Adven I: Berjaga-jagalah!

Published by Yoel M. Indrasmoro on

”Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu bilamanakah tuan rumah itu pulang…” (Mrk. 13:35). Demikian kesimpulan Yesus yang disampaikan kepada para murid-Nya. Kesimpulan-Nya itu—menembus batas waktu dan ruang—berkumandang hingga kini.

Lema ”Berjaga-jaga” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki dua arti. Pertama, ”tidak tidur semalam suntuk”. KBBI memberikan contoh: ”Pada zaman dahulu apabila raja mengawinkan anaknya, orang berjaga-jaga empat puluh malam lamanya. ”Pada titik ini, arti ”berjaga-jaga” di sini adalah tidak tidur semalam suntuk, lek-lekan. Kedua, ”bersiap-siap”; ”bersiap sedia”; ”berawas-awas”; ”berhati-hati”. Contohnya: Karena ujian sudah dekat, kamu sebaiknya berjaga-jaga.

Sekilas pandang, kesimpulan yang mengikuti perumpamaan Yesus itu mengandung arti pertama tadi. Sang Guru menasihati para murid-Nya untuk berjaga-jaga karena mereka tidak mengetahui saat kedatangan-Nya yang kedua.

Nah, berkait Adven—kedatangan Yesus yang kedua—banyak orang suka menghitung-hitung. Terutama ketika bencana mulai muncul di sana-sini. Ketika pandemi pertama kali muncul, tak sedikit seminar tentang akhir zaman bermunculan. Dan semua nadanya hampir sama: akhir zaman sudah dekat.

Sebenarnya berkait dengan kedatangan-Nya, Yesus sendiri menyatakan bahwa tak perlu kita mencari-cari tahu bilakah waktunya. Namun, itu tidak berarti juga kita boleh cuek. Nasihat-Nya: Berjaga-jagalah!

Pertanggungjawaban 

Kedatangan Yesus yang kedua sama seperti ”seorang yang bepergian, yang meninggalkan rumahnya dan menyerahkan tanggung jawab kepada hamba-hambanya, masing-masing dengan tugasnya, dan memerintahkan penunggu pintu supaya berjaga-jaga” (Mrk. 13:34).

Tersurat penjaga pintu yang diminta berjaga-jaga, tetapi para hamba lainnya diberikan tanggung jawab seturut tugasnya. Ada tanggung jawab yang melekat dalam sebuah tugas. Tak heran, kalau sang tuan menuntut pertanggungjawaban.

Dengan kata lain, setiap hamba harus memberi jawaban dan menanggung segala akibat (jika ada kesalahan). Itu merupakan hal logis. Pada akhir tugas setiap orang harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya.

Dalam perumpamaan itu memang tak ada kepastian waktu kedatangan. Itu berarti tanggung jawab dapat dituntut kapan saja. Karena itu, para hamba itu harus selalu siap mempertanggungjawabkan semua tugas yang dipercayakan. Dalam segala keadaan mereka harus bersikap dan bertindak laiknya seorang hamba.

Itu merupakan tindakan wajar karena para hamba itu tidak pernah tahu kapan tuannya datang. Ketidaktahuan itulah yang seharusnya menjadi alasan para hamba itu untuk siap sedia. Bagaimanapun, tuan tersebut pasti datang! Kalau sudah begini, ”berjaga-jaga” berarti senantiasa siap menjalankan tugas kehambaan itu sebaik mungkin.

Kegagalan Seorang Hamba

Tentu saja, mesti diakui tak mudah menjalankan tugas kehambaan itu. Sering kali, tanpa sadar kita malah melalaikan tugas-tugas kita. Atau yang paling parah kita mengangkat diri sendiri sebagai tuan. Yesaya, mewakili umat Israel, mengaku: ”Demikianlah kami sekalian seperti orang najis dan segala kesalehan kami seperti kain haid” (Yes. 64:6).

Kesalahan bukan aib. Setiap manusia dipanggil untuk bertobat. Caranya? Kembali mengingat dan mengakui: ”Engkaulah Bapa kami! Kami ini tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu” (Yes. 64:8). Artinya: mau dibentuk. Dipulihkan Allah sendiri.

Itu jugalah kesaksian Asaf. Dia bermazmur, dan diulang bak refrein: ”Ya Allah, pulihkanlah kami, buatlah wajah-Mu bersinar, maka kami akan selamat” (Mzm. 80:4).

Dalam kesaksiannya, Asaf menyebut Allah dengan sebutan Gembala Israel. Sebutan itu sepertinya disengaja. Tampaknya Asaf hendak menegaskan bahwa Allah adalah gembala Israel. Penyebutan ini sedikit banyak mengingatkan umat Israel bahwa Allah adalah gembala mereka. Tak ada gembala yang ingin domba-domba peliharaannya binasa. Dan itulah kenyataan yang sedikit banyak menghibur umat.

Selain itu, sebutan Gembala Israel agaknya juga mengingatkan Allah akan jati diri-Nya sendiri. Allah adalah Pribadi yang telah memilih Israel sebagai milik-Nya sendiri. Allah, yang telah menyelamatkan Israel dari Mesir, pasti akan terus menyelamatkan Isarel karena, sekali lagi, Dialah gembala Israel. Dan karena itu, pemulihan merupakan soal waktu. Tentu saja, selama umat Israel terus memercayakan diri mereka kepada Sang Gembala Sejati.

”Ya Allah Semesta Alam, pulihkanlah kami, buatlah wajah-Mu bersinar, maka kami akan selamat.” Refrein ini bisa kita pahami juga sebagai doa. Doanya adalah agar Allah memulihkan Israel dan membuat wajah-Nya  bersinar.

Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Ya Allah, pulihkanlah kami; pandanglah kami dengan murah hati, maka kami akan selamat.” Asaf berdoa agar Allah mau memandang umat Israel dengan murah hati. Dengan kata lain, Asaf mengharapkan pandangan Allah. Asaf ingin dipandang Allah. Asaf menanti-nantikan Allah.

Menanti-nantikan Allah

Nabi Yesaya juga menggambarkan Allah sebagai Pribadi yang bertindak bagi orang yang menanti-nantikan Dia (Yes. 64:4). Ya, menanti-nantikan Allah! Tentunya, orang yang menanti-nantikan Allah siap berhadapan dengan Allah kapan saja. Mereka siap memberi jawab seandainya Allah menanyakan sesuatu kepadanya.

Menanti-nantikan Allah berarti hidup berdasarkan penantian akan kedatangan Tuhan. Orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan itu berarti siap mempertanggungjawabkan apa yang telah Tuhan percayakan kepadanya.

Sikap menanti-nantikan Tuhan selaras pula dengan frasa ”datanglah kerajaan-Mu” dalam Doa Bapa Kami. Kedatangan Tuhan itu tidak hanya persoalan nanti dan di sana, tetapi juga persoalan kini dan di sini.

Orang yang menanti-nantikan Tuhan tidak berorientasi pada kematiannya sendiri, di surga nanti, tetapi beroritentasi kepada kehidupannya, sekarang di bumi ini.

Frasa ”datanglah Kerajaan-Mu” mengandaikan bahwa sang pengucap siap menjadi hamba dalam kerajaan-Nya. Dengan kata lain: hanya ada satu raja: Tuhan sendiri! Tak ada pula raja-raja kecil di sana. Semuanya hamba. Hanya ada satu raja, dan yang lainnya hamba! JIka Allah itu raja, hidup kita seharusnya merupakan persembahan kepada-Nya.

Kabarnya, banyak orang mau mati untuk Tuhan. Tak hanya di kalangan Kristen. Di kalangan para teroris pun, tak sedikit orang yang siap mati untuk Tuhan. Namun, frasa”datanglah kerajaan-Mu” mengandaikan bahwa kita tidak hanya siap mati—tetapi yang lebih penting ialah hidup—untuk Tuhan.

Kekudusan Hidup

Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Korintus mengingatkan agar mereka—sebagai orang yang telah diperkaya oleh Tuhan—hidup tak bercacat dalam menantikan kedatangan Tuhan (I Kor. 1:8). Harta terbesar yang mereka miliki adalah keselamatan itu sendiri. Karena itu, mereka perlu menjaga keselamatan Allah itu dengan hidup kudus sebagaimana Tuhan, yang memanggil mereka, kudus!

Pada titik ini kekudusan bukanlah perkara luar biasa, terutama di kala pandemi ini. Kekudusan merupakan hal lumrah karena kita telah diperkaya dengan keselamatan Allah itu. Anehlah, jika kita sendiri tidak hidup di dalam, dan berdasarkan, keselamatan Allah itu. Hidup berdasarkan keselamatan itu seperti hamba yang setia menjalankan tugasnya.

Bersediakah kita mempertanggungjawabkan hidup kita? Jika jawabannya: ya; maka pesan bagi kita pun hanya satu: ”Berjaga-jagalah!”

Yoel M. Indrasmoro

Foto: Istimewa