Sabda-Mu Abadi | 13 Juli 2025 | Mat. 5:13b-c
”Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.”
Dengan apakah ia diasinkan? Ini pertanyaan retoris. Pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban. Tidak memerlukan jawaban karena semua orang telah paham dengan sendirinya. Ya, apa artinya garam tawar? Apakah masih layak disebut garam?
Aneh memang, garam kok tawar! Di Palestina garam diangkat dari Laut Mati dan mengandung unsur-unsur lain di dalamnya. Jika terguyur hujan, unsur garamnya akan larut dan terbawa air, yang tersisa hanyalah unsur lainnya tadi, meski warnanya tetap putih. Kalau sudah begini, namanya bukan garam lagi. Sehingga tidak ada gunanya lagi, selain dibuang dan diinjak orang.
Kesadaran bahwa kita garam seharusnya membuat kita sungguh terasa asin. Minoritas dalam kuantitas memanggil kita menjadi sungguh berkualitas. Sedikit dalam jumlah semestinya membuat kita meningkatkan mutu kita. Bicara soal mutu, bukan perkara gampang. Kita sendiri perlu bekerja keras untuk menjadikan diri sungguh-sungguh jempolan.
Jika mengingat kisah Yusuf di Mesir, kita akan mendapati bahwa ia memang pribadi berkualitas. Yusuf tak hanya mampu menafsir mimpi, namun sanggup membaca tanda-tanda zaman dan mengambil langkah strategis dalam mengantisipasi masa depan. Ia visioner sejati. Tak hanya dalam khayal, tetapi juga dalam tindakan.
Dunia butuh orang bermutu dalam segala lini kehidupan. Jika TV rusak, kita berani bayar mahal kepada seorang ahli TV. Kita tak mau TV kita diutak-atik oleh orang yang kita ragukan keahliannya.
Karena itu, hanya ada satu jalan agar kita dapat menggarami dunia sekitar kita, yakni menjadi terbaik di bidang kita masing-masing. Jadilah profesional, yaitu orang yang ahli di bidangnya. Jika tidak, kita harus rela dibuang dan diinjak orang.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media Anda
Berikut tautan untuk mendengarkan siniar Sabda-Mu Abadi:
n.b.: Dukung pelayanan digital kami via BCA-3423568450-Tangan Terbuka Media Anda!