Site icon Tangan Terbuka Media

Kualitas Utusan Kristus

”Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit” (Luk. 10:2). Pernyataan Yesus, Sang Guru dari Nazaret, terdengar seperti keluhan. Pertanyaannya: Benarkah?

Bisa jadi ada pekerja, mungkin banyak, tetapi pekerja berkulitas banyakkah? Guru banyak, guru berkualitas banyakkah? Dokter banyak, dokter yang baik? Karyawan pasti banyak, karyawan yang sungguh-sungguh memahami pekerjaan sebagai panggilan hidup? Jawaban kita pasti seragam: sedikit!

Pekerja Memang Sedikit

Pekerja itu adalah kata benda! Kata kerjanya bekerja! Aneh rasanya ada pekerja yang tidak bekerja. Pekerja yang tidak bekerja bukanlah pekerja, tetapi penganggur. Persoalannya banyak pekerja yang maunya tidak bekerja.

Suatu hari seorang sopir taksi mengeluhkan nasibnya kepada saya. ”Jadi direktur itu, enak ya, Pak,” katanya. ”Di mana enaknya,” sergah saya. ”Apa-apa tinggal nyuruh anak buahnya,” tambahnya.

Ya, banyak yang beranggapan bahwa atasan itu tinggal perintah, dan lupa bahwa yang bertanggung jawab atas pekerjaan seluruh bawahan, ya atasan itu tadi. Bawahan biasa bekerja dari pukul 8.00 hingga 16.00, setelah itu istirahat di rumah. Namun, seorang atasan sampai di rumah pun masih memikirkan pekerjaan semua bawahannya.

Pekerja memang sedikit. Karena itu, kita perlu meminta Allah untuk mengirimkan pekerja lagi. Apakah itu berarti bahwa pekerja yang bagus memang harus berasal dari luar? Kita harus berani mengatakan tidak! Ketimbang meminta Allah mengirimkan pekerja dari luar, baiklah kita meningkatkan kualitas kerja kita!

Menguji Pekerjaan

Caranya? Paulus punya nasihat jitu: ”Baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri…” (Gal. 6:4). Menguji setiap pekerjaan akan membuat seorang pekerja makin hari makin berkualitas! Dan itu jugalah panggilan seorang utusan Allah!

Lalu apa yang hendak kita uji? Pertama, mari kita perhatikan ucapan Tuhan Yesus ini: ”Pergilah, sesungguhnya Aku mengutus kamu seperti anak domba ke tengah-tengah serigala” (Luk. 10:3).

Yang perlu kita uji dengan sungguh-sungguh adalah sumber pengutusan itu sendiri. Siapakah yang mengutus kita? Kita harus selalu ingat bahwa kita tidak sedang mengutus diri sendiri. Kita diutus Allah sendiri, melalui jemaat-Nya.

Sumber pengutusan itu akan membuat kita percaya diri karena kita diutus oleh Allah sendiri. Tuhan memercayai kita. Kita membawa wibawa pengutus kita—sekali lagi—Allah sendiri!

Nah, dari ucapan Tuhan Yesus tadi, jelaslah bahwa ladang pengutusan kita bukanlah sesuatu yang gampang. Pelayanan bukanlah sesuatu yang mudah. Tekanan dan persoalan seharusnya membuat kita tak terlalu kaget karena kita memang diutus ke tengah-tengah serigala. Persolannya mungkin sering di sini, banyak orang kaget ketika mendapatkan tekanan dan hambatan dalam pelayanan, dan akhirnya mutung!

Ketika tekanan dan hambatan menghimpit kita, baiklah kita ingat bahwa kita adalah utusan Allah. Kita membawa perbawa dan wibawa Tuhan sendiri. Kita enggak sendirian. Tempatnya memang tak selalu mudah. Karena tak selalu mudah, Allah mengutus kita.

Kedua, ”Jangan membawa pundi-pundi atau kantong perbekalan atau kasut, dan janganlah memberi salam kepada siapa pun selama dalam perjalanan” (Luk. 10:4). Itu berarti kita tidak boleh menggantungkan diri kepada siapa pun juga kecuali kepada Allah semata. Allah yang akan membekali kita.

Ketiga, ”Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini” (Luk. 10:5). Seorang utusan harus mengusahakan damai sejahtera dalam diri orang-orang yang kepadanya dia diutus. Bukan damai sejahtera utusan, tetapi damai sejahtera orang-orang di ladang pengutusan itu. Pertanyaannya adalah sudahkah kita mengusahakan damai sejahtera di ladang pengutusan kita? Dan kantor adalah ladang pengutusan kita.

Kalau kepada Yesaya, Allah berkata, ”Bersukacitalah bersama Yerusalem” (Yes. 66:10); baiklah kita juga bersukacita bersama orang-orang di tempat pengutusan kita. Bersukacita bersama mereka, berarti pula berdukacita bersama dengan mereka. Dukacita mereka adalah dukacita kita. Artinya bersama-sama.

Keempat, Tuhan Yesus mengingatkan, ”Meskipun demikian, janganlah bersukacita karena roh-roh itu takluk kepadamu, tetapi bersukacitalah karena namamu terdaftar di sorga” (Luk. 10:20).

Jangan sombong! Boleh bangga, tetapi jangan sombong. Ingat, kita ini utusan. Kata Bunda Teresa, kita ini pensil di tangan Allah. Allah yang menulis. Sejatinya Dialah pemilik ladang pelayanan itu sendiri. Kalau kita berhasil itu adalah anugerah Allah semata. Jika kelihatannya gagal, percayalah Tuhan mengizinkan semuanya itu terjadi.

Lagipula, mengutip Bunda Teresa lagi, kita memang tidak dipanggil untuk berhasil, melainkan untuk setia! Setialah! Setialah sebagai utusan!

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa

Exit mobile version