Hal ini tampak jelas ketika mereka tak mampu lagi bekerja sama saat bahasa menjadi hambatan komunikasi. Sebenarnya mereka bisa memakai bahasa tubuh! Kenyataannya tidak! Mereka tak mampu lagi bekerja sama karena setiap orang ingin mencari nama sendiri-sendiri. Dan saat ada dua orang mencari nama bagi dirinya sendiri malapetaka tak terhindarkan.

Kisah Yerusalem

Suasana Babel itu tak tampak dalam kisah Pentakosta. Pada hari Pentakosta para murid menjadi begitu percaya diri. Tak seorang pun yang rendah diri. Tampaknya, Roh Kudus memampukan mereka untuk menjadi saksi dengan penuh percaya diri. Mereka tidak takut lagi akan kemungkinan-kemungkinan terburuk, misalnya: masuk penjara.

Pada Hari Pentakosta, keragaman bahasa tak lagi menjadi soal dalam komunikasi iman. Mengapa? Karena Roh Kudus sendiri memampukan para murid menyapa orang-orang Yahudi yang tinggal di perantauan itu dalam bahasa mereka masing-masing. Dalam kisah Pentakosta tak ada bahasa yang unggul karena Allahlah yang menciptakan bahasa. 

Bahasa tak menjadi hambatan komunikasi karena Roh Kudus menyapa orang-orang tersebut dalam keberadaannya masing-masing. Inilah prinsip komunikasi menyapa orang dalam situasi dan kondisinya masing-masing. Komunikasi tak lagi dipahami sebagai komunikasi otak, tetapi komunikasi hati. Komunikasi adalah komunikasi antarhati.

Ini jugalah yang digaungkan Subronto Kusumoatmojo dalam Kidung Jemaat 233:3: ”Syukur pada-Mu, Roh Kudus, yang sudah memberi bahasa dunia baru yang sempurna dan suci.” Ada bahasa dunia baru, yaitu bahasa kasih.

Di bumi manusia pertikaian, bahkan perpecahan, terjadi ketika setiap orang berlomba mencari nama bagi dirinya sendiri. Dan itulah yang sirna pada Hari Pentakosta di Yerusalem. Para murid tak lagi membicarakan diri sendiri, tetapi magnalia Dei ’perbuatan-perbuatan besar Allah’ (Kis. 2:11).

Persoalan terbesar manusia adalah lebih suka membicarakan diri sendiri—entah kekuatan maupun kelemahan diri. Ujung-ujungnya: jika bukan pemujaan, ya pengasihanan diri. Dan para murid tidak sedang membicarakan dirinya  sendiri, tetapi membicarakan magnalia Dei.

Karena itu, Petrus tidak merasa tersinggung dan sakit hati ketika orang mengejeknya. Dia tidak baper. Yang dia lakukan hanyalah mengomunikaskan apa yang terjadi. Dan ini sungguh karya Roh, yang sedang melakukan pembaruan bumi (Mzm. 104:30).

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa

Exit mobile version