”Tidak ada yang akan berbuat jahat atau yang berlaku busuk di seluruh gunung-Ku yang kudus, sebab seluruh bumi penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air menutupi lautan.” (Yes. 11:9).Demikianlah nubuat Yesaya. Nubuat yang menjadi dambaan setiap manusia. Bayangkan: tidak ada yang berbuat jahat atau yang berlaku busuk.
Yesaya menggambarkan bagaimana serigala akan tinggal bersama domba, macan tutul berbaring di samping kambing. Anak sapi akan merumput bersama anak singa, dan anak kecil menggiring mereka. Sapi akan makan rumput bersama beruang, anak-anaknya berbaring bersama-sama. Singa makan jerami seperti sapi. Bahkan seorang bayi takkan cedera bila bermain dekat ular berbisa.
Gambarannya menarik disimak. Tiada lagi yang menjadi pemanga atau yang dimangsa. Sang karnivora berubah habitus menjadi herbivora. Ada habitus baru. Ada gaya hidup baru. Tidak saling memakan satu sama lain. Bahkan, bayi tidak akan terluka jika bermain-main di dekat ular berbisa. Tak ada orang tua yang perlu waswas atau khawatir. Inilah pengharapan seluruh insan. Juga kita yang hidup pada abad ke-21 ini.
Dan itu sejatinya adalah visi Allah sendiri. Perhatikan kembali nubuat Yesaya, dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini, ”Di Sion, Bukit Suci Allah, tak ada yang jahat atau merusak.” Ini adalah visi Allah dan sekaligus pengharapan setiap insan.
Ya, bukankah itu yang sungguh-sungguh dicari manusia? Selamat lahir dan batin. Fisiknya sehat, hatinya juga sehat. Dan itu hanya mungkin terjadi ketika manusia tunduk kepada Allah. Sebab, ketika manusia tunduk kepada Allah, aturan Allahlah yang ditegakkan. Pertanyaannya: Mungkinkah? Mungkin. Dan pemimpin berperan besar dalam hal ini.
Doa Daud
”Ya Allah, berikanlah hukum-Mu kepada raja dan keadilan-Mu kepada putra raja! Kiranya ia mengadili umat-Mu dengan keadilan dan orang-orang-Mu yang tertindas dengan hukum! Kiranya gunung-gunung membawa damai sejahtera bagi bangsa, dan bukit-bukit membawa kebenaran! Kiranya ia menegakkan keadilan bagi orang yang tertindas di antara rakyat, menolong orang-orang miskin, tetapi meremukkan pemeras-pemeras!” (Mzm. 72:
Demikianlah bait pertama Mazmur 72. Menarik disimak—menurut catatan redaksi Alkitab—awalnya mazmur ini merupakan doa-doa Daud bin Isai. Namun, sepertinya redaktur mendapatkan mazmur ini dari Salomo bin Daud.
Salomo agaknya merasa perlu memasukkan doa ayahnya dalam Kitab Mazmur. Ia tahu bahwa raja bisa salah dan karena itu pentinglah bagi raja untuk menerapkan hukum Allah tak hanya bagi rakyatnya, terutama bagi dirinya sendiri. Dan raja yang hidup dalam hukum Allah niscaya akan mengadili dengan adil.
Ketika seorang pemimpin negara bertindak adil, maka rakyat akan merasakan damai sejahtera. Itu jugalah yang ditekankan Daud dalam ayat 7: ”Kiranya keadilan berkembang dalam zamannya dan damai sejahtera berlimpah, sampai tidak ada lagi bulan!” Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Semoga keadilan berkembang selama zamannya, dan kemakmuran berlimpah selama bulan ada.”
Pertobatan
Pada titik itu manusia tak lagi menjadi serigala terhadap sesamanya, tetapi menjadi sesama bagi yang lainnya. Dan semua itu dimulai dari pertobatan. Pertobatan menjadi penting karena kita tidak ingin visi Allah hanya kita nikmati sendirian. Dan ketika visi Allah ditegakkan kita akan jauh dari pementingan diri sendiri.
Jelaslah, selama keadilan diterapkan dengan baik, rasa damai—juga rasa makmur—meliputi hati rakyat. Sedikit contoh, ketika seorang pedagang berbuat curang, maka dia pasti enggak merasa damai karena takut ketahuan. Saat sungguh ketahuan, giliran si pembelilah yang tidak merasa damai karena merasa ditipu.
Sekali lagi, pertobatan merupakan panggilan kita sehari-hari. ”Bertobatlah sebab Kerajaan Sorga sudah dekat”. Demikianlah seruan Yohanes Pembaptis. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Bertobatlah dari dosa-dosamu,” katanya, “karena Allah akan segera memerintah sebagai Raja!” Kalau Allah memerintah sebagai raja, maka pertobatan merupakan hal logis. Tidak bertobat malah aneh.
Jadi, kalau ada yang bertanya, ”Sikap tobat itu seperti apa sih?” Jawabnya: ”Akuilah Allah sebagai raja, dan kita hamba.” Tidak ada raja-raja kecil. Persoalan dunia ini adalah karena ada orang-orang yang mendaku diri sebagai raja-raja kecil. Hanya ada satu Raja, yang lainnya hamba. Dan sikap sebagai hamba, ya menaati Sang Raja.
Yoel M. Indrasmoro

