Sabda-Mu Abadai | 2 Agustus 2024 | Kel. 22:16-17
”Apabila seseorang merayu seorang perawan yang belum bertunangan, dan tidur dengan dia, ia harus memperistrinya dengan membayar mas kawin. Jika ayah perempuan itu sungguh-sungguh menolak memberikan anaknya kepadanya, ia tetap harus juga membayar uang sebesar mahar seorang perawan.”
Perkawinan merupakan sesuatu yang sakral dalam budaya Yahudi. Karena itu, semua harus diatur dengan baik. Seorang laki-laki akan meminta kepada ayah perempuan itu dengan baik. Jika ayah perempuan itu menyetujuinya, pihak laki-laki harus memberikan mas kawin kepada keluarga perempuan.
Tentu saja praktik di lapangan sering tidak semulus itu. Ada saja yang main belakang. Mungkin karena merasa tidak akan disetujui pihak keluarga perempuan. Sehingga sang laki-laki mengambil jalan pintas: mengambil hati anak perawan itu terlebih dahulu dan tidur dengannya.
Namun demikian, meski anak perempuan itu setuju, keputusan tetap di tangan ayah dari perempuan itu. Jika setuju, tinggal bayar mas kawin lalu dilanjutkan dengan upacara perkawinan. Jika tidak setuju, mas kawin tetap dibayar, namun tidak ada upacara perkawinan. Sang laki-laki tidak boleh menjadi suami dari anak perempuan itu.
Aturan ini terkesan berpihak pada keluarga perempuan. Namun, kalau dicermati, sebenarnya keluarga perempuanlah yang dirugikan. Karena mereka tidak dihargai oleh laki-laki tersebut. Sebenarnya ini sama saja dengan pencurian. Dan perkawinan dengan cara begini, ke depannya pastilah akan lebih banyak mudaratnya.
Atau, kalaupun perkawinan dilangsungkan, perlu ada pengampunan tulus dari pihak perempuan, terkhusus ayahnya, atas permintaan maaf yang tulus dari laki-laki tersebut. Tanpa pengampunan tulus, hubungan mertua dan menantu kemungkinan besar tidak akan baik ke depannya.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Silakan klik tautan berikut ini untuk mendengarkan versi siniar: