Ada yang mati di tengah pesta itu. Itulah peristiwa yang dicatat penulis Injil Markus. Pestanya memang bukan pesta kematian. Pestanya adalah pesta ulang tahun. Yang berulang tahun pun bukan sembarang orang. Ini adalah pesta ulang tahun seorang raja.
Tragisnya, di pesta ulang tahun raja itu ada seorang yang harus mati karena raja tak mampu mengekang lidahnya. Dan ketika raja tak mampu mengendalikan lidahnya, seorang yang sangat diseganinya harus mati.
Raja Tak Mampu Mengekang Lidah
Di sinilah persoalan berawal. Herodes penyelenggara pesta ulang tahun itu begitu gembira hingga tak mampu mengendalikan bibirnya. Penulis Injil Markus mencatat: ”Pada waktu itu anak perempuan Herodias tampil lalu menari, dan ia menyenangkan hati Herodes dan tamu-tamunya. Raja berkata kepada gadis itu, ”Mintalah kepadaku apa saja yang kauingini, maka akan kuberikan kepadamu!” (Mrk. 6:22).
Herodes terpesona akan kemolekan tarian anak perempuan Herodias. Saking kagumnya, raja berjanji akan memberikan apa saja yang diinginkan anak perempuan Herodias itu. Kelihatannya, raja memang sudah mabuk. Ia sudah lupa diri. Itulah yang membuatnya tidak berpikir logis.
Marilah kita menganalisis ucapan Herodes tadi: ”Mintalah kepadaku apa saja yang kauingini, maka akan kuberikan kepadamu!” Bukankah kalimat ini berarti bahwa sebagai seorang raja, Herodes merasa dapat memberikan segala sesuatu. Bayangkan, sanggupkah Herodes memberi seandainya anak perempuan Herodias itu meminta rembulan. Pada titik ini, Herodes memang sudah lupa diri. Ia merasa sanggup melakukan segala sesuatu. Dan yang lebih parah lagi, sebagai raja, Herodes merasa memiliki segala sesuatu.
Dan ungkapan itu agaknya memang tidak main-main. Herodes tidak asal bicara. Bahkan, dia merasa perlu bersumpah untuk menguatkan perkataannya itu. Raja bersumpah: “Apa saja yang kauminta dariku akan kuberikan kepadamu, sekalipun setengah dari kerajaanku!” (Mrk. 6:23). Bayangkan, sekali lagi, apa saja, sekalipun setengah dari kerajaanku!
Mengapa raja bersumpah? Agaknya, raja merasa ada orang-orang yang berpikir bahwa ia hanya obral janji. Mungkin saja, Herodes memang pribadi yang senang berjanji, tetapi ogah menepati. Dan Herodes merasa perlu bersumpah karena ia meyakini bahwa sebagai raja dia pasti mampu melakukan segala sesuatu. Agaknya, Herodes ingin semua yang mendengarnya yakin bahwa ia tidak main-main. Herodes tampaknya berupaya meyakinkan para pendengarnya bahwa dia adalah pribadi yang berpedoman sabda pandita ratu, artinya perkataan atau ucapan seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi yang setelah diucapkan tidak boleh diingkari.
Herodes bersumpah karena ia tidak mau dianggap remeh. Ia merasa perlu membuktikan kepada khalayak bahwa ia sanggup melakukan segala sesuatu. Bahkan, rela menyerahkan setengah dari kerajaannya.
Namun, di sini jugalah masalahnya, apa hak raja sehingga dia boleh menyerahkan setengah dari kerajaannya? Apakah kerajaan itu memang milik seorang raja? Di sini Herodes lupa bahwa dia raja Israel. Dalam pemahaman asli Yahudi, Allahlah raja mereka. jadi, kerajaan Israel bukanlah milik seorang raja. Raja hanyalah pengelola yang dipercaya oleh Allah. Dan pada titik ini sang raja lupa akan hakikatnya sebagai raja Israel. Dan ketika sang raja lupa diri, malapetakalah yang terjadi.
Putri Herodias Mampu Mengekang Lidah
Uniknya, malapetaka itu terjadi karena anak perempuan Herodias itu ternyata lebih mampu mengendalikan lidahnya. Dia tidak buru-buru ngomong. Jika Herodes tak mampu mengekang lidahnya saking gembiranya, Putri Herodias lain. Dia tidak mau tergesa-gesa menyatakan keinginannya. Agaknya, dia termasuk orang yang takut menyesal di kemudian hari karena tidak mampu mengendalikan diri.
Anak perempuan Herodias itu tahu bahwa kekuasaan ada di tangannya jika dia meminta setengah kerajaan Isael. Ia punya kesempatan besar. Kuasa sudah ada di depan matanya. Tinggal ngomong. Namun, ia tidak mau cepat-cepat meminta setengah kerajaan. Ia pergi ke ibunya, Herodias, dan memohon nasihatnya.
Sang Ibu tak menggubris tawaran Baginda. Meski di matanya terbayang kuasa, ia lebih suka menyaksikan kematian Yohanes Pembaptis. Dendam sang Ibu lebih tinggi ketimbang apa pun juga. Dendamnya bahkan lebih besar ketimbang setengah kerajaan. Di mata sang Ibu Yohanes Pembaptis harus mati.
Ini memang bukan tanpa alasan. Herodias marah karena perkawinannya dengan Herodes Antipas ternyata dikritik Yohanes Pembaptis. Di mata Yohanes Pembaptis, perkawinan Herodes dengan Herodias haram hukumnya. Bagaimanapun, Herodias masih berstatus isteri Filipus, sepupu Herodes. Kritikan itulah yang membuat Herodias menyimpan dendam. Penulis Injil Markus mencatat: ”Karena itu Herodias menaruh dendam pada Yohanes dan ingin membunuh dia, tetapi tidak dapat, sebab Herodes segan akan Yohanes karena ia tahu bahwa Yohanes orang yang benar dan suci, jadi ia melindunginya” (Mrk. 6:19-20).
Herodes pasti tahu bahwa isterinya amat membenci Yohanes Pembaptis. Ia pun tak suka dengan Yohanes Pembaptis, tetapi raja hanya mampu memenjarakannya. Herodes tidak membunuh Yohanes Pembaptis karena merasa segan. Bagaimanapun, kritikan Yohanes Pembaptis memang ada dasarnya. Lagi pula, Herodes tahu bahwa Yohanes Pembaptis adalah orang yang benar dan suci. Bahkan, Herodes melindunginya dari rencana pembunuhan yang dilakukan Herodias. Bisa jadi, di dalam hatinya Herodes mengakui apa yang dinyatakan Yohanes Pembaptis. Atau, Herodes memang mengakui kenabian dari Yohanes Pembaptis. Bagaimanapun, gaya anak Zakaria itu memang beda.
Di tengah masyarakat yang korup, Yohanes pembaptis tetap tegar. Dia menyatakan kebenaran tanpa tedeng aling-aling. Gayanya lugas. Gaya semacam itu memang bermanfaat dalam situasi masyarakat yang serbaboleh, yang kurang berani menyatakan mana benar dan mana salah.
Perkawinan Herodes dan Herodias pastilah sudah menjadi rahasia umum. Artinya, semua orang sudah mengetahuinya. Akan tetapi, tidak ada yang berani menegur Herodes. Yohanes beda. Ia menegur orang tanpa memperhatikan siapa yang ditegurnya. Baginya, kebenaran harus dinyatakan. Ia memang pribadi yang berani mengambil risiko. Dan semuanya itu berakhir di penjara.
Apa yang dikatakan Yohanes Pembaptis selaras dengan apa dilakukannya. Ia bukan pribadi yang jarkoni, isa ngajar ora isa nglakoni. Hidupnya adalah realisasi dari kata-katanya. Karena itulah, Herodes, sang penguasa tak berani bertindak gegabah terhadap dirinya. Bagaimanapun, Yohanes Pembaptis mengatakan apa adanya. Dan karena itulah raja ingin melindunginya dari kematian.
Raja Enggan Menelan Ludah Sendiri
Namun, erem itu gugur karena raja tak mampu mengekang lidahnya. Dia telah berjanji, bahkan bersumpah. Sehingga ketika anak erempuan Herodias meminta kepala Yohanes pembaptis dalam sebuah talam, Herodes sulit menolaknya. Herodes merasa bahwa gengsinya sedang dipertaruhkan. Dia sadar, dia akan menjadi bahan tertawaan jika dia menolak permintaan itu. Jika Herodes menolak, orang bisa dengan mudah mengatakan bahwa raja suka obral janji.
Dan raja tak mau menelan ludah sendiri. Ia tidak mau kehilangan gengsi. Ia tidak mau ditertawakan. Ia tidak mau disebut raja yang pandai obral janji. Yang akhirnya membuat pesta itu berakhir tragis.
Di tengah pesta itu, pesta ulang tahun raja, kepala seorang nabi tergolek di talam. Anak Zakaria itu tak lagi bisa bersuara karena sang raja tak mau menarik titahnya. Sang raja lebih mempertahankan gengsinya ketimbang menelan ludahnya sendiri.
Padahal, sebagai seorang raja, Herodes bisa membatalkan janjinya. Bagaimanapun, memenggal kepala orang tanpa sebab adalah kejahatan. Dan Herodes seharusnya bisa menuntut anak perempuan Herodias karena telah mendorong raja melakukan kejahatan.
Tetapi, ya itu tadi, lagi-lagi sang raja tidak mampu mengekang lidahnya. Penulis Injil Markus mencatat: “Raja segera menyuruh seorang algojo dengan perintah supaya membawa kepala Yohanes. Orang itu pergi dan memenggal kepala Yohanes di penjara.” (Mrk 6:27). Perhatikan kata ”segera”yang dipakai di sini. Herodes memang kurang bijak mengendalikan lidahnya. Dan karena raja kurang bijak menggunakan lidahnya, ada yang mati di tengah pesta itu.
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa