Site icon Tangan Terbuka Media

Dua “Ketika” dan Satu “Pada Saat Itu Juga”

”Anak itu bertambah besar dan menjadi kuat, penuh hikmat, dan anugerah Allah ada pada-Nya” (Luk. 2:40). Demikianlah penutup masa kanak-kanak Yesus. Siapa orang tua yang tak suka anak macam begini. Jasmaninya bagus, rohaninya pun matang. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Anak itu bertambah besar dan kuat. Ia bijaksana sekali dan sangat dikasihi oleh Allah.”

Namun demikian, bisa ditebak itu bukan datang dari sananya. Pola pengasuhan menjadi penting di sini. Ini jelas terlihat dalam kisah-kisah sebelumnya (Luk. 2:22-40).

Ada dua ”ketika” dan satu ”pada saat itu juga” dalam kisah-kisah tersebut. ”Ketika” adalah kata penghubung yang menandai waktu yang bersamaan. Ada tiga ”ketika” yang dipakai Lukas, semuanya berkait dengan tindakan manusia. Dan manusia memang hanya bertindak di dalam waktu.

Pertama, ”Lalu ketika tiba waktu penahiran, menurut hukum Taurat Musa, mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan, seperti ada tertulis dalam hukum Tuhan: ’Semua anak laki-laki sulung harus dikuduskan bagi Tuhan’, dan untuk mempersembahkan kurban menurut apa yang difirmankan dalam hukum Tuhan, yaitu sepasang burung tekukur atau dua ekor anak burung merpati.” (Luk. 22:22-24).

Apa yang bisa kita timba dari tindakan Yusuf dan Maria? Tampaklah, orang tua Yesus bukanlah tipe orang yang gemar melanggar tradisi. Meski tahu bahwa anak sulung mereka bukan anak sembarangan, mereka tidak merasa perlu meminta dispensasi. Mereka bertindak sama seperti para orang tua lainnya. Mereka tidak minta keringanan atau keistimewaan, meski anak mereka merupakan sosok istimewa.

Pada hemat saya, baik Yusuf maupun Maria adalah orang yang nggak neko-neko berkait dengan tradisi. Mereka menghargai tradisi yang ada. Mereka tidak mematahkan tradisi. Mereka mengikuti tradisi karena dari situlah mereka pula berasal.

Tradisi adalah akar. Melupakan tradisi tak ubahnya dengan memutuskan diri dari sejarah kita sendiri. Dan bicara soal sejarah, adakah manusia tanpa sejarah? Jawabnya: tentu tidak ada!

Dan bicara soal sejarah, tak urung pula kita bicara soal budaya. Bicara soal budaya berarti juga bicara soal identitas. Hal yang perlu kita tekankan di sini adalah apakah identitas kita sekarang ini. Atau, apakah nilai-nilai yang kita anut sekarang?

Mengapa perlu identitas? Sebab, tanpa itu kita tak ubahnya layang-layang putus. Setiap keluarga seharusnya menjadi tempat bagi anak-anak mereka memahami identitas dan nilai-nilai dalam keluarganya.

Di atas semuanya itu, Yusuf dan Maria menaati perintah agama mereka. Mereka tak merasa terpaksa. Mereka sendiri bukan orang kaya. Dari persembahan yang diberikan terlihat bahwa mereka bukan orang berada. Akan tetapi, di sini juga menariknya, kemiskinan tidak membuat mereka merasa perlu diistimewakan. Mereka melakukannya karena taat.

Allah sendiri bukanlah Pribadi yang semau-maunya. Paulus dalam suratnya kepada warga jemaat di Galatia menyatakan: ”Namun, setelah genap waktunya, Allah mengutus Anak-Nya, yang lahir dari seorang perempuan dan takluk kepada hukum Taurat.” (Gal. 4:4). Yesus bukanlah Pribadi yang gemar melawan tradisi atau melawan hukum Allah. Nah, kalau Yesus Kristus, Allah yang menjadi manusia, takluk kepada hukum Taurat, masak kita kagak?

Kedua, ”Ketika Yesus, Anak itu, dibawa masuk oleh orang tua-Nya untuk melakukan kepada-Nya apa yang ditentukan hukum Taurat, ia menyambut Anak itu dan menggendongnya sambil memuji Allah, katanya: ’Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.’” (Luk. 2:27-32).

Simeon, seorang yang benar dan saleh, menyambut anak itu. Perhatikan catatan Lukas mengenai Simeon! Dia adalah seorang yang benar dan saleh, yang menantikan penghiburan bagi Israel. Benar berkaitan apa yang ada dalam diri seseorang; saleh berkait dengan apa yang tampak—tingkah laku.

Dan ketika menyambut Anak itu, Simeon tidak ragu-ragu. Dia tidak merasa perlu menilai Anak itu berdasarkan keberadaan orang tuanya. Namun, dengan yakinnya, dia bersaksi tentang Anak itu. Ini masalah kepekaan. Dan Simeon seorang yang peka!

