Hari ini, 23 November 2025, adalah Hari Minggu Kristus Raja. Menarik diperhatikan bagaimana penyusun leksionari mengajak kita untuk menyaksikan kisah penyaliban Yesus menurut versi Lukas. Mengapa? Mungkin karena penderitaan akan menyingkapkan jati diri orang sebenarnya. Kita bisa melihat karakter seseorang dalam penderitaanya. Jika semua dalam keadaan baik, terlalu banyak topeng yang bisa dipakai. Dan penderitaan menanggalkan semua topeng itu.
Dalam kisah penyaliban Yesus begitu banyak bertaburan kata ”raja”. Menariknya, yang sungguh-sungguh mengakui bahwa Sang Guru dari Nazaret adalah raja adalah penjahat yang disalibkan bersama dengan Dia. Ia bahkan memohon, ””Yesus, ingatlah aku, apabila Engkau masuk ke dalam kerajaan-Mu” (Luk. 23:42).
Bagi orang Yahudi, penyaliban adalah kematian mengenaskan. Dalam Ulangan 21:22-23 tertera: ”Apabila seseorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati dan kaugantung pada sebuah tiang, maka janganlah kaubiarkan mayatnya sepanjang malam pada tiang itu. Tetapi, engkau harus menguburkan dia pada hari itu juga, sebab seorang yang digantung terkutuk oleh Allah. Janganlah engkau menajiskan tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu.” Ia menjadi manusia terkutuk.
Orang yang disalibkan memang tergantung. Orang yang disalibkan itu, menurut Eka Dharmaputera, ”dibuang bumi ditolak surga”. Manusia, bahkan Allah pun, menolaknya
Bagi orang Romawi, hukuman salib hanyalah untuk orang yang sungguh-sungguh jahat dan dimaksudkan untuk menghina orang tersebut. Masuk akal jika pemerintah Romawi tidak pernah memberikan hukuman salib kepada warga negaranya sendiri.
Nah, orang yang disalibkan bersama Yesus Orang Nazaret jelas penjahat kelas kakap. Itu jugalah yang diakuinya—”Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah” (Luk. 23:41).
Lalu, mengapa dia sampai pada kesimpulan bahwa Yesus adalah Raja? Tak hanya di bumi, tetapi juga di surga? Perhatikan sekali lagi kalimatnya: ”apabila Engkau masuk ke dalam kerajaan-Mu”! Itu berarti, ia mengakui bahwa Yesus adalah Raja.
Kemungkinan besar karena ia melihat bagaimana Yesus menanggapi penderitaan-Nya. Tak ada keluhan dari bibir-Nya. Meski, saya duga, Yesus juga tidak tersenyum, tak ada caci maki keluar dari bibir-Nya terhadap orang-orang yang menyalibkannya. Ia juga tidak menyalahkan situasi. Yang ada cuma doa: ”Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Dalam pandangan Yesus, semua orang yang menyalibkannya memang tak tahu apa yang diperbuatnya.
Yesus pun hanya diam ketika para pemimpin mengejek dan para prajurit menjadikan penderitaan-Nya itu sebagai bahan olok-olokan. Itu juga menjadi bukti nyata bahwa Ia telah mengampuni.
Sikap macam itulah yang agaknya membuat penjahat itu yakin bahwa Yesus sungguh Raja. Yesus memperlihatkan kapasitas diri-Nya selaku Raja. Sikap dan tindakan Yesus dalam menanggapi penderitaan memang berbeda dibandingkan orang kebanyakan. Oleh karena itu, dia memohon, ”Yesus, ingatlah saya, kalau Engkau datang sebagai Raja!” (BIMK).
Jawaban Yesus Orang Nazaret pastilah melegakannya. ”Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk. 23:44). Tidak besok. Atau, nanti setahun lagi. Hari ini juga. Jelaslah Yesus berkuasa menentukan siapa yang akan bersama dengan Dia di Firdaus. Itu jelas memperlihatkan bahwa Ia adalah Raja!
Pertanyaan-Nya: Apakah kita, orang percaya abad ke-21, masih mengakui Yesus sebagai Raja. Jika ya, mari kita terus bersikap sebagai hamba-Nya!
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa

