Hati yang Merdeka
Seorang kawan mengisahkan kesedihan dan keresahannya merawat ibunya yang sakit. Tak hanya demensia, sang ibu tidak jarang mengamuk dan berteriak tidak jelas, tanpa ada yang mengerti kehendaknya. Saya membandingkan dengan almarhumah ibu mertua saya, kelemahan tubuh membuatnya kecewa dengan keadaaan dirinya. Apa yang hendak dilakukan tidak selaras dengan anggota tubuhnya. Akibatnya, beliau sering marah kepada diri dan sekelilingnya. Orang-orang di sekitarnya pun merasa direpotkan dan semakin menjauhinya.
Saat itu saya mengatakan, ”Apa yang ditabur itu yang dituai.” Kalau kita baik kepada dunia, bukankah dunia pun akan baik kepada kita. Sama seperti jika kita menanam pohon mangga, tentu saja buah mangga yang akan kita panen, walaupun entah kapan pohon mangga kecil itu menjadi besar dan berbuah. Tidak akan mungkin kita memanen durian dari pohon mangga yang kita tanam. Jadi jika kita baik dan sabar terhadap orang lain, tentu saja diharapkan orang lain akan baik dan sabar juga kepada kita. Bahkan semesta pun mendukung prinsip tersebut. Hukum Newton 3 dalam fisika adalah F (gaya) aksi = F (gaya) reaksi.
Bagaimana jika kita baik terhadap orang lain, namun orang lain membalas kebaikan kita dengan sebaliknya? Kecewakah kita? Seseorang mengatakan itu adalah hal manusiawi. Bahkan pada 195 SM, Plautus mencetuskan homo homini lupus est ’manusia adalah serigala bagi sesamanya’. Akan tetapi, kita adalah pembawa kabar baik, umat utusan Sang Maha Kasih, jadi jangan kecewa jika kita berbuat baik, tetapi orang lain menjahati kita. Tetaplah berbuat baik!
Namun, bagaimana jika orang lain memperlakukan kita dengan jahat dan tidak semestinya, merendahkan, melecehkan, menyakiti, memperlakukan tidak adil. Hati kita sudah tercabik dan terkoyak dilukai. Setiap kita menengok ke belakang, itu adalah mimpi buruk dalam hidup kita. Apa yang harus kita lakukan saat orang itu berada di posisi yang memerlukan pertolongan kita? Bukankah apa yang ditabur itu yang dituai, tidak membalas perlakuannya saja sudah merupakan hal baik bagi dia. Apakah kita harus membantunya?
Ternyata kuncinya adalah hati. Hati yang gembira, hati yang kecewa, hati yang terluka. Perbuatan jahat tetap jahat, perbuatan baik tetap baik. Kita, sang pemilik hatilah yang menentukan, apakah kita akan membiarkan hati kita terjebak dalam kenangan luka, dendam, sedih, tidak adil, atau rela memerdekakannya. Karena hatilah yang menentukan respons perbuatan kita, baik atau tidak baik.
Biarlah pada bulan kemerdekaan ini, hati kita pun bisa merdeka. Melepaskan semua belenggu, melangkah maju. Karena kita hidup bukan untuk masa lalu, tetapi untuk saat ini dan hari esok.
Tjhia Yen Nie | Sobat Media
Foto: Unsplash/Khadeeja Yasser