Kepekaan itu, tentunya tidaklah berasal dari kemampuan Simeon sendiri, Lukas mencatat: ”Ia datang ke Bait Allah oleh Roh Kudus.” (Luk. 2:27). Jelas, kepekaan Simeon adalah karena dia mendengarkan suara Roh Kudus. Dan karena peka terhadap suara Roh Kudus inilah, Simeon bernubuat, ”Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.” (Luk. 2:29-32). Pada waktu itu, Simeon sejatinya hanya menggemakan nubuat Yesaya (Yes. 62:2).

Pada titik ini Simeon sungguh dapat menjadi pewarta yang baik karena dia sendiri telah membuktikannya. Berkait dengan Juru Selamat, Simeon tidak sekadar mendengar kata orang, tetapi dia sendiri telah mengalaminya. Pengalaman adalah modal utama dalam sebuah kesaksian. Tanpa pengalaman, kita sendiri mungkin akan merasa kegamangan ketika orang mempertanyakan berita kita. 

Ketiga, bukan ”ketika”, tetapi ”pada saat itu juga”. Perhatikan ayat 38: ”Pada saat itu juga ia mendekat dan mengucap syukur kepada Allah. Ia berbicara tentang Anak itu kepada semua orang yang menantikan pembebasan untuk Yerusalem.”

Ia yang dimaksudkan Lukas di sini adalah Hana. Sebagaimana Simeon, Hana tak muda lagi. Dia seorang nabiah—nabi perempuan. Usianya pun cukup lanjut: 84 tahun. Pada hemat saya, Hana peka terhadap suara Allah sehingga dia  begitu yakinnya dan bersaksi kepada orang yang ada di situ tentang bayi Yesus itu.

Hana bersaksi kepada banyak orang di situ tentang keberadaan Anak itu. Jika Simeon bersaksi kepada Yusuf dan Maria, Hana bersaksi kepada orang-orang yang ada di situ. Hana mengajak orang-orang yang ada di situ untuk mengarahkan pandangan mereka kepada Yesus Kristus. Itulah inti sebuah kesaksian: mengajak orang yang mengarahkan pandangan mereka kepada Yesus. Menjadi saksi Kristus berarti mengajak orang untuk melihat dan memandang Kristus.

Kegagalan sebuah kesaksian adalah ketika orang banyak hanya mengarahkan pandangan kepada orang yang bersaksi—kehebatannya, kefasihan lidahnya, kesuksesan hidupnya—dan tidak diajak untuk mengarahkan pandangan kepada subjek kesaksian itu sendiri.

Kesimpulan

Sekali lagi, ada dua ”ketika” dan satu ”pada saat itu juga” yang digunakan Lukas. Dan pada waktu itu, baik Yusuf-Maria, Simeon, dan Hana melakukan sesuatu. Orang boleh bilang bahwa ini kebetulan. Namun, percayalah tidak ada yang kebetulan. Semua serbakebenaran. Nah, keempat orang itu telah mengisi waktunya dengan sebaik-baiknya. Tentunya, butuh ketaatan kepada kehendak Allah dan butuh kepekaan terhadap suara Allah.

Menarik pula untuk disimak, ketaatan Yusuf dan Maria malah membuat mereka dikuatkan. Setidaknya di Bait Allah di Yerusalem mereka bertemu dengan dengan dua orang lansia yang menguatkan mereka. Kelihatannya memang demikian: ketaatan kepada Allah bisa membuat kita mendapatkan hal yang tak pernah kita duga sebelumnya.

Seandainya Simeon ogah datang ke Bait Allah pada saat itu, tentu dia tidak akan pernah berjumpa dengan keluarga kudus itu. Paling-paling hanya Hana yang menjadi saksi Kristus.

Tahun 2023 tinggal hitungan beberapa jam lagi. Pertanyaannya sekarang: Apakah kita sungguh-sungguh ingin menjadikan kehendak Allah dalam diri kita? Apakah kita sungguh-sungguh peka terhadap suara Allah. Jangan hanya mendengarkan suara kita! Kita perlu mendengarkan suara Allah. Yang juga penting ialah apakah yang kita lakukan sungguh-sungguh mengarahkan orang kepada Yesus Kristus? Hanya dengan cara itulah kita sungguh-sungguh membuktikan bahwa kita adalah hamba Allah.

Kesempatan masih ada. Kita masih beberapa jam untuk hidup sebagai hamba Allah dan mengarahkan orang untuk hidup juga sebagai hamba Allah, khususnya generasi muda kita. Menjadi tua itu anugerah. Dan panggilan generasi tua adalah mengarahkan generasi muda untuk menjadi hamba Allah.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa

Exit mobile version