Site icon Tangan Terbuka Media

Enam Hari Kemudian

”Enam hari kemudian.” Demikianlah keterangan waktu penulis Injil Matius berkenaan kisah ”Pemuliaan Yesus di atas gunung” (Mat. 17:1-9).

Frasa ”enam hari kemudian” memperlihatkan kaitan antara kisah transfigurasi Yesus dan kisah sebelumnya. Menurut catatan Injil Matius, narasi sebelumnya mengisahkan bagaimana Yesus menceritakan penderitaan yang harus ditanggung-Nya.

Ketidakpahaman Para Murid

Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di antara dua peristiwa itu. Mungkin saja tak ada yang penting untuk dicatat. Atau, bisa saja selama enam hari itu, Yesus mengajar para murid-Nya perihal penderitaan-Nya.

Namun, tak perlu kita menebak-nebak. Lebih baik, kita melihat kisah transfigurasi ini berdasarkan kisah sebelumnya.

Dalam kisah sebelumnya, para murid agaknya tak begitu memahami perkataan Yesus. Dia sudah menjadi tokoh terkenal karena mukjizat-mukjizat-Nya. Mungkinkah Dia mati disalib? Ini jelas tidak masuk akal. Bukankah Dia lebih berkuasa ketimbang semua orang?

Bisa jadi, di antara para murid ada yang merasa tak enak hatinya. Bagaimanapun, mereka telah menaruh harapan besar pada-Nya. Pengalaman mengikut Yesus selama ini bukanlah perkara biasa—mereka menjadi saksi hidup dari mukjizat hingga sikap hidup Yesus.

Sikap-Nya memang berbeda dari kebanyakan guru. Yesus menerima orang apa adanya. Baik pegawai tinggi kerajaan Romawi, pemungut cukai, pelacur, maupun anak-anak diterima Yesus sama baiknya. Tentunya, para murid merasa sayang, jika orang sebaik Yesus harus menderita.

Dalam konteks ini, kita bisa memahami mengapa Petrus merasa perlu menegur Yesus. Sebagai balasannya, Yesus lebih keras lagi menegurnya, bahkan menyebutnya Iblis! Dalam konteks itu pulalah sebaiknya kita membaca kisah transfigurasi Yesus.

Transfigurasi Yesus

Dalam kisah transfigurasi, kita melihat bahwa Yesus merupakan subjek. Matius mencatat: ”Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes saudaranya, dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi.” (Mat. 17:1).

Dari segi tatabahasa, Yesus adalah subjek, ketiga murid-Nya adalah objek penderita. Yesuslah pemrakarsa. Dia bertindak penuh kuasa saat memilih ketiga orang itu. Kedaulatan ada di tangan-Nya.

Mereka bertiga dipilih! Dengan kata lain: mereka orang pilihan. Kriterianya? Tak seorang pun tahu. Ketiga murid itu pun agaknya juga tak tahu.

Jangan pula kita lupa, di kisah sebelumnya Yesus memarahi Petrus; bahkan menyebutnya Iblis! Meski demikian, Yesus ternyata masih mengajaknya. Dia punya kedaulatan penuh. Persoalannya: ketiga orang itu mau diajak atau tidak? Dan ketiga orang itu mau diajak.

Agaknya, kenyataan bahwa mereka orang pilihan membuat bersedia diajak. Aneh rasanya, jika mereka menolak ajakan Yesus. Masak ada murid yang berani menolak kehendak gurunya? Ini sama halnya dengan Musa yang patuh kepada perintah Allah ketika diperintahkan untuk mendaki Sinai (Kel. 24:13).

Kesediaan diajak itu berpengaruh besar. Di gunung itu mereka menyaksikan Yesus berubah rupa dan bercakap-cakap dengan Musa dan Elia. Para murid menyaksikan kemuliaan Yesus; sama seperti Musa menyaksikan kemuliaan Allah di Sinai (Kel. 24:18).

Metode Mengajar

Tampaknya, kisah transfigurasi itu merupakan salah satu metode pengajaran Sang Guru dari Nazaret. Jangan lupa catatan waktu: ”enam hari kemudian”!

Bisa jadi para murid bingung dengan jalan yang hendak ditempuh Yesus. Mungkin mereka bertanya-tanya: ”Bagaimana mungkin Yesus mati dibunuh? Mungkinkah orang membunuh-Nya? Mungkinkah orang menangkap-Nya, setan-setan saja takut kepada-Nya? Bukankah itu suatu kemustahilan?”

Memang suatu kemustahilan. Namun, baiklah kita ingat bahwa Yesus tidak pernah ditangkap. Yang benar: Dia menyerahkan diri-Nya. Dan kematian bukanlah akhir; kebangkitan membuktikan bahwa Dia sungguh Allah. Kisah transfigurasi merupakan salah satu metode Yesus untuk menyatakan bahwa Dia adalah Allah.

Kenyataan itu seharusnya tak membuat para murid gentar menghadapi salib. Jalan salib adalah jalan sengsara yang harus dilalui sang Guru. Hanya dengan jalan itulah keselamatan manusia menjadi nyata.

Jalan Salib

Sesungguhnya, tak hanya Yesus yang harus menempuh jalan itu. Para murid juga diminta menempuh jalan sengsara—rela menderita agar makin banyak orang merasakan kasih Allah.

Itulah yang terjadi: Yakobus mati dengan pedang pada zaman Herodes, Yohanes dibuang ke Patmos, dan Petrus disalib dengan kepala di bawah.

Apa lagi di atas gunung itu, mereka mendengar suara: ”Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.” Itu pulalah yang diceritakan Petrus dalam suratnya (2Ptr. 1:17-21). Jalan hidup ketiganya memang berdasarkan kalimat tersebut—dengarkanlah Dia.  

Itu jugalah inti kisah transfigurasi Yesus. Transfigurasi tak hanya perubahan wajah. Lebih dari itu: para murid harus mendengarkan Yesus. Jika para murid mengakui Yesus sebagai Allah, pencipta langit dan bumi, maka mendengarkan Dia merupakan keniscayaan.

Ya, dengarkanlah Dia! Jangan mendengarkan saya, tetapi dengarkanlah Dia! Sebab, saya pun ingin mendengarkan Dia!

Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media

Foto: Istimewa

Exit mobile version