Site icon Tangan Terbuka Media

Tuhan, Ajarlah Kami Berdoa

The image of a Muslim woman's hand, Islam is praying and her hand is praying.

”Tuhan, ajarlah kami berdoa, sama seperti yang diajarkan Yohanes kepada murid-muridnya.” Permintaan ini tampaknya dilatarbelakangi beberapa alasan.

Pertama, sepertinya mereka iri dengan para murid Yohanes yang telah mendapatkan pelajaran tentang doa. Mereka ingin Yesus, Sang Guru, mengajarkan hal yang sama sebagaimana Yohanes Pembaptis.

Kedua, mereka percaya bahwa Yesus itu pendoa. Artinya, doa bagi Yesus bukan sekadar rangkaian permintaan atau syukur, tetapi persekutuan hidup. Jadi, doa bukanlah kewajiban, bukan pula hak, lebih tepat keniscayaan. Bukankah persekutuan manusia dan Allah seharusnya menjadi dasar hubungan di antara keduanya?

Menarik disimak, permintaan itu dimohon setelah Yesus berhenti berdoa. Kelihatannya, cara berdoa Yesus menarik perhatian mereka. Sehingga mereka memohon Yesus mengajari mereka berdoa.

Ketiga, mereka sungguh tahu hakikat doa, tetapi mereka tidak tahu cara berdoa. Kemungkinan besar, mereka tidak begitu yakin bahwa apa yang mereka lakukan selama ini benar. Mereka takut salah. Dan karena itulah mereka meminta Yesus mengajari mereka berdoa.

Mereka tahu jika cuma bicara pastilah gampang dilakukan. Namun, yang paling sulit adalah apa yang harus didoakan. Isi doa menjadi hal menentukan karena kebanyakan orang—kalau tidak mau mengatakan semua, ingin doanya dikabulkan Tuhan.

Doa yang Dikabulkan Tuhan

Nah, mari kita bertanya? Doa bagaimanakah yang dikabulkan Tuhan? Jawabnya, tak sukar-sukar amat sesungguhnya. Doa yang pasti dikabulkan Tuhan ialah yang seturut dengan kehendak Dia. Doa yang pasti dikabulkan Tuhan ialah doa yang diperkenankan Tuhan. Sebab, Tuhan pasti tak mungkin melawan kehendak-Nya sendiri. Dia pasti akan menggenapi kehendak-Nya sendiri.

Pada titik ini, janganlah kita menjadikan ungkapan ”Jadilah kehendak-Mu” semacam mantera! Tak sedikit orang Kristen berpikir, kalau sudah menutup doanya dengan ungkapan ”Jadilah kehendak-Mu!”, pastilah Tuhan akan mengabulkan-Nya. Apakah memang benar demikian? Belum tentu Saudara!

Ungkapan ”Jadilah kehendak-Mu!” sejatinya menyatakan bahwa kita sesungguhnya tidak sungguh-sungguh yakin bahwa doa kita itu memang sesuai dengan kehendak Tuhan. Itu berarti kita terbuka untuk menerima apa saja yang Tuhan berikan kepada kita. Dengan kata lain, sesungguhnya pula hal yang paling penting ialah bagaimana kita mengetahui kehendak Tuhan.

Dalam ajaran-Nya, Yesus memang berbicara banyak mengenai apa yang kita kenal dengan Doa Bapa Kami, tetapi satu hal yang perlu diingat—itu pulalah yang menjadi dasar Doa Bapa Kami—”Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya.” (Luk. 11:13).

Pada kenyataannya, itulah yang seharusnya kita upayakan agar Roh Kudus senantiasa menyertai kita. Jika itu yang terjadi, maka kita akan dapat hidup dalam kehendak-Nya. Sehingga, apa pun yang kita pikirkan, katakan, lakukan, pastilah Tuhan berkenan karena Roh Kuduslah yang menggerakkan kita melakukannya. Dan doa semacam itu, pastilah dikabulkan Tuhan. Kalau belum, itu hanyalah soal waktu.

Atau, dalam pemahaman Paulus, sebagaimana suratnya kepada Jemaat di Kolose, ”Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman sebagaimana telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur.” (Kol. 2:6-7).

Dengan kata lain, jika kita bersatu dengan Dia, dan berakar di dalam Dia, pastilah kita akan menurut ajaran-Nya. Jika sudah demikian, maka doa kita pun pastilah diperkenankan-Nya. Sejatinya pula, doa yang diajarkan Yesus, Guru dari Nazaret, memang hanya mungkin didaraskan jika Roh Kudus sungguh-sungguh diam dalam diri kita.

Dasar Doa

Catatan Lukas tentang doa yang diajarkan Yesus kepada para pengikutnya tidaklah selengkap Matius. Sangat pendek. Perhatikan: ”Bapa, dikuduskanlah nama-Mu; datanglah Kerajaan-Mu. Berilah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya dan ampunilah dosa-dosa kami, sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami; dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan.” (Luk. 11:2-4)

Lukas sungguh menekankan hubungan pribadi antara manusia dan Tuhan. Sapaan ”Bapa” memperlihatkan dengan jelas hubungan pribadi itu. Serentak dengan itu, setiap orang yang menyapa-Nya, menempatkan diri sebagai anak.

Hubungan Bapa-anak bukanlah tanpa konsekuensi. Anak-anak haruslah memperlihatkan bahwa dirinya layak mendapatkan predikat itu. Dengan kata lain, anak-anak harus hidup kudus sebagaimana Bapa kudus. Jika kita menyatakan ”dikuduskanlah nama-Mu”; itu berarti adanya kesediaan diri untuk hidup kudus. Jika tidak, doa tersebut hanya kumpulan kata tanpa makna. Lebih parah lagi, orang-orang yang mendengarkannya akan heran atau malah menertawakan kita.

Itu jugalah sesungguhnya yang menjadi kerinduan pemazmur. Pemazmur menyatakan kerinduannya, ”Aku hendak sujud ke arah bait-Mu yang kudus dan memuji nama-Mu…” (Mzm. 138:2). Jelaslah, pemazmur menganggap bahwa Bait Tuhan itu kudus dan dia hendak sujud. Itu berarti adanya keinginan juga untuk hidup kudus. Bagaimana mungkin dia sujud mengarah ke Bait Kudus, jika hati pemazmur sendiri tidak kudus.

Tak hanya itu, Yesus mengajak murid-Nya untuk menyatakan ketaklukkan penuh kepada Bapa. Ungkapan ”datanglah kerajaan-Mu” merupakan kesediaan kita untuk menjadikan kehendak Bapa sebagai hal utama. Sebab, Dialah Raja; kitalah hamba. Itu berarti ungkapan ”Jadilah kehendak-Mu”, yang sering dipanjatkan bukanlah sekadar formula, tetapi sungguh-sungguh dasar doa itu sendiri.

Jadi, doa bukanlah sarana pemuasan keinginan manusia. Tak heran, jika Yesus kemudian mengajar para murid untuk memohon campur tangan Allah dalam dua kebutuhan dasar manusia: jasmani dan rohani. Kebutuhan dasar fisik manusia berupa makanan, sedangkan kebutuhan rohani manusia berupa pengampunan dan pelepasan dari yang jahat. Hanya itu!

Sesungguhnya, Saudara berdoa macam begini bukan perkara yang sederhana. Apa lagi, jika kita masuk dalam golongan orang yang tak perlu bersusah payah mencari sesuap nasi. Nah, doa yang diajarkan Yesus itu mengingatkan bahwa rejeki itu datangnya memang dari Tuhan. Perlu kerendahan hati dari kita semua untuk mengakui semua hal itu.

Dan bicara soal pengampunan, janganlah kita berpikir bahwa kesalahan itu hanyalah melanggar perintah Allah. Melanggar perintah Allah itu memang perbuatan negatif. Tetapi, hanya cukup tidak melanggar perintah Allah berarti nilai perbuatan kita nol. Padahal Allah menghendaki kita berbuat apa yang baik. Jadi, jangan hanya berpikir soal kesalahan dalam arti bahwa kita melanggar perintah Tuhan. Sebab, tidak melakukan apa yang Tuhan perintahkan pun sudah merupakan kesalahan.

Perhatikanlah, doa yang diajarkan Yesus memang bukanlah untuk pemuasan hidup manusia. Tetapi, merupakan kebutuhan primer manusia. Baik rejeki maupun pengampunan merupakan kebutuhan hakiki manusia.

Syafaat Abraham

Itu jugalah yang dilakukan Abraham. Abraham tidak meminta sesuatu bagi dirinya sendiri. Abraham menjadi juru syafaat bagi Sodom dan Gomora. Perhatikan, Abraham peduli dengan nasib Sodom dan Gomora. Abraham merasa sayang jika Sodom dan Gomora musnah. Oleh karena itu, Abraham berupaya untuk tawar-menawar dengan Allah.

Jelaslah, tak ada seorang pun yang meminta Abraham untuk membela Sodom dan Gomora. Penduduk Sodom, bahkan Lot sendiri, tidak pernah memintanya. Tetapi Abraham berinisiatif untuk membela kota itu, seakan-akan dia memang tinggal di kota tersebut. Abraham tak hanya bersimpati dengan keadaan Sodom, melainkan berempati terhadap penduduk Sodom. Arti harfiah simpati ialah bersama-sama menderita, tetapi empati berarti dalam penderitaan orang lain.

Bayangkan Abraham merasa perlu menawar dari 50 orang benar hingga menjadi 10 orang benar di Sodom agar kota itu selamat dari murka Allah. Dan itu dilakukannya tanpa pamrih. Lagi pula, jika Sodom selamat, Abraham pun tak dapat menyatakan hal itu kepada penduduk Sodom karena mereka memang tidak percaya kepada Allah. Dan sekali lagi, tak ada duta dari Sodom yang meminta Abraham untuk membelanya. Jelaslah, Abraham melakukannya tanpa pamrih.

Pertanyaannya? Bagaimanakah dengan kita? Ketika kita menjadi juru syafaat bagi orang lain, apakah kita sungguh-sungguh berempati? Atau, sekadar ucapan bibir belaka? Doa Syafaat seharusnya mengingatkan kita untuk tidak hanya bersikap simpati, melainkan empati. Jadi tidak sekadar omongan di bibir saja. Apa lagi, kalau hanya beranggapan bahwa doa syafaat berarti doa yang panjang.

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa

Exit mobile version