”Mengapa kamu ketakutan? Belumkah kamu percaya?” (Mrk. 4:40). Ya, mengapa para murid begitu takut dan tidak percaya? Saya tak bermaksud membela para murid. Saya hanya mencoba memahami mengapa para murid begitu takut sehingga tidak percaya, dan berkata, ”Guru, tidak pedulikah Engkau kalau kita binasa?”
Pertama, mereka begitu takut karena berada dalam keadaan—meminjam frasa Shakespeare—to be or not to be ’hidup atau mati’. Meskipun sebagian berprofesi nelayan, mereka paham tak akan ada orang yang selamat diterpa topan macam begitu. Sehingga kata ”binasa” melekat dalam benak mereka.
Kedua, mungkin mereka frustasi karena sebenarnya mereka hanya menaati Sang Guru. Penginjil Markus mencatat: ”Pada hari itu, menjelang malam, Yesus berkata kepada mereka, ’Marilah kita bertolak ke seberang’” (Mrk. 4:35). Jikalau tidak ada perintah, tentu mereka masih di darat. Sejatinya mereka hanya ingin menyenangkan guru mereka.
Ketiga, Yesus bersama mereka dalam perahu itu, tetapi topan tetap ada. Mereka tidak steril dari topan dan ombak. Selama ini mereka memahami bahwa Yesus adalah jagoan mereka. Yesus sanggup membuat banyak mukjizat. Dan mereka merasa aman dan nyaman bersama dengan Yesus. Hanya persoalannya—di perahu itu—meski bersama Yesus, mereka masih merasakan topan. Dan perahu itu pun mulai penuh dengan air.
Keempat, ini mungkin yang membuat mereka menjadi semakin bingung hingga tidak percaya, Sang Guru tampaknya tidak memedulikan nasib mereka. Di sinilah puncak ketakutan mereka. Di tengah prahara mereka menyaksikan bahwa Sang Guru tidur. Mungkin perasaan mereka agak sedikit tenteram kalau mereka melihat Yesus bersama mereka mengeluarkan air dalam perahu itu. Kenyataannya toh tidak. Yang mereka lihat adalah Yesus tidur. Mereka merasa Yesus tidak lagi peduli.
Mari kita merenung sejenak, kapan terakhir kita bersikap seperti para murid: merasa binasa, merasa tidak dipedulikan Tuhan, padahal telah melakukan apa yang Tuhan perintahkan! Dan kita menjadi frustasi karena kita tahu bahwa kita—dengan kekuatan diri kita sendiri—takkan mampu lepas dari semua persoalan itu. Dengan kata lain, kapan kita merasakan diri kita dalam keadaan to be or not to be—hidup atau mati.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana keadaan kita sekarang? Jika kepada saya ditanyakan hal yang sama, maka jawabnya adalah yang dahulu pahit, sekarang terasa manis. Yang dahulu manis, terasa makin manis. Mengapa? Harus diakui semua hanya anugerah-Nya! Mengapa karena saya tahu bahwa dengan kekuatan sendiri mustahil saya mengatasinya. La, wong kita sudah merasa mau mati.
Mempertanyakan Kepedulian Tuhan
Para murid mempertanyakan kepedulian Tuhan. Yesus memang ada bersama mereka dalam perahu, tetapi mereka merasa Sang Guru tak lagi mempedulikan nasib mereka. Mereka bersama Yesus, tetapi meragukan penyertaan-Nya.
Persoalan terbesar orang percaya sering memang di sini: bersama Yesus, tetapi tidak merasakan penyertaan-Nya. Kala kita berkata, ”Tuhan menyertai kita,” apakah kita sungguh-sungguh memercayai penyertaan-Nya? Jangan-jangan kita malah bersikap seperti para murid yang merasa Yesus tak lagi peduli. Kebersamaan Yesus itu sudah cukup bagi kita untuk meyakini bahwa Ia peduli.
Ketiadaan sinar matahari tidaklah membuktikan ketiadaan matahari. Cuaca boleh mendung, kita tidak merasakan sinar matahari, tetapi kita tidak boleh berkata bahwa matahari tidak ada. Tidak. Hanya tertutup awan tebal. Kalau awannya sirna, kita akan merasakan keberadaan matahari. Allah ada dan Dia menyertai. Bukankah nama-Nya adalah Imanuel? Pertanyaannya: Apakah kita memercayai-Nya?
Namun, yang menarik juga adalah perkataan para murid: ”Guru, tidak pedulikah Engkau kalau kita binasa?” Perhatikan bahwa para murid tidak menggunakan ungkapan ”kami binasa” atau ”saya binasa”. Tetapi, mereka melibatkan Sang Guru dalam seruan minta tolong itu.
Meskipun mereka takut dan tidak percaya, yang masih bisa dipelajari para murid adalah mereka percaya bahwa Yesus adalah bagian dari mereka juga. Sang Guru tidak di luar mereka. Sang Guru merupakan bagian dari mereka. Dan karena itu mereka juga bisa mengharapkan pertolongan-Nya!
Apa pun itu, perkataan pertanyaan Yesus—Mengapa kamu ketakutan? Belumkah kamu percaya?— mengingatkan bahwa jalan yang terlogis adalah percaya. Percaya berarti memercayakan diri.
Ketakutan itu makin menggila karena mereka melihat keberadaan diri mereka; dan percaya kepada diri mereka. Nah, kepercayaan diri yang terlalu berlebihan, akhirnya malah membuat mereka semakin takut tatkala mereka sadar bahwa mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Memercayakan diri kepada Tuhan Yesus merupakan tindakan yang paling logis.
Mengapa? Karena Ia Mahakuasa. Oleh karena itu, percaya menjadi tindakan yang paling logis.
Jangan pula kita lupa, Allah telah menjadi bagian dari dalam kedirian kita. Allah tidak hanya bersama kita, tetapi Ia juga hadir dan berkarya. Bukankah kita milik-Nya?
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa