Di hadapan Allah Daud berkata, ”Bila Engkau menguji hatiku, memeriksanya pada waktu malam, dan menyelidiki aku, Engkau tidak akan menemui sesuatu kejahatan; mulutku tidak terlanjur.” (Mzm. 17:3). Dalam BIMK tertera: ”Bila Engkau menguji hatiku dan datang menyelidiki aku di waktu malam, akan Kaudapati bahwa aku tulus ikhlas; perkataanku sesuai dengan pikiranku.”
Menarik disimak, di hadapan Allah, Daud berani terbuka, bahkan bertaruh, bahwa apa yang dikatakannya sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Ini juga tindakan yang berani karena Allah itu Mahatahu
Namun, meski Daud telah berupaya melakukan kehendak Allah, hidupnya tidak steril dari penderitaan. Daud sungguh paham artinya menjadi pelarian. Kesulitan hidup tidak membuat Daud menyangkal keberadaan Allah. Ia tetap memercayai Allah. Itulah sebabnya Daud berseru kepada Allah. Sebab jika tidak berseru kepada Allah, mau berseru kepada siapa lagi?
Demikian juga dengan Ayub. Dalam keadaan nadir Ayub beriman:”Tetapi, aku tahu Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit membelaku di atas bumi” (Ayb. 19:25). Ya, pengakuan iman Ayub tidak dikatakan saat semua dalam keadaan baik. Tidak. Semuanya terasa serbaburuk dan serbakelam.
Kitab Ayub dimulai dengan kalimat: ”Ada seorang laki-laki di tanah Us bernama Ayub. Orang itu saleh dan jujur, takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia mendapat tujuh anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Ia memiliki tujuh ribu ekor kambing domba, tiga ribu ekor unta, lima ratus pasang lembu, lima ratus keledai betina dan sangat banyak budak. Dialah orang yang terkaya dari semua orang di sebelah timur” (Ayb. 1:1-3). Dan semua itu musnah dalam satu hari.
Dalam keadaan semacam itu, Ayub berkata, ”Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke sana. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN” (Ayb. 1:21). Bahkan penulis Kitab Ayub menulis: ”Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah melakukan yang kurang patut” (Ayb. 1:22)
Pada masa itu, juga masa kini, ada pendapat: Hidup baik, diberkati; hidup jahat dikutuki. Istri Ayub yang sungguh mengenal Ayub meyakini bahwa Ayub tak punya kesalahan. Jika demikian, yang salah adalah Tuhan. Ia berkata kepada Ayub, ”Masihkah engkau bertekun dalam kesalehanmu? Kutukilah Allah dan matilah!” (Ayb. 2:9).
Namun demikian, Ayub berkata kepada istrinya, ”Engkau berbicara seperti perempuan bebal! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayb. 2:10). Lagi-lagi penulis Kitab Ayub menulis: ”Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya” (Ayb. 2:10).
Teman-teman Ayub—sependapat dengan istri Ayub—percaya bahwa Allah tak pernah berbuah salah. Karena itu, mereka menyalahkan Ayub dan meminta dia mengakui kesalahannya. Ayub kekeh berkata bahwa dirinya tak bersalah. Ayub percaya bahwa Allah akan membelanya dan berkata, ”Tetapi, aku tahu Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit membelaku di atas bumi” (Ayb. 19:25). Ayub tidak bunuh diri dan tetap hidup sebagai milik Allah.
Sejatinya inilah yang tidak dipahami dan dijalani orang Saduki. Orang Saduki tidak ingin hidup untuk Allah, namun di luar aturan Allah. Dan ketidakinginan hidup bagi Allah—seturut dengan kehendak Allah—di dunialah yang membuat mereka akhirnya mengembangkan ajaran bahwa orang mati tidak akan bangkit lagi.
Menurut Yesus, orang Saduki berpikir menurut pikiran manusia. Mereka agaknya lupa bahwa manusia sesungguhnya hanyalah ciptaan. Dan memang tak gampang bagi ciptaan untuk sungguh-sungguh memahami Allah.
Paulus, kepada warga jemaat di Tesalonika, menasihatkan untuk tidak terlalu memusingkan tentang surga (2Tes. 2:1-3). Orang percaya tak perlu mempersoalkan dengan jelimet bagaimana keadaan surga selama hidup baik di dunia. Jika kita hidup bersama dengan Allah di muka bumi sini, maka kelak kita pun akan hidup bersama dengan Dia di surga sana.
Karena itu, Paulus mendorong warga jemaat untuk sungguh-sungguh hidup sebagai milik Allah. Sebab surga dan bumi memang cuma perkara tempat.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa

