Site icon Tangan Terbuka Media

Dipimpin Roh Allah

”Sesungguhnya Aku membuat perjanjian-Ku dengan kamu dan dengan keturunanmu, dan dengan segala makhluk hidup yang bersamamu: segala burung, ternak dan binatang liar yang bersamamu, yang keluar dari bahtera itu, segala binatang di bumi. Aku menetapkan perjanjian-Ku dengan kamu bahwa sejak ini segala makhluk tidak akan dilenyapkan oleh air bah lagi, dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi.” (Kej. 9:9-11). Demikianlah firman Allah kepada Nuh!

Mengapa Allah berjanji? Bukankah Dia pencipta semesta? Mengapa Sang Pencipta yang harus berjanji kepada makhluk ciptaan-Nya? Bukankah seharusnya yang berjanji adalah manusia? Bukankah air bah itu terjadi karena ”besarnya kejahatan manusia di bumi, dan segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata” (Kej. 6:5)? Bukankah seharusnya manusia yang berjanji untuk tetap taat kepada Allah supaya tidak dihukum lagi?

Allah Merasa Perlu Berjanji

Tak mudah menjawab serangkaian pertanyaan tadi. Namun, itulah kesaksian Alkitab. Allah merasa perlu berjanji kepada Nuh dan segenap makhluk yang selamat.

Jika memakai logika manusia, yang biasa berjanji adalah pihak yang bersalah untuk tidak mengulangi lagi perbuatan mereka! Jika memakai logika manusia, akan ada sejumlah sanksi seandainya janji itu tidak ditepati. Dan biasanya, lagi-lagi jika logika manusia dikedepankan, sanksi itu akan lebih berat ketimbang hukuman sebelumnya.

Itulah yang tidak terlihat dalam perjanjian Allah tadi. Dengan kata lain, yang dipakai bukanlah logika manusia, melainkan logika Allah. Dan syukurlah bukan logika manusia yang diterapkan! Jika memang logika manusia yang dipakai, apa jadinya bumi ini!

Lidah memang tak bertulang. Peribahasa itu menyiratkan bagaimana manusia begitu mudahnya melanggar janji sendiri. Bahkan, ada ungkapan bahwa janji itu dibuat ya untuk dilanggar! Jika manusia yang berjanji, mungkin peristiwa air bah akan sering berulang!

Syukurlah Allah yang berjanji! Perjanjian Allah itu semestinya memotivasi kita untuk tidak mengingkari janji yang kita buat sendiri. Itulah yang biasa disebut dengan komitmen atau keterikatan untuk melakukan sesuatu.  Dan dalam komitmen tersendiri tersirat sebuah tanggung jawab pribadi.

Perjanjian itu seharusnya pula bukan karena terpaksa. Atau, bukan karena dipaksa siapa pun. Perjanjian semestinya dilakukan berdasarkan kerelaan dan kesadaran. Dan memang itu pulalah yang dilakukan Allah! Allah berjanji .

Meski Allah sungguh-sungguh paham bahwa manusia kemungkinan bisa mengulangi lagi kesalahannya, toh Allah tetap berjanji! Dan perjanjian Allah itu kekal sifatnya, sebagaimana Dia kekal adanya!

Tiada Lagi Pemusnahan Massal

Mari kita simak kembali isi perjanjian Allah itu! Isinya jelas: Allah tidak akan mengadakan pemusnahan massal lagi. Mengapa? Karena Allah sungguh-sungguh mengasihi segenap makhluk ciptaan-Nya, juga manusia! Dengan kata lain, Allah sesungguhnya merupakan Pribadi yang mencintai kehidupan dan membenci kematian.

Bagaimana perasaan kita sandainya kita ada pada posisi Nuh? Kemungkinan besar Nuh sendiri tidak terlalu gembira dengan peristiwa air bah. Bayangkan, dia menjadi saksi pemusnahan missal! Dia menyaksikan semua kerabatnya, orang-orang yang dikenalnya, mati mengenaskan. Kenyataan itu agaknya membuat Nuh menyadari betapa ngerinya kematian itu!

Mungkin saja Nuh sendiri merasa gamang akan masa depan keturunannya. Apakah manusia tidak akan mengulangi lagi kesalahan dan dosanya seperti dahulu? Lalu, bagaimana sikap dan tindakan Tuhan jika menyaksikan manusia mengulangi kesalahan yang sama? Apakah masih ada masa depan bagi generasi berikut?

Perjanjian Allah itu menjawab semua kekhawatiran Nuh. Dalam perjanjian-Nya itu tampaklah bahwa Allah adalah Pribadi yang mencintai kehidupan dan membenci kematian. Allah mengasihi ciptaan-Nya! Pertanyaannya sekarang ialah apa tanggapan kita terhadap janji Allah itu?

Pertama, bersyukurlah bahwa kita mengenal Allah sebagai Pribadi yang mencintai kehidupan dan membenci kematian. Itulah yang tampak dalam karya penyelamatan Allah. Itu jugalah yang tersurat dalam Injil Yohanes ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3:16).

Tampak jelas, akhir dari semua karya penyelamatan Allah adalah kehidupan kekal. Allah ingin bersekutu dengan manusia dalam persekutuan abadi.

Kedua, kita agaknya perlu juga belajar mencintai kehidupan dan membenci kematian. Mulailah dari kata-kata yang keluar dari mulut kita! Pujian yang tulus pastilah akan menguatkan dan membangun hidup seseorang. Sedangkan makian, sindiran, hujatan, tentulah akan membuat orang tersinggung bahkan akan mematikan jiwanya.

Ketiga, agaknya kita pun perlu belajar untuk setia kepada janji kita sendiri sebagaimana Allah yang setia akan janji-Nya. Tentu banyak janji-janji yang telah kita ucapkan. Pada kesempatan ini saya hendak mengingatkan kita semua akan janji kita sebagai Kristen, entah sewaktu kita menerima sakramen baptis dewasa atau sewaktu kita mengaku percaya.

Petrus menyatakan kepada umat bahwa baptisan: ”Maksudnya bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani, melainkan untuk memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah.” (1Ptr. 3:21). Dan hati Nurani yang baik adalah berlaku setia kepada Allah.

Kristen berarti pengikut Kristus. Janji sebagai Kristen berarti berjanji untuk tetap mengikuti Kristus dalam situasi dan kondisi apa pun. Dan Semuanya itu hanya mungkin terjadi kala kita mau dipimpin oleh Roh Allah. Sebagaimana Yesus, Allah yang menjadi manusia, setiap manusia senantiasa menghadapi dilema: dipimpin Roh Allah atau dipimpin Iblis.

Perhatikan catatan Markus: ”Segera sesudah itu Roh mendesak Dia ke padang gurun. Di padang gurun itu selama empat puluh hari Ia dicobai oleh Iblis. Ia tinggal bersama dengan binatang-binatang liar dan malaikat-malaikat melayani Dia.” (Mrk. 1:12-13).

Yesus tidak menjadikan diri-Nya dipimpin Iblis. Atas semua cobaan yang dihadapkan kepada diri-Nya, Yesus hanya punya satu jawaban: tidak. Mengapa? Karena Dia memberi diri dipimpin Roh Allah. Pertanyaan kepada kita semua ialah apakah kita bersedia dipimpin Roh Allah?

Jika: ya, maka perlulah kita bersama Daud memohon: ”Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, ajarkanlah jalanmu kepadaku. Tuntunlah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku, Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari.” (Mzm. 25:4-5).                                

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa

Exit mobile version