Puasa yang Dikehendaki Allah: Mengasini dan Menerangi

”Sesungguhnya, pada hari puasamu engkau masih tetap mengurus urusanmu, dan kamu mendesak-desak semua buruhmu. Sesungguhnya, kamu berpuasa sambil berbantah dan berkelahi serta memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena.” (Yes. 58:3-4).
Persoalan Israel
Itulah persoalan Israel. Kemasannya bagus dan tampak kudus; namun isinya buruk dan pasti tidak kudus. Yesaya menyatakan bahwa umat Israel kontradiksi dalam dirinya sendiri.
Sebelumnya, dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini, tertera: ”Mereka menyembah Aku setiap hari, dan ingin mengetahui kehendak-Ku, seolah-olah mereka melakukan yang baik, dan setia kepada hukum-Ku. Mereka berkata bahwa mereka senang menyembah Aku dan menginginkan hukum-Ku yang adil.” (Yes. 58:2, BIMK)
Menarik untuk mencermati kata ”seolah-olah”. Dalam KBBI ”seolah-olah” berarti ”selaku”; ”sepertinya”; atau ”seakan-akan”. Dan yang menilainya adalah Allah sendiri—Sang Mahatahu. Itulah anehnya umat Israel. Pasti mereka tahu bahwa Allah itu Mahatahu; ya di sini anehnya, mereka malah mengembangkan politik pencitraan.
Mengapa orang mengembangkan politik pencitraan? Jawabnya sederhana. Manusia pada umumnya menghargai apa yang terlihat. Mereka lebih mempedulikan apa yang dikatakan manusia yang kelihatan ketimbang Allah yang tidak kelihatan.
Agaknya sudah menjadi naluri manusia untuk menampilkan apa yang baik dan menyembunyikan apa yang buruk. Dan yang lebih menjadi persoalan ketika orang menampilkan apa yang baik untuk menutupi apa yang buruk. Pada titik ini jelaslah, manusia tak lagi menghargai Allah yang tidak terlihat. Padahal Israel adalah umat Allah. Israel adalah hamba Tuhan.
Mengasini dan Menerangi
Karena itulah, Allah melalui Yesaya, mengingatkan: ”Inilah puasa yang Kukehendaki: Lepaskanlah belenggu penindasan dan beban ketidakadilan, dan bebaskanlah orang-orang yang tertindas.” (Yes. 58:6, BIMK).
Mengapa Israel diperintahkan untuk melepaskan belenggu penindasan, beban ketidakadilan, dan orang-orang yang tertindas? Jawabnya: hanya orang merdekalah yang mampu memerdekakan orang lain. Israel sebagai orang yang dimerdekakan Allah harus memerdekakan orang lain pula.
Dan secara khusus, Allah—sekali lagi melalui Yesaya—mengingatkan Israel untuk berbagi makanan, berbagi ruang, dan berbagi pakaian. (lih. Yes. 58:7, BIMK). Inilah kebutuhan primer manusia: sandang, pangan, papan. Kebebasan itu tidak saja kebebasan rohani, tetapi juga kebebasan jasmani.
Sesungguhnya, itulah yang dimaksud Yesus dengan garam dan terang. Kita dipanggil untuk mengasini dan menerangi. Caranya: jangan sembunyikan rasa asin kita dan jangan juga sembunyikan terang kita.
Frasa “garam dunia” dan “terang dunia” menegaskan bahwa dunia membutuhkannya. Sehingga menjadi panggilan kita juga untuk tidak kehilangan rasa asin, apa lagi menyembunyikan diri.
Dalam bukunya Sepanjang Tahun Menelusuri Alkitab, John Stott mencatat empat hal. Pertama, kita berbeda dari dunia ini. Kita harus menjadi terang bagi dunia yang gelap dan menjadi garam yang mencegah perusakan masyarakat.
Kedua, meskipun berbeda secara radikal, orang Kristen tak boleh terpisah dari masyarakat. Terang harus bersinar dalam gelap; garam harus meresap ke dalam daging. Orang kristen harus hadir dalam masyarakat.
Ketiga ada proses perubahan, gelap sirna; pembusukan dari bakteri terhindar. Kehadiran orang Kristen semestinya mengubah dunia sekitar.
Keempat, garam harus tetap asin, terang tak boleh menyembunyikan diri. Jika garam itu tidak kelihatan, namun ada dan terasa; terang harus memperlihatkan dirinya. Hanya dengan begitu orang merasakan manfaatnya.
Integritas
Dan itu akan sungguh efektif ketika orang Kristen sungguh-sungguh memperlihatkan diri sebagai umat yang beribadah. Tentu, kita perlu melepaskan diri dari legalisme atau politik pencitraan dalam ibadah, tetapi itu tidak berarti bahwa kita boleh tidak beribadah.
Tuhan Yesus menegaskan: ”Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” (Mat. 5:17). Yang dimaksud dengan ”mengggenapi” di sini adalah ”menunjukkan arti yang sesungguhnya” Taurat Tuhan itu.
Ini menjadi penting karena para ahli Taurat dan orang Farisi telah terjebak dalam legalisme—merasa puas kala sudah mematuhi Taurat. Dan Yesus Orang Nazaret meminta lebih. Tak sekadar puas mematuhi Taurat, tetapi sungguh-sungguh tahu makna terdalam dari kepatuhan pada Taurat itu.
Sehingga Sang Guru menandaskan: ”Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga” (Mat. 5:20).
Berkait aturan, inilah panggilan Allah bagi umat-Nya. Mereka harus lebih benar dari ahli Taurat dan orang Farisi dalam menjalankan Taurat Tuhan. Itu berarti orang Kristen tidak boleh merasa lebih tinggi dari hukum, melainkan sungguh-sungguh menaatinya. Tidak terpaksa, tetapi karena dengan sukarela karena mereka telah memahami makna sesungguhnya dari hukum tersebut.
Dan kesaksian kita sebagai garam dan terang dunia akan sungguh-sungguh mujarab ketika kita sungguh-sungguh memperlihatkan diri sebagai pribadi berintegritas. Tidak hanya bicara soal nilai-nilai Kerajaan Allah, tetapi juga menghidupinya, melakoninya. Tanpa integritas kita tak ubahnya garam yang tak lagi berasa asin dan pelita yang diletakkan di bawah tempayan.
Ya, apalah artinya garam yang telah kehilangan rasa asinnya dan terang yang diletakkan di dalam tempayan?
Yoel M. Indrasmoro
Foto: istimewa