Sabda-Mu Abadi | 4 Juli 2024 | Kel. 19:1-25
”Pada tanggal satu di bulan ketiga setelah orang Israel keluar dari tanah Mesir, mereka tiba di Padang Gurun Sinai. Setelah mereka berangkat dari Rafidim, mereka tiba di Padang Gurun Sinai, lalu berkemah di padang gurun itu. Di sana orang Israel berkemah di depan gunung itu” (Kel. 19:1-2).
Demikianlah catatan penulis Kitab Keluaran. Bangsa Israel tiba di padang gurun Sinai dua bulan setelah mereka keluar dari Mesir. Tentu saja mereka tidak langsung berjalan dari Mesir ke Padang Gurun Sinai, namun beberapa kali singgah untuk berkemah. Dan tentu saja mereka telah mengalami bagaimana Allah mencukupkan kebutuhan mereka: mulai dari air pahit menjadi tawar, pemberian manna dan burung puyuh, hingga keluarnya air dari gunung batu.
Gunung Sinai bukanlah tempat asing bagi Musa. Di situlah ia disapa dan diutus Allah untuk memimpin Israel keluar dari Mesir. Bisa jadi Musa diliputi rasa haru ketika tiba di dataran Gunung Sinai. Ia bukan lagi penggembala kambing domba Yitro, tak pula datang sendirian. Musa telah menjadi pemimpin bangsa yang baru merdeka. Yang sama hanyalah tongkat gembalanya.
Menarik disimak, di gunung yang sama, Allah mereka perlu memperkenalkan diri-Nya kepada umat yang telah dimerdekakan-Nya. Jika selama ini umat Israel hanya mengalami segala mukjizat Allah—mulai dari kesepuluh tulah di Mesir; sekarang ini Allah memberikan kesempatan umat Israel untuk mengenal Dia secara pribadi. Dan Musa diminta Allah menjadi perantara.
Jelas di sini Allah membuka diri-Nya. Allah ingin dikenali umat-Nya. Ia bukanlah sekadar kuasa. Dan tampaknya memang tidak ingin dikenal hanya dari mukjizat-mukjizat-Nya. Allah ingin umat Israel mengenal-Nya lebih dalam.
Kepada Musa, Allah berseru, ”Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, kamu akan menjadi milik kesayangan-Ku dari antara segala bangsa, sebab seluruh bumi adalah milik-Ku. Kamu akan menjadi kerajaan imam dan bangsa yang kudus bagiku” (Kel. 19:5-6).
Dalam seruan ini—yang diminta diteruskan kepada umat Israel—Allah menegaskan pentingnya mendengarkan-Nya. Tiga peristiwa mukjizat—berkait makanan dan minuman—setelah menyeberangi Laut Teberau memperlihatkan betapa umat Israel sering lupa pada perjanjian Allah dan tidak menaati Allah. Inti persoalan dari tiga peristiwa mukjizat itu adalah kekurangsabaran umat Israel yang bersumber pada keraguan atas kasih dan pemeliharaan Allah. Dan sebagai milik kesayangan Allah, Israel diminta untuk menaati Allah.
Sepertinya kita pun perlu menolong generasi berikut untuk memercayai bahwa Allah peduli. Kasih-Nya itu cukup bagi mereka semua—yang telah menjadi milik kesayangan-Nya.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Silakan klik tautan berikut ini untuk mendengarkan versi siniar: