Site icon Tangan Terbuka Media

Kami adalah Saksi

Mendengarkan khotbah Petrus di Bait Allah—sebagaimana catatan Lukas dalam kisah Para Rasul—mungkin membuat kita heran. Sebab, Petrus mengalami transformasi. Dari pengecut yang menyangkal Sang Guru di halaman rumah imam besar, Petrus menjadi sosok pemberani yang berbicara di muka umum tentang kemesiasan Yesus Orang Nazaret.

Kalau di halaman rumah imam besar, Petrus berkata, ”Aku tidak kenal Dia, Bu!” (Luk. 22:57); maka di halaman Bait Allah Petrus dengan lantang berkata, ”Kamu telah membunuh Perintis Kehidupan, tetapi Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati. Tentang hal itu kami adalah saksi” (Kis. 3:15).

Kisah Petrus

Petrus lugas berkata bahwa ia adalah saksi. Ia tidak takut menjadi saksi. Ia sungguh mengenal Yesus Orang Nazaret. Dari ketakutan menjadi keberanian. Dari keraguan menjadi keyakinan. Dari frustrasi menjadi semangat! Itulah keajaiban Paskah! Kebangkitan Yesus mengubah Petrus!

Mengapa Paskah mengubah Petrus? Kemungkinan besar, Petrus sungguh merasakan kesetiaan gurunya. Meskipun, sang murid tidak setia, Sang Guru tetap setia. Itulah yang dirasakan Simon Petrus.

Peristiwa penyangkalan Petrus pastilah melekat erat di benak para murid lainnya. Orang yang pernah berkata, ”Tuhan, aku bersedia masuk penjara dan mati bersama-sama dengan Engkau!” (Luk. 22:33); toh menyangkal juga. Penyangkalan Petrus bisa jadi membuat patah semangat para murid lainnya. Sang Pemimpin saja bisa jatuh, apalagi orang-orang yang dipimpinnya!

Bisa jadi juga penyangkalan itu berpengaruh pada wibawa Petrus di mata para murid lainnya. Mungkin mereka merasa Petrus tak layak lagi menjadi pemimpin. Bukankah pemimpin seharusnya menjadi teladan? Dan Petrus memang tak layak diteladani. Namun, kabar yang disampaikan Kleopas dan kawannya yang pulang dari Emaus itu patut kita simak.

Perhatikan, kata-kata dua orang itu: ”Sesungguhnya Tuhan telah bangkit dan telah menampakkan diri kepada Simon.’” (Luk. 24:33-34). Penampakkan Tuhan Yesus yang bangkit kepada Simon tentulah bisa dianggap sebagai pemulihan terhadap Petrus sebelum pengutusan di tepi Danau Tiberias.

Kelegaan

Bisa jadi Petrus pun merasa tak perlu lagi memikul tanggung jawab sebagai pemimpin. Mungkin dia menyesal. Namun, apa mau dikata: nasi telah menjadi bubur. Sepertinya Petrus merasa sesak hatinya setelah perisitwa penyangkalan itu.

Namun, Petrus sungguh merasakan kelegaan bahwa Sang Guru tidak mau mengambil tanggung jawab yang telah diserahkan-Nya. Petrus sungguh merasakan kesetiaan Yesus. Petrus sungguh mengalami kebangkitan Yesus. ”Kami adalah saksi!” tak hanya berarti bahwa Petrus melihat Yesus. Petrus sungguh mengalami kebangkitan Yesus.

Pada setiap kali perjumpaan dengan para murid, Yesus selalu berkata, ”Damai sejahtera bagi kamu.” Damai sejahtera memang bukan milik para murid, yang bisa diusahakan para murid. Damai sejahtera itu sungguh anugerah Yesus yang bangkit.

Agaknya Petrus sungguh merasakan damai sejahtera itu ketika tahu bahwa Yesus tidak pernah membuangnya. Yesus menerima dia apa adanya. Bahkan tetap memercayakan jabatan gembala kepada dia! Damai sejahtera yang diberikan Yesus Kristus bukan sekadar buah bibir, tetapi sungguh-sungguh pengalaman hidup. Itu jugalah kesaksian pemazmur: ”Di dalam kesesakan Engkau memberi kelegaan kepadaku” (Mzm. 4:2).

Modal Utama

Petrus, yang bertobat, mendapatkan pengampunan. Inilah modal utama Petrus dalam bersaksi: memahami dan mengalami makna pengorbanan Kristus. Sejatinya inilah iman sejati. Iman tak hanya rumusan pemikiran, tetapi sungguh dialami.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita sungguh memahami dan mengalami makna pengorbanan Tuhan? Jika belum, baiklah kita jujur berseru, ”Bukalah pikiranku Tuhan untuk menyadari apa yang telah Kauperbuat dalam kehidupanku!” Sekali lagi, karena iman adalah anugerah.

Jika sudah, mari kita bersaksi.

Yoel M. Indrasmoro   

Foto: Istimewa

Exit mobile version