Sabda-Mu Abadi | 7 Agustus 2024 | Kel. 22:28
”Jangan mengutuk Allah dan jangan menyumpahi pemimpin bangsamu. Janganlah lalai mempersembahkan hasil gandummu dan hasil anggurmu. Yang sulung dari anak-anakmu lelaki haruslah kaupersembahkan kepada-Ku.”
Mengutuk Allah sejatinya tindakan absurd. Bagaimana mungkin ciptaan berani mengutuk Sang Pencipta? Namun, itu bisa terjadi ketika manusia merasa Allah tak lagi memihak kepadanya—bahkan membiarkan hal buruk terjadi—padahal telah membaktikan diri sepenuhnya kepada Allah.
Mengutuk Allah menyiratkan bahwa manusia tak lagi mengakui Allah sebagai Tuhan, yang berdaulat penuh. Pada titik ini semestinya kita bisa belajar bersikap seperti Imam Eli. Setelah mendengar nubuat tentang hukuman terhadap anak-anak-Nya dari mulut Samuel, ia berkata, ”Dialah TUHAN, biarlah Ia melakukan apa yang baik di mata-Nya” (1Sam. 3:18).
Umat Israel juga dilarang menyumpahi pemimpin mereka. Menyumpahi berarti mengeluarkan kata-kata kotor. Pemimpin bisa salah. Yang perlu dilakukan adalah mengoreksinya atau menyatakan kesalahannya dengan sikap sopan.
Memang tidak mudah. Namun, menyumpahi hanya akan membuat si pemimpin merasa tidak dihargai dan akhirnya murka. Cara memberikan koreksi perlu kita perhatikan. Cara yang salah hanya akan membuat pesan tak sampai pada tujuan.
Repotnya, kadang orang lupa perbedaan antara menyatakan kesalahan dan menyalahkan. Sehingga, yang dikoreksi merasa dihakimi. Dan tidak ada orang yang suka dihakimi.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Klik tautan berikut ini untuk mendengarkan versi siniar: