Menggarami Gawai Kita

Perkembangan teknologi berbasis internet telah melahirkan budaya baru, yakni budaya digital. Gawai (perangkat digital) tak lagi menjadi kebutuhan, tetapi sudah menjadi bagian dari kehidupan atau budaya manusia. Gawai merupakan realitas manusia abad XXI. Tua-muda, miskin-kaya, tokoh-orang kebanyakan, telah terjangkiti virus digital, yang membuat mereka seolah merasa tak bisa hidup tanpa gawai. 

Budaya digital telah mengubah hubungan psikologis antarmanusia. Perhatian orang lebih tertuju pada hal-hal yang serbainstan; stimulus untuk pemahaman dan permenungan yang lebih mendalam kurang. Tsunami informasi membuat orang tak lagi mampu—lebih sering tak mau—memilah dan memilih informasi sehat.

Selain itu, budaya digital membuat orang mudah mengunggah konten apa pun. Tak sedikit pula orang yang merasa perlu menjadi wartawan ketika mengalami peristiwa yang menurutnya bermanfaat bagi orang lain. Yang lebih banyak adalah orang yang meneruskan konten yang diterimanya kepada orang lain tanpa perlu mempertanyakan keakuratannya. 

Kelompok-kelompok media sosial kadang malah menjadi forum di mana orang saling bercakap tanpa sungguh-sungguh mau—kadang memang tidak mampu—memahami situasi dan kondisi kawan bicara. Sehingga kawan bicara malah menjelma menjadi lawan bicara. Kelemahan percakapan di kelompok media sosial adalah sering terjadi penafsiran menurut kacamata pembaca, yang langsung menanggapi—tanpa perlu klarifikasi antarpribadi (japri) terlebih dahulu. Buntutnya: kelompok pun terbelah pendapatnya. 

Pengguna Gawai dan Perilakunya 

Menurut survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet di Indonesia, jumlah pengguna internet pada 2018 sebanyak 171, 2 juta orang (64,8%) dari jumlah penduduk), yang tersebar di kota dan desa. Kebanyakan dari mereka (74,62%) berasal dari strata ekonomi sosial menengah bagian bawah, dengan layanan yang diakses: 89,35% (chatting), 87,13% (social media), 74,84% (search engine), 72,79% (lihat gambar/foto), 69,64% (lihat video), 70,23% (download video), 56,77% (download gambar), 55,30% (artikel), 35,99 (upload file), 33,58% (email). 

Terlihat gawai merupakan keniscayaan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Dan 74,62% pengguna internet berasal dari strata ekonomi sosial menengah bagian bawah memperlihatkan bahwa kemungkinan besar mereka adalah kelompok masyarakat dengan telepon Android murah berteknologi 2G; dan internet bagi mereka adalah Facebook dan WhatsApp. Terlihat juga dalam survei: pengguna internet paling banyak mengakses layanan chatting dan social media

Di sini persoalan mulai bersemi karena media sosial cenderung mengumpulkan informasi—juga pertemanan pada awalnya—sesuai dengan selera penggunanya dan hanya berasal dari sumber yang disukai atau disetujui. 

Ini tentu bukan tanpa risiko. Benedictus Hari Juliawan mengingatkan bahwa media sosial justru berisiko mempersempit wawasan seseorang dan bukan memperluasnya karena mereka mendapatkan informasi senada, yang terus-menerus, dan untuk kalangan sendiri. Inilah yang dimaksudkan dengan fenomena ”algorithmic enclaves” atau ’tempurung digital’. 

Selanjutnya, jelas hari Hari Juliawan, dengan suguhan makanan yang mirip, dan tidak diberikan alternatif lain, mudah bagi anggota kelompok tersebut menjadi robot-robot baru, yang percaya bahwa suguhan tersebut merupakan makanan yang paling sehat bagi kelompok tersebut. Selanjutnya, jika tidak hati-hati, kelompok-kelompok media sosial dapat menjerumuskan para anggotanya menjadi antiintelektual dan antidemokrasi. Padahal, pada awal kemunculannya internet dianggap sebagai media yang menjunjung tinggi kebebasan dan kesetaraan.

Pilkada DKI 2017 merupakan bukti nyata bagaimana isu identitas (SARA:  Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) secara telanjang, masif, dan terencana dipakai secara sadar demi perolehan suara, yang menyebabkan warga ibu kota terbelah. Dan para penyebar isu itu dengan sadar menggunakan media sosial sebagai wahananya.  

Kenyataan bahwa sebagian masyarakat, berdasarkan survei tadi, lebih suka mengunduh dan meneruskan ketimbang mengunggah konten menjadikan kebanyakan masyarakat Indonesia menjadi konsumen digital ketimbang produsen digital. 

Tentu tidak sepenuhnya salah, apalagi untuk konten-konten yang mencerdaskan. Akan tetapi, itu bisa mengarahkan masyarakat kita masuk ke dalam penjajahan digital, terutama untuk hoaks dan menganggapnya sebagai kebenaran.

Panggilan Kita

Paus Fransiskus, dalam Hari Komunikasi Sedunia 2018, mengingatkan: ”Penyebaran berita palsu dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, memengaruhi keputusan-keputusan politik, dan melayani kepentingan-kepentingan ekonomi. Berita palsu itu bisa efektif, terutama karena mampu mengelabui seolah-olah berita yang benar dan masuk akal. Kedua, berita palsu, namun meyakinkan ini, amat cerdik serta mampu menarik perhatian, dengan memunculkan hal-hal stereotip dan apa yang menjadi objek keingintahuan umum, serta mengeksploitasi emosi-emosi sesaat seperti kecemasan, rasa terhina, kemarahan dan frustrasi. Kemampuan untuk menyebarkan berita palsu semacam itu sering kali ditopang oleh kemampuan memanfaatkan, dengan manipulasi, pelbagai jejaring sosial dan cara kerjanya. Cerita-cerita yang tidak benar dapat menyebar begitu cepat, sehingga bantahan-bantahan dari pihak berwenang sekalipun gagal membendung dampak negatif yang ditimbulkannya.”

Karena itu, panggilan ”Menggarami Gawai Kita” merupakan upaya strategis. Kita dipanggil untuk menawarkan nilai-nilai kehidupan. Kita tidak dipanggil untuk menawarkan kefanaan, tetapi nilai-nilai Kerajaan Allah, kepada dunia. 

Dalam dunia digital yang menawarkan informasi yang cepat dan relatif, kita dipanggil Allah untuk membagikan sesuatu yang bernilai kekal. Dalam dunia digital di mana komunikasi cenderung lugas—bahkan terkesan tanpa hati—kita perlu membagikan makna terdalam komunikasi: percakapan antarhati. Dalam dunia digital yang cenderung mengedepankan kebebasan bersuara—tak peduli apakah itu menyakitkan hati kawan bicara—kita perlu mengutamakan penguasaan diri. Dalam dunia digital yang menawarkan hoaks demi kepentingan kelompok tertentu, kita perlu membagikan kebenaran demi kesejahteraan semua kelompok.

Sejatinya, gawai dapat kita jadikan wahana untuk menawarkan nilai-nilai Kerajaan Allah. Sebagai homo sapiens ’manusia bijak’, kita dipanggil pula untuk membentuk budaya baru—budaya Kerajaan Allah. 

Budaya Kerajaan Allah adalah budaya yang berdasarkan pemahaman bahwa hanya ada satu Raja: Allah sendiri. Yang lainnya hamba! Dalam Kerajaan Allah tak ada raja-raja kecil. Ketika Allah menjadi Raja, manusia tak perlu saling menyalahkan, apa lagi mengalahkan. Sebaliknya, manusia dipanggil untuk saling melayani satu sama lain. Dan semuanya bisa dimulai dengan sebuah langkah kecil: ”Menggarami Gawai Kita”.

Yoel M. Indrasmoro