Melayani dengan Kekayaan
“Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka.” (Luk. 8:3). Inilah catatan Lukas mengenai perempuan-perempun yang terlibat dalam pelayanan Yesus dan rombongannya.
Subjek kalimat adalah ”perempuan-perempuan ini”. Mereka bukan laki-laki. Mereka berkelamin perempuan—golongan yang kurang mendapat tempat dalam budaya Yahudi. Tetapi, tindakan mereka bukan hal biasa.
Hebatnya lagi, Yesus mengizinkan mereka terlibat dalam pelayanan-Nya. Mereka beroleh kesempatan melayani. Di sini jelas, dari awalnya pelayanan bukanlah monopoli kaum laki-laki. Perempuan boleh menjadi pelayan. Para perempuan itu mendapat tempat untuk melayani Yesus.
Catatan Lukas itu menyiratkan suatu bentuk penghormatan khusus. Kelihatannya, mereka bukan tipe ibu rumah tangga, yang sibuk mengurus konsumsi. Lukas menyatakan, mereka melayani rombongan Yesus itu dengan kekayaan mereka.
Sikap terhadap Kekayaan
Dalam Alkitab BIMK tertera: ”Dengan biaya sendiri, mereka membantu Yesus dan pengikut-pengikut-Nya.” Jelaslah, mereka menggunakan biaya sendiri. Artinya: dengan uang sendiri, mereka membantu Yesus dan pengikut-pengikut-Nya. Mereka mendukung pelayanan Yesus dengan kocek mereka.
Mari kita berhitung! Jika jumlah rombongan itu 25 orang saja—dan sebagaimana catatan Lukas mereka berjalan berkeliling dari kota dan dari desa ke desa, maka untuk keperluan akomodasi plus konsumsi (anggap saja Rp 300 ribu per hari) sekitar Rp 7,5 juta. Per bulan berarti Rp 225 juta!
Beberapa hal perlu kita renungkan dengan cermat. Pertama, pelayanan butuh modal. Dan modal terbesar bukanlah uang. Modal terbesar adalah manusia. Uang memang penting. Tetapi—yang juga penting diingat—uang hanya alat. Bagaimanapun, manusialah yang punya uang.
Tampaknya, pemahaman uang merupakan alat telah ada dalam diri para perempuan itu. Mereka memandang uang sebagai alat pelayanan. Kekayaan merupakan alat.
Kedua, pelayanan bukan untuk mencari kekayaan. Mereka tidak menjadikan pelayanan menjadi ajang untuk mengumpulkan uang, tetapi mereka malah mengeluarkan uang. Semua itu dilakukan dengan rela.
Dalam catatan Lukas terdapat beberapa nama: Maria Magdalena, Yohana, Susana, dan banyak perempuan lain. Teofilus, penerima pertama Kitab Lukas, tentu mengenal nama-nama itu. Kemungkinan, mereka memang orang berpengaruh di jemaat perdana.
Misalnya, Yohana. Dia istri dari Khuza, bendahara herodes. Tentunya, dia seorang terpandang. Kemungkinan besar dia seorang bangsawan. Yang pasti, dia orang kaya.
Dia agaknya paham, kekayaannya hanya alat. Sehingga dengan mudah dia menggunakannya untuk mendukung pelayanan Yesus. Bisa jadi, dia juga memahami apa yang dimilikinya itu berasal dari Tuhan. Karena merasa diberi, tak sulit baginya untuk memberi.
Yang pasti, mereka percaya kepada Gerakan Yesus Orang Nazaret—yang memberitakan Injil Kerajaan Allah! Jika tidak tentu mereka tidak mau memercayakan (menginvestasikan) uang mereka bagi pemberitaan Injil Kerajaan Allah itu!
Pada titik ini kita diingatkan bahwa fokus penggalangan dana adalah Kerajaan Allah. Kerajaan Allah berarti Allahlah yang meraja. Di dalam Kerajaan-Nya tidak ada raja-raja kecil.
Memberi atau Merampas?
Yohana berbeda dengan Izebel, istri Ahab. Meski sama-sama istri penguasa dan kaya, Yohana lebih suka memberi ketimbang Izebel. Yohana lebih suka memberi ketimbang mengumpulkan harta. Izebel tidak hanya mengumpulkan, bahkan merampas apa yang bukan menjadi haknya. Tak hanya itu, Izebel bahkan merasa perlu mengambil nyawa Nabot hanya untuk mendapatkan sebidang kebun anggur (1Raj. 21:1-29)
Jelas, Izebel tidak lagi menjadi puan atas hartanya. Harta itulah yang menjadi tuan. Dan Izebel menjadi budaknya. Di mata Izebel kekayaan bukanlah alat, sebaliknya dirinyalah alat dari kekayaannya itu. Buktinya, Izebel melakukan apa saja demi mendapatkan harta!
Izebel memang kaya dalam pandangan manusia, namun dia merasa miskin. Buktinya, dia masih merasa kurang dan ingin terus mengumpulkan harta. Dan karena merasa miskin, sulitlah bagi Izebel untuk memberi.
Orang-orang yang merasa kayalah yang mampu memberi. Sengaja tidak saya katakan orang kaya. Karena orang kaya belum tentu mau memberi, jika di dalam hatinya dia tetap merasa miskin. Kaya memang berada dalam ranah perasaan. Kita sulit mengharapkan pemberian tulus dari orang kaya, yang tetap merasa miskin.
Pada titik ini jelas pulalah betapa penting untuk mengingatkan setiap orang yang bekerja di ladang pelayanan Allah bahwa fokus dalam penggalangan dana, sekali lagi adalah Kerajaan Allah. Setiap orang yang terlibat dalam penggalangan dana perlu mendasarkan dirinya pada konsep Kerajaan Allah—bersumber dan dan bermuara pada Kerajaan Allah.
Catatan Lukas tadi juga menyiratkan bahwa harta termahal pada manusia adalah dirinya sendiri. Hidup itu sendiri adalah harta terbesar dalam diri seorang manusia. Dengan kata lain, ”melayani dengan kekayaan mereka” berarti melayani dengan segenap diri.
Kisah Betania
Itulah yang tampak dalam kisah di Betania (lih. Yoh. 12:1-8). Yohanes mencatat: ”Lalu Maria mengambil setengah liter minyak narwastu murni yang mahal sekali, lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya; dan bau semerbak minyak itu memenuhi seluruh rumah itu” (Yoh. 12:3, TB2).
Dan Yudas tak bisa menahan hatinya, dia melancarkan protes. Tak habis dipikirnya ada seseorang yang begitu kekanak-kanakan sifatnya. Yudas sungguh tidak mengerti tindakan Maria, yang seenaknya menggunakan minyak Narwastu untuk mencuci kaki Yesus. Yudas tidak sanggup menahan kekesalan hatinya, bahkan geram menyaksikan tingkah laku Maria, yang mencuat dalam serapah, “Mengapa minyak Narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar, dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” (Yoh. 12:5, TB2).
Di mata Yudas perbuatan Maria merupakan pemborosan. Masih banyak orang miskin butuh pertolongan, tetapi mengapa Maria tidak menolong mereka? Dan anehnya, Yesus membiarkan pemborosan tersebut berlangsung di depan mata-Nya.
Mengapa Yudas begitu marah kepada Maria?
Pertama, Yohanes mencatat, kemarahan Yudas tidak timbul dari kepeduliannya terhadap orang-orang miskin, tetapi karena dia dapat keuntungan, seandainya uang hasil penjualan minyak tersebut diberikan kepada Yesus. Sebagai bendahara kelompok, Yudas acap menggelapkan uang untuk kepentingan sendiri. Yudas memandang orang miskin sekadar alat untuk menambah kekayaan pribadinya. Karena ketika memberi, dia juga mengambil keuntungan dari pemberian tersebut.
Catatan ini mengingatkan kita bahwa setiap orang yang terlibat dalam penggalangan dana tak pernah steril dari keinginan untuk berbuat dosa. Kitab suci mencatat tak hanya Yudas, tetapi juga kisah suami-istri Ananias dan Safira, yang melakukan kebohongan publik (lih. Kis. 5:1-11). Karena itu, setiap orang yang terlibat dalam penggalangan dana sungguh-sungguh harus menjadi pribadi transparan yang siap diaudit kapan pun juga!
Kedua, agaknya Yudas belum bisa memahami misteri cinta. Dalam hal ini cinta Maria kepada Yesus. Yudas kelihatannya belum pernah jatuh cinta. Sehingga sulit baginya memahami tindakan Maria, yang memang didasari cinta kasih tulus.
Mungkin Yudas memang belum sungguh-sungguh merasakan cinta Yesus. Orang yang belum pernah merasa dikasihi, mustahil dapat mengasihi orang lain. Orang yang belum pernah menerima kasih, tak akan mungkin dapat memberikan kasih kepada orang lain. Sebab, apa yang hendak diberi, jikalau sesorang belum pernah merasa menerima apa-apa?
Sepertinya, inilah yang membedakan Yudas dan Maria. Yudas belum sungguh-sungguh merasakan kasih Yesus. Tak heran jika Yudas menjual Yesus seharga 30 keping uang perak. Satu keping uang perak setara dengan tiga dinar nilainya. Jadi, Yudas hanya menghargai Yesus sebanyak 90 dinar. Dan ini masih kalah jauh dari Maria yang mempersembahkan minyak Narwastu murni seharga 300 dinar.
Bagaimana dengan Maria?
Maria telah merasakan cinta kasih Yesus. Baginya yang penting ialah membahagiakan hati Yesus. Maria memberi yang terbaik dari apa yang dapat dia berikan untuk Tuhannya. Minyak Narwastu terkenal sebagai minyak yang sangat harum baunya. Minyak ini berasal dari Nardostachys jatamansi, tumbuhan asli India Utara, dan hanya tumbuh di pegunungan Himalaya. Tak heran jika minyak ini menjadi sangat mahal harganya. Meski demikian Maria seakan tidak mempersoalkan harga minyak tersebut. Yang penting baginya ialah menyatakan kasihnya kepada Yesus.
Merupakan hal wajar, jika Yudas mempersoalkan harga minyak tersebut. Satu dinar ialah upah pekerja harian dalam satu hari. Jika dibandingkan dengan keadaan sekarang, saat upah minimum regional sekitar Rp. 100.000,- per hari, maka harga minyak tersebut menjadi Rp. 30 juta.
Jumlah yang tidak sedikit. Dan Maria pun bukan orang kaya. Namun, tampaknya Maria tidak begitu memperdulikan perkara harga. Karena dia telah merasakan kasih Yesus dalam hidupnya. Bukankah Yesus telah membangkitkan Lazarus, saudaranya, dari kematian? Sehingga bagi Maria harga tak lagi menjadi soal. Tiga ratus dinar masih belum apa-apa dibanding dengan kasih yang telah dia rasakan. Maria sadar, apa yang dilakukannya masih belum sebanding dengan kasih Yesus.
Diriku yang Diminta-Nya
Cinta memang misteri. Dan agaknya Maria telah memahaminya. Sehingga dia rela mengambil miliknya yang paling berharga dan menyerahkannya bagi Tuhan. William Barclay menyatakan bahwa kasih bukanlah kasih lagi, jika masih memperhitungkan dengan cermat semua biayanya. Kasih memberikan semuanya dan merasa menyesal jika tidak memberi lebih banyak lagi.
Lazimnya, minyak Narwastu dipakai untuk rambut, tetapi Maria menggunakannya untuk meminyaki kaki Yesus. Dia membasuh kaki Yesus. Dalam Perjamuan malam, tak ada seorang pun yang mau mengambil alih tanggung jawab sebagai pembasuh kaki, sehingga Yesuslah yang harus membasuh kaki para murid-Nya.
Maria, tidak termasuk kedua belas murid, tetapi dialah yang membasuh kaki Yesus.. Bahkan, kegiatan pembasuhan kaki itu dikaitkan dengan hari penguburan Yesus! Dampak yang mungkin tidak terlintas dalam benak Maria! Di sini pun kita diingatkan ada dampak besar yang mungkin tidak terpikirkan saat kita terlibat dalam penggalangan dana.
Tak hanya itu. Maria menyeka kaki Yesus dengan rambutnya. Di Palestina pada masa itu, tak ada perempuan terhormat yang menguraikan rambutnya di muka umum. Hanya pelacurlah yang tidak menggunakan kerudung di depan orang banyak. Sepertinya, Maria pun tidak memikirkan hal tersebut. Demi kasihnya kepada Yesus, Maria melawan kelaziman dan adat istiadat yang berlaku. Dia tidak peduli akan dianggap pelacur oleh orang banyak.
Sekali lagi, karena kasih Maria kepada Yesus. Bukankah masih banyak orang, sebelum melakukan sesuatu yang baik sekali pun, senantiasa berpikir: bagaimana nanti kata orang mengenai tindakan yang akan dilakukannya? Seakan Maria hendak berkata: tidak ada yang terlalu mahal untuk sebuah cinta!
Itulah pemberian diri sepenuhnya. Sehingga Yesus berupaya menjernihkan ketika Yudas menganggapnya sebagai persoalan—”Lalu kata Yesus, ’Biarkanlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan-Ku. Karena orang-orang miskin selalu ada bersama kamu, tetapi Aku tidak akan selalu bersama kamu.”
Klarifikasi Sang Guru memperlihatkan kepada kita pentingnya memahami keragaman pelayanan dalam penggalangan dana. Dan prioritas—yang tergantung pula pada panggilan seseorang—merupakan hal penting yang perlu terus dipahami khususnya dalam penggalangan dana.
Namun, dalam semuanya itu, tampak jelas bahwa Maria telah mengalami transformasi. Cinta memang bisa mengubah seseorang. Karena cintalah Maria mampu melakukan semuanya itu. Dan memang itulah yang diharapkan Allah dari setiap umatnya.
Dalam Kidung Jemaat 169, Isaac Watts pada 1707 menulis: ”Andaikan jagad milikku dan kuserahkan pada-Nya, tak cukup bagi Tuhanku—diriku yang diminta-Nya.”
Datanglah Kerajaan-Mu
Bagian ini mengingatkan kita pula bahwa penggalangan dana bukan sekadar aktivitas pencarian dana belaka. Penggalangan dana bukan pula usaha yang membuat orang kaya merasa bersalah jika tidak memberi, dan akhirnya terpaksa memberi. Tidak. Penggalangan dana merupakan suatu pelayanan sehingga setiap orang yang terlibat di dalamnya harus memberikan diri sepenuhnya kepada Sang Tuan! Penggalangan dana merupakan salah satu cara melibatkan manusia menjadi pelayan dalam Kerajaan-Nya.
Pada titik ini pula agaknya kita perlu berujar seperti nasihat Sang Guru kepada para murid-Nya—”Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan” (Luk. 17:10).
Di sini kita diingatkan lagi bahwa penggalangan dana meripakan pelayanan Allah sendiri. Dialah yang menyediakan semua kebutuhan bagi proyek-proyek-Nya. Sehingga tidak ada seorang pun—yang terlibat dalam penggalangan dana—boleh memegahkan diri.
Tugas kita adalah menjalankan kehendak-Nya! Dialah yang akan menggerakkan orang-orang-Nya terlibat dalam penggalangan dana. Sehingga baik yang memberi dana maupun yang mengajak tak ada yang bisa memegahkan diri. Mereka hanya hamba-hamba yang rindu melakukan kehendak-Nya!
Penggalangan dana sejatinya hanyalah pertemuan para hamba Tuhan. Semuanya hamba! Sehingga tak ada yang perlu rendah diri apalagi tinggi hati. Pilihan hamba memang cuma satu: rendah hati!
Sehingga pada akhirnya para hamba Tuhan itu bisa berseru tulus, sebagaimana syair van Dop dalam Kidung Jemaat 260, ”Datanglah, datanglah, datanglah Kerajaan-Mu!”
Yoel M. Indrasmoro