Menjadi Nabi Allah
”Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, dan sebelum engkau lahir, Aku sudah memilih dan mengangkat engkau untuk menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.” (Yer. 1:5).
Panggilan Yeremia menjadi nabi memperlihatkan kepada kita beberapa hal mendasar.
Panggilan Yeremia
Pertama, Allahlah yang memanggil Yeremia. Yeremia tidak memanggil diri sendiri. Dia tidak mengajukan diri; juga tidak melamar pekerjaan. Allahlah yang berprakarsa. Allahlah yang melamarnya. Dan Gereja Kristen Jawa Jakarta berada dalam tradisi ini. Semua pelayan di GKJ Jakarta adalah dipanggil Allah melalui gereja. Tak ada di antara kita yang pernah melamar di GKJ Jakarta. Saya pun tidak.
Kedua, panggilan Yeremia tanpa syarat apa pun. Kalaupun ada, Allahlah yang memperlengkapi Yeremia dengan syarat itu. Sekali lagi, bukan persyaratan yang diajukan Allah, melainkan pernyataan: Aku telah memilih dan mengangkat engkau.
Menarik disimak, syarat tidak dipenuhi oleh pihak yang dipanggil, tetapi dipenuhi Sang Pemanggil. Kalau perusahaan biasanya mencari orang sesuai persyaratan yang telah ditetapkan. Allah membentuk manusia agar sesuai dengan karya yang telah ditetapkan Allah baginya.
Ketiga, Yeremia berada pada pihak penanggap. Panggilan telah ditetapkan, tinggal menunggu respons Yeremia: menerima atau tidak.
Panggilan Yeremia memperlihatkan bahwa panggilan sejatinya prerogatif Allah. Alasan pemanggilan bukan pada yang dipanggil, melainkan pada yang memanggil—Allah sendiri. Dia pun tidak sewenang-wenang memanggil karena telah menyiapkan pribadi yang dipanggil agar mampu berkarya.
Inilah penghiburan bagi setiap orang yang dipanggil menjadi pelayan-Nya dalam bidang apa pun. Saat Allah memanggil seseorang, Dia akan menopang orang tersebut agar mampu mengerjakan tugas, bahkan sejak dalam kandungan (Mzm. 71:6). Bagaimanapun, Allah tidak ingin karya-Nya gagal di tengah jalan.
Sehingga, sanggahan Yeremia—”Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda.” (Yer. 1:6)—menjadi sangat tidak relevan. Kelemahan itu tak lagi jadi soal karena Allah telah melengkapinya.
Dia berjanji: ”Sesungguhnya, Aku menaruh perkataan-perkataan-Ku ke dalam mulutmu.” (Yer. 1:9). Yeremia tidak perlu kepandaian bicara karena Allah sendirilah yang akan menaruh perkataan-perkataan-Nya ke dalam mulut Yeremia.
Tersurat, Yeremia tak perlu menyusun bahan pembicaraan. Allah sendiri telah menempatkannya pada mulut Yeremia. Dengan kata lain, Yeremia tinggal melantangkan firman Allah itu. Tentu menjadi persoalan ketika Yeremia mengunci mulutnya sendiri.
Panggilan Kita
Panggilan Allah tidak berarti bahwa Allah sendirilah yang harus berbicara kepada kita. Allah bisa memanggil melalui orang lain—gereja atau lembaga lain. Itu berarti panggilan Allah tak hanya sebatas kegiatan rohani!
Pekerjaan sekuler pun harus kita pandang sebagai panggilan khusus Allah. Ini tak hanya berlaku bagi orang yang bekerja formal atau kantoran. Ibu rumah tangga, juga pensiunan, merupakan panggilan Tuhan!
Kalau kita meyakini bahwa pekerjaan kita pun merupakan jawaban atas panggilan Allah, tak perlulah kita bercemas hati atau mengeluh saat pekerjaan itu terasa berat. Sebab Tuhan telah memperlengkapi kita untuk menanggung semua beban tersebut. Jika demikian halnya, bertindak profesionalisme menjadi hal lumrah.
Persoalannya, yang terjadi sering malah sebaliknya. Banyak pekerjaan, khususnya di gereja, malah jauh dari kesan serius. Alasannya: nggak ada bayarannya atau gajinya kecil.
Tuhan memang nggak kelihatan, di gereja yang ada hanya sanksi moral, bukan perdata apa lagi pidana. Tetapi, baiklah kita ingat bahwa kata ”profesional” seakar kata dengan ”profesor”—harfiah: ’orang yang menyatakan imannya’! Dengan kata lain, perlulah sikap dan tindak profesional karena kita sedang menyatakan iman.
Jika demikian, kita juga dipanggil untuk menerangi dan menggarami dunia kerja kita! Umat Allah dipanggil menjadi nabi dalam pekerjaannya. Dengan kata lain, pekerjaan kita perlu kita jadikan sarana pelantangan suara Allah dan perwujudkan kehendak dan karya Allah.
Melakukan Kehendak Allah
Menjadi nabi Allah berarti melakukan apa yang Allah kehendaki, bukan apa yang dikehendaki orang lain, apalagi diri sendiri. Nabi Allah harus lebih mendengarkan perkataan Allah ketimbang orang lain (Ibr. 12:25). Itulah yang terjadi pada penyembuhan seorang wanita pada hari Sabat (Luk. 13:10-17).
Kisah penyembuhan seorang ibu dalam rumah ibadah (Luk. 13:10-17)— yang hanya dicatat Lukas ini—menarik disimak. Entah apa penyakitnya. Yang jelas, penyakit itu menyebabkannya bungkuk selama 18 tahun. Delapan belas tahun bukan waktu sebentar. Dan Yesus menyembuhkannya.
Yesus menyembuhkan bukan karena ia berkuasa menyembuhkan, bukan pula karena hendak pamer, tetapi lebih dari itu karena Yesus merasa iba hatinya. Bayangkan, 18 tahun dia bungkuk! Mungkin saja, penyakitnya itu telah membuatnya minder. Mungkin itu juga yang menyebankannya tidak merasa perlu meminta pertolongan Yesus.
Akan tetapi, Yesus peka. Guru dari Nazaret tidak menunggu ibu itu ngomong. Ia juga menyembuhkan tanpa memperhatikan aturan picik yang berlaku. Kebaikan hati tidak pernah terhalang, juga oleh aturan. Agaknya, bagi Yesus tak perlu nunggu besok untuk berbuat baik.
Itulah yang tak dipahami kepala rumah ibadah. Dengan gusar dia protes: ”Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat.” Dia mungkin merasa terganggu ibadahnya dengan peristiwa penyembuhan itu. Sehingga dia menghardik perempuan itu agar hadir di hari lain.
Namun, pemahaman Yesus berbeda. Bagi Yesus, belas kasihan lebih penting dari aturan mana pun. Bahkan dengan lugas, Yesus menyebut munafik setiap orang yang keberatan dengan tindakan-Nya. Mengapa? Karena mereka melepaskan lembu atau keledai pada hari Sabat dari kandang dan membawanya ke tempat minuman, namun membiarkan perempuan itu tetap terikat.
Di mata Yesus, orang-orang itu lebih punya perikehewanan ketimbang perikemanusiaan. Mereka lebih sayang hewan ketimbang manusia. Semua itu dilakukan karena hewan itu milik mereka sendiri. Ujung-ujungnya, untuk kepentingan mereka sendiri.
Yesus memiliki paham berbeda: belas kasihan lebih penting dari aturan mana pun. Yesus siap mengambil risiko. Bagi Dia, melakukan kehendak Bapa merupakan prioritas.
Dan sebagaimana Yesus, semua tindakan itu dimulai dengan melihat (Luk. 13:12). Dari melihat, kita akan tahu apa kehendak Allah yang harus kita lakukan. Jika memang ada yang protes, selama itu baik, bukan untuk membangun kerajaan kita sendiri. Ya, lakukan saja. Terus maju, pantang mundur!
Yoel M. Indrasmoro