Bacaan leksionari pada Minggu Adven ke-4 menampilkan Ahas dan Yusuf. Keduanya sama-sama keturunan Daud. Dan, menarik disimak, Yusuf sendiri masih segaris keturunan dari Ahas. Boleh dikata, Ahas—sama seperti Daud—adalah nenek moyang Yusuf. Namun demikian, keduanya sungguh amat berbeda.
Berkait Ahas, penulis Kitab 2 Raja-raja mencatat: ”Ahas berumur dua puluh tahun pada waktu menjadi raja dan enam belas tahun ia memerintah di Yerusalem. Ia tidak melakukan apa yang benar di mata TUHAN, Allahnya, seperti Daud, bapa leluhurnya. Ia mengikuti langkah hidup raja-raja Israel, bahkan dia mengurbankan anaknya dalam api” (2Raj. 16:2-3).
Seorang yang Benar
Mengenai Yusuf, penulis Injil Matius mencatat: ”Karena Yusuf suaminya, seorang yang benar dan tidak mau mencemarkan nama istrinya di depan umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam” (Mat. 1:19).
Sungguh berbeda bukan? Jika Ahas dinyatakan sebagai pribadi yang tidak melakukan apa yang benar di mata TUHAN; Yusuf dinyatakan sebagai orang benar. Dalam Perjanjian Baru dalam Bahasa Indonesia Sederhana tertera: ”Yusuf adalah orang yang selalu taat kepada hukum agama. Ia tahu bahwa ia bukan ayah anak itu, tetapi ia tidak mau membuat Maria malu di depan orang banyak.
Yusuf taat hukum agama. Oleh karena itu ia tidak ingin melanjutkan pertunangannya dengan Maria. Mengawini Maria akan membuat publik menduga bahwa itu Bayi yang ada dalam rahim Maria adalah anak Yusuf. Itu namanya kebohongan publik. Meski Yusuf sungguh mengasihi Maria, dia tidak mau melakukan kebohongan publik. Yusuf tidak mau menjadi pahlawan dengan cara menyembunyikan kenyataan bahwa ia bukanlah ayah kandung bayi tersebut. Sekali lagi, Yusuf sungguh ingin hidup benar, jauh dari kepalsuan, karena cintanya kepada Maria.
Jika Ahas dinyatakan sebagai orang yang pernah mempersembahkan anaknya sebagai korban ke dalam api; Yusuf tercatat sebagai orang yang memelihara anak yang bukan anak kandungnya sendiri. Dalam Perjanjian Baru dalam Bahasa Indonesia Sederhana tertera: ”Tetapi, selama anak itu belum lahir, Yusuf dan Maria tidak tidur bersama-sama. Dan ketika anak itu lahir, Yusuf menamakan Dia Yesus.”
Jelaslah, Yusuf bersedia dan rela menjadi ayah hukum dari Yesus Orang Nazaret, sehingga pada akhirnya Yesus pun bergelar Anak Daud. Sekali lagi, Yusuf bukanlah ayah kandung, melainkan ayah hukum Anak.
Jika Ahas tampaknya lebih suka menyakiti dan menghukum orang lain, Yusuf sepertinya lebih suka disakiti sakit ketimbang menyakiti orang lain—dalam hal ini Maria. Sehingga dia tidak mau mempermalukan nama Maria di muka umum. Ini sikap hidup benar.
Bisa jadi Yusuf bingung dengan gosip yang menimpa Maria. Bisa jadi Maria pun tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Yusuf. Ya, siapa yang percaya bahwa bayi dalam kandungannya itu karena kuasa Roh Kudus. Atau, kalaupun Maria bercerita, bisa jadi Yusuf pun sulit untuk memercayainya. Namun, Yusuf tak pernah menghakimi Maria, apalagi menghukum Maria, bahkan dia tidak mau mempermalukan nama Maria di muka umum.
Tanda
Berkait tanda, meskipun diberi kesempatan untuk meminta tanda dari Allah, Ahas menolaknya karena takut dianggap mencobai Allah. Sejatinya dia sendiri memang tidak percaya kepada Allah. Dan karena itu, Allah sendiri memberi tanda.
Sikap Yusuf sungguh berbeda. Ketika tahu bahwa Maria mengandung, dan Yusuf tahu bahwa bayi itu bukanlah anak kandungnya, Yusuf tidak langsung menyimpulkan bahwa Maria telah berselingkuh. Dia mencoba untuk memahami apa yang terjadi dalam diri Maria. Kemungkinan juga Yusuf memahami bahwa Allah setidaknya mengizinkan semua itu terjadi dalam diri Maria.
Dan ketika malaikat Tuhan datang dalam mimpi, Yusuf juga tidak menganggapnya sebagai bunga tidur. Dia menaati perintah malaikat Tuhan itu sebagai perintah Allah.
Ya, keduanya, Ahas dan Yusuf, sungguh amat berbeda. Dan hingga hari ini manusia selalu dipanggil untuk memilih, bersikap sebagai Ahas atau bersikap sebagai Yusuf. Mau menangnya sendiri atau bersikap tak mau menyakiti orang lain? Tak peduli atau peka dengan tanda-tanda yang berasal dari Allah?
Kita dipanggil untuk peka terhadap tanda-tanda zaman. Dan hanya dengan cara beginilah kehidupan kita sungguh berarti bagi orang lain.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa

