”Apalah arti sebuah nama?” Itu kata Shakespeare, dramawan Inggris. Alasannya sederhana, aroma mawar tetaplah sama, entah mau kita namakan apa bunga itu. Dan memang demikian. Entah namanya mawar, entah yang lain, wanginya pasti beda dengan melati.
Ungkapan itu sungguh wajar karena bagi Shakespeare ”dunia adalah panggung sandiwara”. Di atas pentas nama pemain tidak terlalu penting. Yang penting: Apakah dia mampu memerankan tokoh dalam drama itu?
Ungkapan Shakespeare agaknya mewakili pandangan umum masyarakat Barat, yang kurang mengedepankan nama pribadi. Mereka lebih mementingkan nama keluarga; dan bagaimana seseorang menjalankan perannya itu.
Dalam masyarakat Timur, nama sungguh signifikan. Nama mengandung hakikat diri dan harapan. Misalnya dalam suku Batak: Tigorberartilurus, Hasiholan berarti kerinduan hati, dan Marsaulinaberarti semakin cantik. Dan semasa hidup Soewardi Soeryaningratpernah berujar, ”Buatlah nama bagi dirimu sendiri!” Ia lalu mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara.
Timur beda dengan Barat. Namun, kedua prinsip itu sama kuat dan logisnya. Karena itu, bisa saling melengkapi. Nama menyatakan identitas. Yang juga penting: apakah karya seseorang sesuai namanya?
Yakub
Kisah pertemuan Yakub dan Allah di tepi sungai Yabok (Kej. 32:22-32) menampilkan banyak nama. Yakub bukanlah nama yang bermakna baik. Yakub berarti ”penipu”—makna kiasan dari ”memegang tumit seseorang”.
Itu namanya, itu pula yang dilakukannya. Ia menipu Ishak ayahnya guna memperoleh berkat sulung, yang membuat berang Esau kakaknya. Kisah penipuan itu menjadikannya pelarian di negeri asing.
Sebenarnya, Esau sendiri tak begitu memedulikan hak kesulungan. Dalam peristiwa kacang merah, ia menjual haknya sebagai anak sulung demi perut. Ia menganggap remeh hak kesulungan—anugerah Tuhan yang terkandung dalam dirinya.
Yakub bisa menggunakan ketakpedulian Esau sebagai dalih. Namun, tujuan menghalalkan cara tak bisa diterima dalam budaya mana pun. Apa pun alasannya, orang tak boleh ditipu!
Di tepi Sungai Yabok Yakub tak bisa menyembunyikan keresahannya. Kesalahan masa lampau itu terus membayangi diri. Semua hadiah yang disiapkan untuk meredakan kemarahan Esau tak bisa menyirnakan resah di hatinya.
Bahkan, setelah bergumul dengan Allah, Yakub pun terpaksa menyebutkan namanya lagi. Nama yang membuat dia teringat kesalahannya—yang membuatnya takut setengah mati.
Israel
Allah mengubah namanya menjadi Israel karena, ”telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan menang.” Dari ”penipu” menjadi ”pejuang yang menang”.
Di mata Allah, Yakub seorang pejuang. Ia memperjuangkan berkat. Ia tidak mau melepaskan Allah sebelum memperoleh berkat. Yakub sadar tak ada yang dapat dijadikan andalan kecuali Allah semata. Dirinya pun tidak.
Penipuan yang dilakukannya itu merupakan bukti pengandalan diri sendiri dan hanya berbuah ketakutan. Selama dua puluh tahun dalam pengembaraan Yakub dibayang-bayangi dendam kakaknya.
Ia pun belajar, pengandalan diri sendiri hanya akan menjadikannya korban dari pengandalan diri orang lain. Di negeri asing Yakub kena batunya. Laban, Sang Mertua, menipunya. Sang Penipu kena tipu.
Yakub tak tinggal diam. Ia membalas penipuan mertuanya itu dengan penipuan pula. Ujung-ujungnya Yakub melarikan diri dari rumah mertuanya. Pengandalan kepada diri sendiri senantiasa bermuara kepada ketakutan akan balasan pihak lain.
Dalam perjalanan pulang ke negerinya, Yakub sadar dia tak perlu lagi mengandalkan diri sendiri. Itulah sebabnya dia tidak melepaskan Allah sebelum menerima berkat. Yakub tahu, tak ada pribadi yang dapat melepaskannya dari semua keresahan itu kecuali Allah sendiri.
Kemenangan—yang terkandung dalam nama Israel—bermakna bahwa Yakub telah berubah perangai. Ia mampu mengalahkan dirinya sendiri untuk takluk kepada Allah. Yakub menempatkan dirinya di bawah Allah.
Nama adalah identitas. Perubahan nama berarti pula perubahan hakikat diri. Dari ”mengandalkan diri sendiri” menjadi ”mengandalkan Allah”. Dalam kisah di tepi Sungai Yabok ini bergema jugalah pengakuan pemazmur: ”Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi” (Mzm. 121:1-2).
Pniel
Israel—nama baru Yakub—lalu menamai tempat pergumulan dengan Allah itu Pniel yang berarti wajah Allah. Pniel juga bisa berarti bahwa Allah adalah Pribadi yang menemui manusia. Bukan Yakub yang menemui Allah. Allahlah yang melawatnya. Allahlah yang mengambil langkah pertama.
Kisah di Pniel memperlihatkan bahwa Allah peduli. Tak ada sesuatu pun di dunia ini yang luput dari perhatian Allah. Allah mengerti keresahan Yakub akibat tindakan masa lampaunya. Allah menolong Yakub untuk lebih mengandalkan-Nya, ketimbang dirinya sendiri.
Perumpamaan Janda dan Hakim (Luk. 18:1-8) menegaskan bahwa Allah adalah pribadi yang berbelas kasih. Dalam perumpamaan itu, terkesan bahwa janda itu memaksa hakim itu. Akan tetapi, sebenarnya janda itu pun nggak bisa memaksa hakim. Ia hanya bisa memasrahkan diri kepada hakim tersebut.
Sejatinya, sama seperti Yakub, janda itu sedang memperjuangkan berkat. Mengapa? Karena apalah manusia tanpa berkat. Janda itu tahu bahwa ia hanya bisa berharap pada belas kasihan hakim. Janda itu tahu bahwa tanpa pembelaan hakim itu, ia tak mungkin bisa hidup.
Itu jugalah yang dinyatakan Charil dalam puisinya ”Doa”: Di pintu-Mu aku mengetuk. Aku tak bisa berpaling. Chairil agaknya tak mau berhenti mengetuk karena dia memang membutuhkan berkat Tuhan itu.
Hingga kini Allah selalu menilik umat-Nya. Persoalannya: Apakah manusia mau mengandalkan-Nya? Mengandalkan Allah berarti menempatkan diri di bawah Allah. Itu berarti mengutamakan kehendak Allah dalam setiap lini kehidupan.
Memang bukan perkara gampang. Dosa menjadikan manusia cenderung bersifat, bersikap, dan bertindak otonom. Dosa membuat manusia menafikan kehendak Allah dan lebih mengutamakan rasa dan rasio diri.
Kristen
Itu jugalah panggilan setiap orang yang menyebut dirinya Kristen, arti harfiahnya: ’pengikut Kristus’. Pengikut tak pernah berjalan di depan. Ia mengikuti Sang Pemimpin dari belakang dan menaati kehendak-Nya.
Memang bukan persoalan mudah. Manusia, juga orang Kristen, sering lebih suka mengandalkan kekuatannya, meski mereka sering berdoa: ”Jadilah kehendak-Mu!” Di sinilah nasihat Paulus kepada Timotius menjadi relevan sekarang ini. Dengan tegas Paulus menyatakan: ”Seluruh Kitab Suci diilhamkan Allah dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” (2Tim. 3:16-17).
Nasihat Paulus ini menegaskan pula pentingnya konsep iman yang berdasarkan Alkitab. Namun, tentu saja, konsep tak hanya baik di atas kertas. Konsep harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Dan kita punya contoh nyata dalam hal ini. Lihatlah Yakub yang terus memperjuangkan berkat yang dia rindukan. Dan karena itu ia terus bergumul agar Tuhan memberikan berkat-Nya.
Dan kita jangan lupa, berkat di sini bukanlah bahwa semua harus selalu baik. Tidak. Berkat di sini lebih menekankan bahwa dalam keadaan apa pun, Tuhan senantiasa memelihara kita. Sehingga bersama pemazmur kita bisa berkata: ”TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya” (Mzm. 121:8). Ya, Ia melindungi kita waktu kita datang dan pergi, sekarang dan selama-lamanya. Amin.
Yoel M. Indrasmoro