Mudahkah bersikap saleh di Indonesia sekarang ini? Jawabnya: tidak terlalu. Di negara yang berdasarkan Pancasila, bersemboyankan Bhineka Tunggal Ika, ternyata lebih mudah mendirikan mal ketimbang rumah ibadah. Demi kerukunan antarumat beragama, tak sedikit oknum yang perlu menghalang-halangi pendirian rumah ibadah.
Belum lagi, jika berkait dengan penerapan nilai-nilai universal—kebenaran dan keadilan. Hukum terasa makin menyesakkan. Para koruptor malah terkesan lebih terhormat ketimbang penjahat kelas teri.
Lalu, apa yang akan kita lakukan dalam situasi negeri macam begini?
Lalang Dibiarkan Tumbuh
Perumpamaan Yesus tentang lalang dan gandum (Mat 13:24-30) memperlihatkan gambaran tepat mengenai kehidupan orang percaya di dunia. Tentunya, tak ada seorang pun yang suka dengan keberadaan lalang-lalang yang mengimpit hidup mereka. Yang membuat mereka tak dapat hidup dengan semestinya.
Namun, itulah kenyataan dunia. Sejatinya, mustahil berharap bahwa sekeliling kita baik semata. Kejahatan akan selalu berusaha mengalahkan kebaikan. Kejahatan senantiasa ada di sekitar kita.
Berdasarkan hasil penelitian di bidang gulma, alang-alang dapat menurunkan produktivitas usaha tani hingga 50 persen. Tak heran, jika para petani biasanya mencabutnya atau memberantasnya dengan herbisida.
Anehnya, menarik disimak, dalam perumpamaan itu Sang Perawi—Yesus Orang Nazaret—menyatakan bahwa Pemilik Ladang itu ternyata membiarkan lalang itu tumbuh. Ia kelihatannya sengaja membiarkan yang jahat itu tetap ada dalam dunia.
Sepertinya Yesus Orang Nazaret tidak menghendaki kesulitan-kesulitan hidup diambil dari dunia ini. Ia membiarkan anak-anak-Nya terus berada dalam dunia dengan semua kesulitan yang mengelilinginya.
Mengapa? Jika lalang itu dicabut, kemungkinan besar gandum-gandum itu pun akan ikut tercabut. Pemilik ladang merasa sayang jika gandum-gandum itu ikut tercabut.
Menurut Stefan Leks, pada titik ini, Yesus memang tidak begitu memusingkan lalang-lalang itu. Dia berkonsentrasi dengan gandumnya. Dia menyayangi gandum-gandum itu. Dia yakin, gandum itu akan sanggup bertahan dan menghasilkan buah yang baik dan berlimpah.
Makna Perumpamaan
Apakah makna perumpamaan ini bagi kita? Penderitaan hidup, kemiskinan, kejahatan manusia, dan masih banyak lagi, merupakan hal yang alami dalam hidup manusia. Itulah hidup. Kita tidak mungkin mengharapkan kesulitan hidup diambil dari dunia ini. Allah pun enggan.
Akan tetapi, pertama, kenyataan itu janganlah membuat kita gentar. Bagaimanapun, panggilan kita sebagai gandum (orang percaya) adalah berusaha sebaik mungkin untuk bertahan di dalam dunia ini. Tidak sekadar bertahan, tetapi juga berbuah.
Kalau sungguh-sungguh serius menghadapi semua kesulitan tersebut—dan tidak terjebak untuk menjadi ikut-ikutan jahat—kita akan mendapatkan hasilnya nanti.
Tetap bertahan agaknya merupakan kunci yang harus kita pegang sebagai orang percaya. Dan jangan lupa, Sang Pemilik ladang, tidak akan membiarkan kita berjuang sendiri.
Kedua, tak mudah bagi kita pula untuk menilai mana yang baik dan mana yang jahat. Sepintas, lalang dan gandum memang mirip. Lagi pula, kita takkan mungkin menilai hati orang. Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa tahu?
Tampaknya, Tuhan Yesus pun tak ingin kita jatuh dalam bahaya penghakiman. Ia tidak ingin orang percaya jatuh dalam sikap arogan karena menganggap di luar dirinya jahat semata.
Ketiga, waktulah yang akan membuktikan apakah tindakan seseorang itu sungguh baik, atau sekadar kedok. Waktulah yang akan menyatakan dengan jelas mana loyang mana emas.
Oleh karena itu, keempat, kita harus sungguh-sungguh arif. Jangan menghakimi orang lain! Marilah bersikap tulus dan sabar. Mungkin saja, ketulusan dan kesabaran kita malah membuat orang lain menjadi bertanya-tanya tentang diri kita yang memang berbeda dari kebanyakan orang.
Dan itulah saat yang paling tepat bagi kita untuk menyatakan siapakah sesungguhnya yang ada di belakang kita: Yesus Kristus!
Syukurlah, jika mereka sendiri akhirnya merasa perlu berubah sikap—menjadi lebih baik! Bukankah itu juga harapan kita semua? Apa jadinya Indonesia jika semua orang mau menerapkan keadilan dan kebenaran dalam hidupnya?
Dengan kata lain, tetaplah setia hingga akhir. Dan setia berarti sampai mati!
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa