Bersikap Seperti Anak-anak

”Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya di atas mereka Ia memberkati mereka” (Mrk. 10:16). Tindakan Yesus sungguh berbeda dibanding para murid-Nya.
Jika para murid hatinya tertutup, hati Yesus terbuka terhadap keberadaan anak-anak itu. Jika para murid memarahi beberapa orang tua, Yesus menyambut kehadiran mereka dengan sukacita. Yesus tak merasa terganggu.
Namun, janganlah kita terlalu menyalahkan para murid. Mungkin saja mereka ingin menjaga perasaan Yesus. Bagaimanapun, guru mereka baru saja selesai berdebat dengan sekelompok Farisi soal perceraian. Perdebatan itu tampaknya tak hanya melelahkan otak—juga hati—karena bertujuan mencobai Yesus.
Para murid kelihatannya ingin memberi kesempatan Yesus beristirahat. Karena itu, mereka menolak kehadiran kelompok kedua yang memohon agar Yesus menyentuh anak-anak mereka. Mungkin dalam benak para murid, permintaan itu terlalu sepele. Dan, sekali lagi, Yesus perlu istirahat!
Beda Signifikan
Namun, Yesus memarahi para murid yang sukses bertindak sebagai bodyguard. Di mata-Nya, tindakan para murid itu tak bisa dibenarkan karena ada beda signifikan di antara kedua kelompok itu.
Kelompok pertama berniat mencobai Yesus, kelompok kedua ingin Yesus memberkati anak mereka. Kelompok pertama ingin menjatuhkan Yesus, kelompok kedua percaya bahwa Yesus pribadi mulia. Kelompok pertama menganggap Yesus sebagai musuh, kelompok kedua menganggap Yesus sebagai sahabat.
Mungkin saja, di mata para murid, anak-anak akan mengganggu Yesus dengan pertanyaan. Namun, berkait soal pertanyaan, jika pertanyaan orang Farisi bertujuan menjebak, pertanyaan yang keluar dalam diri anak biasanya muncul dari rasa ingin tahu yang besar.
Namanya juga menjebak, pertanyaan selanjutnya terkesan ngeyel. Terlebih jika mereka merasa kalah dalam perdebatan sebelumnya. Anak-anak tidak pernah ngeyel. Mereka hanya ingin tahu lebih jauh.
Kalau rekan bicara dengan tulus mengatakan tidak tahu jawabannya, anak-anak biasanya akan berhenti dengan sendirinya. Akan tetapi, tidak ada rasa puas dalam diri mereka. Mereka tidak merasa lebih hebat atau menang. Jika orang dewasa cenderung ingin menang dalam percakapan, anak-anak lebih suka jika semuanya menang.
Tak heran jika Yesus menegaskan pentingnya bersikap seperti anak-anak dalam menyambut Kerajaan Allah. Pada kenyataannya, anak-anak memang lebih mampu bersikap setara terhadap orang lain. Itulah inti Kerajaan Allah: Allah itu raja, yang lainnya hamba! Tak ada yang lebih tinggi atau rendah, semua sama di mata Allah.
Tanpa Cela
Dalam mazmurnya Daud berdoa: ”Ya TUHAN, berilah keadilan kepadaku sebab aku telah hidup tanpa cela; kepada TUHAN aku percaya tanpa ragu-ragu” (Mzm. 26:1).
Doa Daud bukan sembarang doa. Dengan berani Daud menyatakan diri kepada Allah—yang mengetahui isi hati orang—bahwa dia telah hidup tanpa cela. Daud tidak mengatakan akan hidup tanpa cela, tetapi Daud menegaskan bahwa dia telah hidup dalam ketulusan.
Mungkin ada di antara kita yang menganggapnya sebagai kesombongan, namun kita bisa menilainya sebagai sikap jujur. Daud bersikap apa adanya. Dia tidak menyembunyikan apa pun karena memang tak ada yang bisa disembunyikan di hadapan Allah.
Bahkan Daud memohon: ”Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku. Sebab kasih setia-Mu selalu ada di depan mataku, dan aku hidup dalam kebenaran-Mu” (Mzm. 26:2-3).
Sekali lagi, janganlah kita menilainya lagi sebagai keangkuhan, tetapi sebagai keterbukaan terhadap koreksi Allah. Dengan kata lain, Daud siap ditegur jika salah. Seperti anak-anak, Daud berupaya hidup tulus dan bersih di hadapan Allah.
Percaya
Ayub pun juga bersikap sebagai anak-anak. Dia belajar untuk percaya kepada Allah tanpa syarat. Dalam pemahaman Ayub, Allah tidak mungkin berlaku yang tidak patut. Ayub belajar untuk hidup pasrah dan menyerahkan kedaulatan penuh kepada Allah saja.
Tak mudah hidup seperti Ayub. Bencana hanya menyisakan dia dan istrinya. Bahkan, sang istri menganjurkan untuk mengutuk Allah dan bunuh diri. Namun, dengan tegas Ayub berujar: ”Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ay. 2:10).
Bagi Ayub, Allah punya alasan tersendiri yang kadang memang tak dipahami manusia. Persoalannya: maukah manusia memercayakan dirinya kepada Allah!
Percaya berarti belajar bersikap seperti anak-anak yang percaya bahwa bapaknya tak mungkin membuatnya kecewa. Jika bapak duniawi saja tak mengecewakan anak-anaknya, apa lagi Bapa Sorgawi!
Percaya berarti bersikap sebagaimana Sang Putra terhadap Bapa-Nya. Yesus, dalam ketaatan penuh kepada Bapa, mempersembahkan diri-Nya demi keselamatan manusia (Ibr. 2:9). Dia mati agar manusia hidup!
Yoel M. Indrasmoro
Foto: Istimewa