Site icon Tangan Terbuka Media

Dina dan Sikhem

Sabda-Mu Abadi | 12 Mei 2024

Kisah Dina dan Sikhem (lih. Kej. 34) kadang luput dari perhatian kita. Kisahnya sederhana saja. Sikhem memperkosa Dina, anak perempuan Yakub. Namun demikian, ternyata Sikhem kemudian mencintai Dina dan ingin mengawininya. Kakak-kakak Dina pun memberikan syarat: meminta semua laki-laki dewasa di kota itu disunat. Dan pada hari ketiga setelah sunat anak-anak Yakub membunuh semua laki-laki dewasa di kota itu dan menjarah harta mereka. Atas kejadian itu, Yakub pun murka kepada anak-anaknya. Yang dimarahi kompak menjawab, ”Mengapa adik kami diperlakukan seperti seorang pelacur!” (Kej. 34:31).

Apa yang bisa kita pelajari? Manusia cenderung salah. Kuasa dosa senantiasa mengintip. Manusia dipanggil untuk menguasai dan bukan dikuasai dosa. Itulah yang terjadi pada Sikhem. Dia tidak mampu menguasai diri dan akhirnya memperkosa Dina.

Itu jugalah yang terjadi dalam diri anak-anak lelaki Yakub. Mereka pun tidak dapat menguasai dosa. Bagaimanapun mereka telah membunuh setiap laki-laki dewasa dalam kota itu. Amarah membuat mereka mengabaikan kenyataan bahwa Sikhem telah mengakui kesalahannya dan ingin menyelesaikan perkara itu dengan baik.

Sebenarnya hukum ”mata ganti mata dan gigi ganti gigi” awalnya dimaksudkan agar tidak ada pembalasan lebih dari yang semestinya. Dina memang telah kehilangan kehormatannya sebagai perempuan, tetapi nyawanya masih utuh. Namun, seluruh laki-laki dewasa dalam kota itu mati.

Apalagi, menurut Desmontutu, prinsip ”mata ganti mata dan gigi ganti gigi” hanya akan membuat dunia penuh dengan orang buta dan ompong. Balas dendam hanya menjadikan dunia tidak enak didiami. Ya, apa indahnya dunia kalau banyak orang buta dan ompong?

Namun, yang lebih baik adalah tatkala orang yang pernah dibutakan matanya tidak membalas, melainkan mengampuni. Sehingga orang melek, yang pernah berbuat kejahatan, dapat menuntun orang yang pernah dibutakannya itu dengan sukarela.

Ini hanya dapat terjadi tatkala seseorang berdamai dengan orang yang telah menjahatinya. Keluarga semestinya menjadi tempat di mana setiap anggota keluarga belajar mengampuni. Itu hanya mungkin kalau setiap anggota keluarga pernah merasakan indahnya pengampunan itu.

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media

Klik link di bawah ini untuk mendengarkan versi audio:

Foto: Unsplash/Luca S.
Exit mobile version