Site icon Tangan Terbuka Media

Tambahkanlah Iman Kami!

”Tambahkanlah iman kami!” (Luk. 17:5). Demikianlah permohonan para murid kepada Sang Guru. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini (BIMK) tertera: ”Tuhan, kuatkanlah iman kami.”

Mengapa mereka melakukannya? Apa yang sesungguhnya mereka inginkan? Jika menelaah jawaban Sang Guru, agaknya para rasul itu ingin mendapatkan karunia mukjizat. Sebagai utusan Yesus, tampaknya mereka ingin memiliki kemampuan untuk mengadakan mukjizat sebagaimana pengutusnya.

Permintaan itu lumrah. Bisa jadi, orang-orang yang mereka temui ingin bukti nyata bahwa mereka adalah utusan Yesus. Untuk meyakinkan mereka, para rasul merasa perlu memiliki kemampuan membuat mukjizat seperti guru mereka. Dan tentu saja, kemampuan itu bisa membuat mereka lebih percaya diri.

Kualitas Iman
Salahkah permintaan itu? Tentu, tidak sepenuhnya salah. Namun, apa motif sebenarnya? Jika sekadar ingin membuktikan bahwa mereka utusan Yesus, permintaan itu jelas kurang tepat. Mengapa? Sebab mereka hendak mendasarkan perutusan mereka pada kemampuan membuat mukjizat.
Para rasul hendak mendasarkan perutusan mereka pada hal-hal yang wah secara rohani. Mereka beranggapan, dengan cara demikian banyak orang menjadi percaya. Agaknya mereka lupa bahwa kepercayaan berdasarkan mukjizat itu rendah kadarnya. Jika ada mukjizat, percaya; jika tidak ada mukjizat, ya melempem lagi!

Menanggapi permintaan itu, Yesus punya jawaban jitu: ”Sekiranya kamu mempunyai iman sekecil biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Tercabutlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu” (Luk. 17:6).

Pohon ara termasuk jenis pohon rimbun yang tinggi tajuknya bisa mencapai enam meter. Secara botanis, tajuk merupakan proyeksi akar sehingga sistem perakaran pohon pastilah seluas dan sedalam tajuknya.

Yesus mengontraskan antara kecilnya biji sesawi dan besarnya pohon ara. Dengan kata lain, saat para murid berharap kuantitas, Sang Guru menjawab dengan kualitas iman. Iman bukanlah soal kuantitas, melainkan kualitas. Bukan besarnya iman, tetapi apakah orang memikinya?

Sepertinya Sang Guru berharap para murid tidak menjadikan karunia mukjizat sebagai ajang pamer. Menarik disimak, semasa hidupnya sebagaimana yang dicatat para penulis Injil, Yesus tak pernah meminta pohon ara tercabut dari tanah dan terlempar ke laut.

Kesetiaan Hamba

Selanjutnya, Yesus menekankan soal kesetiaan hamba. Dia menegaskan, ”Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami hamba-hamba yang tidak berguna. Kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”

Ketimbang bicara soal kemampuan diri dalam mengerjakan tindakan-tindakan wah-rohaniah, Sang Guru mengajak para murid bersikap sebagai hamba. Meski senang dipuji, hamba tak merasa perlu berharap pujian karena dia hanya mengerjakan apa yang seharusnya dilakukan.

Prinsip itulah yang seharusnya menjadi pegangan. Hal yang semestinya menyedihkan bagi seorang hamba ialah kala nggak ada kerjaan. Sebab kerja berarti kepercayaan. Tidak ada kerja berarti tiadanya kepercayaan.

Semangat macam beginilah yang mewarnai dunia bisnis. Tak ada pengusaha bahagia kala sepi order. Bisnis adalah soal kepercayaan. Kata ”bonafide”, yang sering didengungkan dalam dunia bisnis, berarti ’dapat dipercaya dengan baik’. Perusahaan menjadi besar karena dipercaya oleh kliennya. Tanpa kepercayaan klien, kebangkrutan menjadi keniscayaan.

Masalahnya, para pekerja sering mengeluh jika diberi banyak pekerjaan. Agaknya mereka lupa, banyaknya pekerjaan berarti banyaknya kepercayaan. Sekali mereka mampu mengerjakan perkara kecil dengan sempurna, perkara besar siap menanti. Dan gaji biasanya berbanding lurus dengan kepercayaan!

Ketimbang berharap karunia mukjizat (perkara besar), Yesus mengajak para murid-Nya untuk setia mengerjakan perkara-perkara kecil. Dan perkara besar memang dibangun dari perkara-perkara kecil. Dan setia mengerjakan perkara kecil merupakan tindakan iman pula.

Kepercayaan itu pulalah yang menjadi dasar pelayanan Paulus. Kepada suratnya yang kedua kepada Timotius, Paulus menyatakan: ”Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu. Sebab, aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memelihara apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari itu” (2Tim. 1:12).

Ketika Paulus setia mengerjakan tugasnya, kita—umat percaya abad XXI—menjadi saksi bahwa mukjizat itu sungguh nyata dalam pelayanan Paulus. Dengan gigih, dan bukan tanpa kesulitan, Injil akhirnya diberitakan di Roma.

Mukjizat Sebenarnya
Paulus memang mengalami beberapa mukjizat, tetapi ia sendiri tak punya karunia mukjizat seperti Petrus. Paulus hanya menekuni tugasnya—mengomunikasikan Injil kepada bangsa non-Yahudi. Ketekunan merupakan buah iman. Ketika dia tekun mengerjakan tugasnya, tak sedikit jemaat yang dibangun. Itulah mukjizat sebenarnya!

Salah satu warga jemaat yang dibangun ialah Timotius. Paulus menyatakan: ”Sebab, aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.” (2Tim. 1:5).

Paulus juga adalah saksi bagaimana iman bertumbuh dalam keluarga; dan bagaimana iman itu dituturtinularkan kepada generasi berikut. Dan iman itulah yang seharusnya dipelihara. Paulus menegaskan: ”Peganglah segala sesuatu yang telah engkau dengar dari aku sebagai contoh ajaran yang sehat dan lakukanlah itu dalam iman dan kasih dalam Kristus Yesus. Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakan-Nya kepada kita, oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita” (2Tim. 1:13-14).

Memelihara iman bukan pekerjaan mudah. Dan memelihara iman sungguh teruji ketika seseorang dalam keadaan ekstrem. Itu pulalah yang ditegaskan Daud: ”Janganlah geram terhadap orang jahat, jangan iri hati kepada orang yang berbuat curang; sebab mereka segera lisut seperti rumput dan layu seperti tumbuh-tumbuhan hijau” (Mzm. 37:1-2).

Kebahagiaan orang fasik itu semu. Sehingga Daud mendorong umat untuk memercayakan diri kepada Allah. Perhatikan nasihat Daud ini: ”Percayalah kepada TUHAN dan lakukanlah yang baik, tinggallah di tanah ini dan berlakulah setia” (Mzm. 37:3).

Memercayakan diri kepada Allah kadang memang bukan hal mudah karena, yaitu tadi, kita melihat betapa orang jahat kelihatannya memang lebih enak, bahkan hidupnya tampaknya lebih diberkati ketimbang orang percaya.

Pertumbuhan iman sejatinya lebih utama ketimbang kuasa apa pun. Oleh karena itu, kita perlu mengubah permintaan para murid itu menjadi: ”Tuhan, tumbuhkanlah iman kami, melalui pelayanan kami!”

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa

Exit mobile version