Allah yang Turut Menderita

Bagaimanakah perasaan keluarga muda itu—Yusuf dan Maria—ketika mendapat kunjungan para Majusi dari Timur? Mungkin kaget sekaligus bangga. Kaget karena kedatangan tamu, yang memang bukan orang sembarangan. Tamu mereka adalah raja-raja dari Timur. Lebih mengagetkan hati, orang-orang asing itu ternyata mencari bayi mereka hanya dengan satu tujuan—yakni menyembah-Nya. Inilah yang membanggakan mereka.
Perhatikan catatan Matius: ”Di manakah Dia, raja orang Yahudi yang baru dilahirkan itu? Kami telah melihat bintang-Nya di Timur dan kami datang untuk menyembah Dia.” (Mat. 2:2)! Pertanyaan itu membuat orang-orang di Yerusalem gempar. Sebab, Herodes sudah sangat tua dan tak ada kabar bahwa dia telah mempunyai seorang anak lagi.
Pertanyaan para Majusi itu pastilah juga mengagetkan hati banyak orang, terutama Herodes karena dia termasuk orang yang gila hormat dan kuasa. Sampai-sampai dia memusnahkan silsilahnya untuk menghapus jejak jati diri yang sesungguhnya. Setiap orang yang dirasakan sebagai ancaman terhadap takhtanya disingkirkannya, termasuk istri dan anak.
Dan memang itulah yang dilakukan para Majusi ketika bertemu Yesus. Penginjil Matius mencatat: ”Ketika melihat bintang itu, mereka sangat bersukacita. Mereka masuk ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Mereka pun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, dupa, dan mur.” (Mat. 2:10-11). Tak hanya menyembah, mereka juga mempersembahkan persembahan!
Bukan memberikan persembahan lho! Tetapi mempersembahkan persembahan. Memberikan berarti kita berada pada posisi yang lebih tinggi. Memberikan berarti saya di atas. Sedangkan mempersembahkan berarti kita berada pada posisi yang lebih rendah. Telapak tangan menghadap keatas. Allah adalah pemilik alam semesta. Mempersembahkan berarti kita menyadari apa yang kita miliki berasal dari padanya semata.
Wajar bukan jika keluarga muda itu merasa bangga? Anak mereka sungguh bukan orang sembarangan. Orang-orang asing pun merasa perlu mencari untuk menyembah-Nya.
Hidup Penuh Risiko
Namun, kebanggaan itu tak berlangsung lama. Setelah orang-orang asing itu pergi, mereka juga harus pergi. Bukan piknik. Mereka harus mengungsi ke Mesir. Yusuf dan Maria harus menyelamatkan Anak Kebanggaan karena Herodes, raja gila kuasa itu, ingin membunuhnya. Malam itu juga pergilah keluarga muda itu ke Mesir.
Kita tak pernah tahu bagaimana perasaan Yusuf dan Maria. Suasananya memang seperti roalcoaster. Naik-turun. Baru saja mereka melihat anak mereka disembah orang asing, sekarang mereka harus menjadi pelarian.
Penulis Injil Matius tak merasa perlu menceritakan perasaan keduanya. Memang agaknya itulah maksud penulis. Dia tidak bermaksud agar pembacanya terharu menyaksikan perjuangan keluarga muda itu. Sekali lagi, memang bukan itu maksud penulis.
Penulis agaknya ingin menyatakan bahwa hidup manusia tak lepas dari risiko. Bahkan, orang-orang pilihan Allah, yang rindu menjalani kehendak Allah pun, tak bebas dari kesulitan hidup. Inilah yang terjadi dalam diri keluarga muda itu. Mereka adalah orang-orang pilihan. Akan tetapi, keberadaan sebagai orang-orang pilihan itu tidak membebaskan mereka dari kesulitan hidup.
Peka dan Menjalani Kehendak Allah
Namun, penginjil Matius juga mencatat bahwa orang-orang pilihan dapat bertahan, bahkan mengatasi kesulitan hidup, jika mereka peka akan suara suara Allah.
Itulah yang dilakukan Yusuf. Ia tidak menganggap mimpinya sebagai bunga tidur. Tidak. Ia peka akan suara Allah sehingga dia mampu mengatasi bencana yang menimpanya.
Perhatikanlah, Yusuf senantiasa peka akan suara Allah dan menjalani kehendak-Nya tanpa syarat. Ia tidak berupaya menawar perintah Allah. Dan itulah yang seharusnya dilakukan setiap orang yang merasa dirinya sebagai hamba Allah.
Yusuf selalu berupaya melakukan apa yang diperintahkan Allah. Perhatikan: ketika malaikat Tuhan memerintahkan untuk tetap menjadi suami Maria, Yusuf taat; ketika malaikat Tuhan meminta untuk menyelamatkan anak dan istrinya, Yusuf pun taat; dan ketika malaikat Tuhan memerintahkan Yusuf untuk kembali ke Israel, Yusuf sungguh taat.
Bahkan, Yusuf secara sadar, karena dinasihati dalam mimpi, Yusuf tinggal di Nazaret. Itu menjadi penting karena Yusuf ingin menggenapi kehendak Allah dalam diri-Nya agar nantinya Yesus disebut orang Nazaret.
Mengandalkan Allah
Mengapa Yusuf melakukan semuanya itu? Di satu sisi dia memang taat kepada Allah, namun di sisi lain Yusuf tengah mengandalkan Allah. Karena percaya kepada Allah, Yusuf menaati Allah; dan taat kepada Allah berarti Yusuf sungguh-sungguh mengandalkan Allah. Dan karena mengandalkan Allah, Allah pun akan menolongnya (Mzm. 148).
Perhatikan kenyataan ini! Sebagai pelarian tentu butuh modal. Dari mana modal didapat? Ya, dari persembahan orang-orang Majus! Jelaslah, jika kita berupaya memenuhi kehendak Allah, maka Allah pun akan menolong kita agar kehendak-Nya tergenapi! Baik pula disimak, nama Yesus berarti Allah menyelamatkan! Dan penulis Ibrani menegaskan bahwa Yesus sungguh mampu dan mau menolong karena Dia pernah merasakan semua pencobaan itu. (Ibr. 2:18).
Sejatinya inilah penghiburan terbesar. Allah kita sungguh memahami penderitaan manusia. Mengapa? Sebab, Ia pernah merasakan penderitaan sebagai manusia. Allah kita adalah Allah yang turut menderita. Karena pernah merasakan penderitaan yang sama dengan kita, pastilah Ia akan menolong kita. Setidaknya, Yesus akan menyertai kita dalam menjalani kehidupan kita.
Bukankah nama-Nya Imanuel—Allah menyertai kita?
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa