”Kalau TUHAN tidak ikut dengan kami, jangan suruh kami meninggalkan tempat ini. Bagaimana orang akan tahu bahwa Engkau berkenan kepada saya dan kepada bangsa ini jika Engkau tidak menolong kami? Kehadiran TUHAN di tengah-tengah kami akan membedakan kami dari bangsa-bangsa lain di bumi” (Kel. 33:14-15, BIMK).
Demikian permohonan Musa kepada Allah. Pertolongan Allah selama ini merupakan bukti nyata bahwa mereka adalah umat Allah. Kehadiran Allah itulah yang membedakan Israel dengan bangsa-bangsa lain. Musa sungguh mengakui itu. Dan karena itu dia tidak ingin pergi tanpa Allah.
Keluarga Kristen
Itu jugalah yang membedakan keluarga Kristen dengan keluarga lainnya. Keluarga Kristen adalah milik Allah. Dan sebagai milik Allah mereka harus hidup seturut kehendak Allah. Dan itu hanya mungkin ketika orang tua menjadi teladan bagi anak-anaknya.
Milik Allah dipanggil untuk menjadikan Allah sebagai Raja. Dan Allah adalah, sebagaimana kata pemazmur, ”Raja yang kuat, yang mencintai hukum, Engkaulah yang menegakkan kebenaran; hukum dan keadilan di antara keturunan Yakub, Engkaulah yang melakukannya” (Mzm. 99:4). Itu berarti milik Allah harus hidup berdasarkan hukum Allah. Taat hukum bukan karena terpaksa, tetapi karena mencintai hukum.
Ya, mencintai hukum. Itulah yang mesti ditularkan para orang tua kepada anak-anak mereka. Anak-anak perlu ditolong untuk memahami makna di balik aturan. Agar mereka tidak merasa terpaksa mematuhi aturan. Mereka harus percaya bahwa menaati hukum adalah konsekuensi sebagai milik Allah.
Kewargaan Ganda
Itu jugalah yang ditegaskan Tuhan Yesus: ”Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat. 22:21). Jelaslah di sini, setiap orang Kristen adalah warga negara sekaligus warga kerajaan Allah. Setiap Kristen memiliki kewargaan ganda.
Dengan lugas, Yesus mengatakan bahwa setiap pengikut-Nya harus menjalani kehidupan negarawinya secara serius. Pemerintah memiliki seperangkat aturan dan setiap warga negara wajib menaatinya.
Namun demikian, Yesus juga tidak mau terjerembab ke dalam ketaatan buta terhadap pemerintah. Jawaban Yesus—”Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (ay. 21)—gamblang memperlihatkan bahwa keberadaan kaisar sesungguhnya lebih rendah ketimbang Allah. Bukankah Allah yang menciptakan kaisar, dan bukan sebaliknya? Artinya, ketika kaisar melakukan penyimpangan umat Allah wajib mengoreksinya!
Dan tindakan itu akan berdampak positif jika dan hanya jika setiap Kristen telah memenuhi kewajibannya selaku warga negara—salah satunya—dengan membayar pajak. Dengan kata lain: jangan mengkritik pemerintah jika tak bayar pajak! Lagi pula, jika orang Kristen tak bayar pajak, lalu apa kata dunia?
Belajar dari Jemaat di Tesalonika
Paulus menyatakan dengan jelas: ”Kami ingat bagaimana kalian menunjukkan dalam perbuatan bahwa kalian percaya kepada Kristus, bagaimana kalian mengasihi orang lain sehingga melayani mereka, dan bagaimana kalian berharap dengan teguh kepada Tuhan kita Yesus Kristus” (1Tes. 1:3, BIMK).
Jelaslah, perbuatan baik kepada sesama merupakan buah dari kekristenan mereka. Mereka telah menjadi berkat. Itu jugalah yang ditunjukkan oleh simbol kekristenan: salib (vertikal dan horizontal). Hubungan baik dengan Allah berbanding lurus dengan hubungan baik dengan sesama. Iman kepada Allah membuahkan kasih kepada sesama. Hanya dengan cara demikianlah kasih itu tulus, bukan basa-basi. Tanpa itu , kasih kepada sesama akan jatuh dalam bahaya humanisme atau bisa jadi ada udang di balik batu.
Kesaksian jemaat di Tesalonika terpancar ke mancanegara. Kasih kepada sesama—yang berdasarkan kasih kepada Allah—akhirnya menjadi iklan dari kesaksian Kristen mereka! Sehingga orang bisa mengatakan: ”O, jadi begitu, ya, cara hidup Kristen itu!”
Boleh dikatakan apa yang dilakukan warga jemat di Tesalonika merupakan buah dari keteladanan Paulus. Paulus menulis, ” Dan kamu mengikuti teladan kami dan teladan Tuhan; dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus, sehingga kamu telah menjadi teladan untuk semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya.” Paulus menjadi teladan bagi warga jemaat Tesalonika; dan warga jemaat di Tesalonika menjadi teladan bagi dunia.
Itu berarti juga orang tua dipanggil menjadi teladan bagi anak-anaknya; dan pada gilirannya anak-anak juga menjadi teladan dalam pergaulan mereka. Caranya adalah kesatuan antara tindakan omongan. Selamat menjadi teladan!
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa