Sabda-Mu Abadai | 1 Agustus 2024 | Kel. 22:14-15
”Apabila seseorang meminjam seekor binatang dari sesamanya, dan binatang itu dilukai atau mati, ketika pemiliknya tidak ada di situ, ia harus mengganti rugi sepenuhnya. Tetapi, jika pemiliknya ada di situ, ia tidak perlu mengganti rugi. Jika itu binatang sewaan, kerugiannya sudah termasuk dalam biaya sewaan.“
Aturan berkait binatang yang dipinjam atau disewa sepertinya diatur untuk tidak merugikan baik peminjam atau penyewa juga pemilik. Yang pertama diutamakan adalah apakah sang pemilik ternak itu ada di TKP (Tempat Kejadian Perkara Perkara) ketika hewaan pinjamaan itu mati atau terluka. Jika ada, sang pemilik pasti tahu duduk perkaranya. Sehingga ia tahu mengapa ternak miliknya itu mati atau terluka. Sehingga sang peminjam tak perlu membayar ganti rugi.
Akan tetapi, jika sang pemilik tidak ada di TKP, maka sang peminjam tak bisa lepas tangan. Ia harus turut bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa ternak tersebut.
Menarik disimak, jika ternak itu memang disewa, sang penyewa tak perlu memberikan ganti rugi. Sebab ganti rugi itu sudah termasuk dalam harga sewanya.
Mungkin kita—orang percaya abad ke-21—heran dengan aturan macam begini. Bukankah dengan demikian sang pemilik akan dirugikan? Menurut David L. Baker, inilah keunikan aturan di Israel. Pusat perhatian dalam hukum Timur Tengah Kuno adalah komersial (sewa-menyewa); sementara hukum Allah menekankan belas kasihan (meminjamkan). Yang pertama lebih berkepentingan untuk melindungi hak para pemilik, sementara yang kedua lebih memperhatikan kebutuhan orang miskin yang tidak punya ternak.
Yoel M. Indrasmoro | Tangan Terbuka Media: Bangun Jiwa via Media
Klik tautan berikut ini untuk mendengarkan versi siniar: